Hanya Pelayan

Reina memang cukup terkejut ketika dia menyadari bahwa ada lelaki tampan duduk di sofa ruang tamu dengan ekspresi wajah datar.

Tapi itu bukan urusannya, karena dia bisa melihat bahwa lelaki yang menjadi tamu untuk ayahnya bukan sosok spesial. Dari segi penampilan, baju lusuh dan celana jeans sobek, semua terlihat biasa saja, bahkan membuat Reina yakin bahwa dia hanya orang miskin datang untuk berhutang.

Hanya saja melihat sikap Ayahnya, Brahman menyambut orang miskin seperti mereka dengan bermacam makanan mewah, tentu tidak disangka oleh Reina.

Sedangkan sang ayah menginginkan lelaki yang tidak dia kenal, untuk ikut dalam acara hangout bersama teman-temannya.

"Kenapa ?, Kenapa lelaki entah siapa ini harus ikut denganku."

"Apa kau lupa dengan Ryan ?, Padahal dulu kau sampai menangis berhari-hari ketika bocah ini pergi."

Setelah Reina mendengar nama itu dari ayahnya, kepingan-kepingan wajah bocah lelaki yang terbilang sudah lama menghilang dan tidak dia ingat lagi, tiba-tiba saja muncul.

"Ah..... " Reina ingat tentang Ryan.

Meski begitu, cara Reina melihat dan tersenyum kepada Ryan, jauh berbeda dari sensasi nostalgia pertemuan seorang teman lama yang baru saja pulang.

Sepintas Ryan tahu bahwa senyuman Reina itu sedang memandang rendah dirinya, dia mengejek dan memperlihatkan cara menatap penuh penghinaan.

Ryan benci itu, dia sudah mengepalkan tangan dan ingin sekali memukul siapa saja yang mencoba menginjak-injak harga diri mereka lagi.

"Jadi kau sudah banyak berubah, tapi tidak perduli setampan apa, itu tidak bisa mengubah nasib sebagai orang miskin, sungguh sangat di sayangkan." Ucapan itu keluar dari mulut Reina.

Itu tidak menyenangkan untuk di dengar oleh Ryan, bahkan Brahman yang harusnya mengajarkan Reina nilai moral di dalam masyarakat, saling menghormati sesama manusia, tidak menganggap ucapan Reina salah.

Kenyataan pahit itu ditelan bulat-bulat oleh Ryan, hanya sedikit senyuman, bukan karena dia bahagia, tapi Ryan menertawakan dirinya sendiri, karena perkataan Reina adalah benar adanya.

"Jangan bicara begitu Reina, walau pun itu kenyataannya. Tapi kau harus tahu, jika kita tidak boleh menyinggung soal miskin, karena sama saja, kita menghina mereka." Ditambah Brahman.

Itu bukan sebuah pembelaan dari Brahman, tapi dia terhibur untuk ucapan Reina yang secara terang-terangan menyindir Keluarga Ryan.

"Itu memang benar kami miskin, atau apa pun yang bisa nona Reina lihat, tapi karena kami miskin itulah, aku tidak keberatan melakukan apa pun demi mendapatkan uang." Jawaban Ryan membuat Reina atau Brahman terdiam.

Cara Ryan bicara sangatlah datar, tidak ada emosi atau ekspresi dia tunjukan, banyak orang bicara tinggi tentang harga diri. Berusaha melawan ketika merasa terhina.

"Cih begitukah..." Reina tidak menyukai tanggapan Ryan.

"Ingatlah kalau begitu, untuk membayar apa yang aku berikan kepadamu Ryan, kau harus menjaga Reina."

"Aku mengerti pak Brahman."

Tapi Ryan tidak terpengaruh oleh ejekan yang mereka berdua tunjukkan, hanya bisa bersabar untuk ini, merendahkan diri serendah-rendahnya, tanpa harus lagi meributkan tentang harga diri.

"Tapi ayah, aku tidak ingin pergi dengan dia."

"Jangan bantah ayah, jika kau tidak mau, maka uang bulanan mu akan ayah potong."

Reina merasa tidak senang..."Kenapa harus seperti itu."

"Ayah hanya berusaha agar kau tidak mengalami masalah apa pun."

"Aku hanya berpikir, jika aku membawa Ryan itu sama saja membuatku di ejek oleh teman-teman."

"Kau terima atau tidak, itu yang ingin ayah dengar." Tegas balasan Brahman.

Reina jelas sudah berubah, dia bukan gadis kecil yang akan mengikuti Ryan kemana pun perginya. Merasa malu dengan teman-teman, itu bisa dianggap sebagai batasan orang miskin agar tidak dekat-dekat dengan orang kaya.

Saat ini, Ryan bisa saja melemparkan kursi sofa ke wajah Brahman atau pun Reina, tapi ini sudah menjadi bagian sekenario di dalam hidupnya.

Menjadi bahan lawakan dari orang-orang sok berkuasa, Ryan terlihat bodoh di mata mereka, dianggap tidak berguna, atau hiburan agar mereka senang.

Dia tidak mungkin melawan, karena saat itu terjadi, maka kesempatan kedua yang di harapkan oleh sang ibu untuk memperbaiki hidup akan lenyap begitu saja.

Tidak perduli sebanyak apa orang-orang akan membicarakan tentang ini, Ryan hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa sakit sekuat tenaga, berusaha diam tanpa suara.

"Baiklah aku mengerti, jadi kau ikut denganku sekarang." Reina dengan wajah kusutnya berjalan keluar.

Ryan pun mengikuti kemana Reina pergi, seperti yang Brahman katakan, bahwa dia harus menjaga Reina sebagai bentuk balas budi.

Berdiri di luar gerbang rumah dengan para satpam yang bertugas, Ryan hanya diam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dia tidak memiliki alasan untuk berbicara kepada Reina.

Menganggap bahwa sekarang Ryan tidak lebjh dari orang asing yang dikenalnya di masa lalu, selain itu pula, dia hanya suruhan ayah untuk menjaganya saja.

sekali dia melirik, lekas pula Reina memalingkan wajah ketika mata Ryan tanpa sengaja saling bertatapan.

"Kenapa kau pulang."

"Kau bertanya kepadaku."

Reina kesal..."Memang siapa lagi di sini yang bisa aku tanyakan."

Ryan tidak tahu harus mengatakan apa tentang alasan dia pulang ke tempat ini, semua kejadian yang membuatnya muak, dan benar-benar ingin dia lupakan.

"Bukan alasan khusus, aku hanya mengikuti apa yang ibuku inginkan." Jawab Ryan.

"Sepertinya bukan itu alasannya."

"Kenapa kau berpikir tentang alasan lain."

"Aku tahu, karena kau benar-benar berubah."

"Waktu memang mengerikan, segala hal bisa berubah, begitu juga denganmu." Jawab Ryan tanpa tersenyum sedikit pun.

Bagaimana pun Ryan tahu jika ini bukan pertemuan dengan kisah nostalgia indah sebagai teman lama.

Reina tersenyum sinis..."Apa perduli mu jika aku berubah."

"Tidak ada, hanya aku disini untuk menjagamu seperti perkataan pak Brahman."

"Cih gak guna banget."

Decakan lidah Reina jelas tidak menyukai cara ayahnya sekarang, dia merasa terganggu untuk kebebasan bermain dengan teman-temannya.

Hingga sebuah mobil Mercedes dengan kap terbuka, berhenti di depan Reina, dua lelaki dan tiga perempuan mereka menjemput Reina untuk pergi.

Reina mengeluarkan dua lembar uang merah...."Ini dua ratus ribu, Lo pergi kemana Lo suka, jangan ikutin Gua."

"Bagimana kalau ayahmu bertanya."

"Makanya Lo pergi, biar bokap gak tau."

"Baiklah." Tentu Ryan pun tidak mau merepotkan diri dengan kegiatan orang-orang kaya itu, terlebih uang seratus ribu cukup untuk makan beberapa hari.

Tapi melihat seorang lelaki yang berdiri di samping Reina, ketiga teman wanitanya cukup terkejut, mereka pun penasaran dengan Ryan.

"Hei Reina, siapa tu." Tanya temannya.

"Hanya pelayan, gak perlu di urusin, kita pergi aja."

"Tampangnya lumayan ganteng, gimana Lo bisa ngusir dia, ajak aja gitu."

"Buat apa, dia cuma ganggu acara kita aja kali."

"Tapi dia ganteng, tipe Gua banget."

"Udahlah, nanti Lo- Lo juga ketemu di sekolah." Jawab Reina dengan nada tidak senang.

"Beneran ?."

"Iya."

"Nanti kenalin ke Gua ya."

"Lihat apa entarnya aja." Dengan nada kesal Reina hanya menanggapi pertanyaanan temannya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!