Brahman Ardantio

Langkah kaki wanita muda yang datang dari arah dapur, membawa secangkir kopi untuk dirinya sendiri.

Berhenti di sebuah pintu kamar, kemudian melihat ke arah jam tangan mahal yang tetap sama memiliki 12 angka, dan itu sudah menunjukan pukul 06.30.

Wajah cantik penuh polesan, gincu merah merona dan pipi tertutupi bedak merasa kesal sendiri, seakan pagi hari ini sangatlah buruk, karena harus mengurusi anak tirinya yang suka memberontak.

Ketukan keras menghantam pintu... "Reina mau sampai kapan kau tidur, jika kau tidak pergi sekolah, itu hanya akan membuat kami di sini repot, kau tahu."

Tidak ada tanggapan dari penghuni kamar, bahkan setelah dua puluh lima ketukan, itu jumlah yang terhitung, Reina masih diam di dalam kamar.

"Kau bangunlah, kau sudah banyak membolos, aku tidak ingin ayahmu marah kepadaku, karena tidak bisa mengatur mu."

Cukup lama, namun tetap saja tidak ada jawaban.

"Anak ini tidur atau mati, tanganku sampai sakit memukul pintu." Gumamnya dengan kesal.

Tapi berlama-lama mengurus anak tiri yang dimiliki oleh suaminya itu, hanya membuat sakit kepala, jika bukan karena ayah Reina, tentu tidak akan dia merepotkan diri untuk mengurus gadis muda ini.

"Jika kau tidak bangun sekarang, maka aku akan mengadu bahwa kau tidak ingin bersekolah lagi."

Sebuah ancaman yang pasti akan membuat ayahnya marah, dan ketika itu terjadi maka siapa pun itu tidak berani membantah.

Dari sisi lain pintu....

Semua tampak kacau, setiap pakaian bertumpuk tidak beraturan, aroma asap rokok yang mengelilingi ruangan dan alarm ponsel terus berbunyi tapi dia abaikan.

Reina Ardilla Ardianto barulah terbangun dari tidurnya, wajah yang masih mengantuk dan rambut berantakan tidak membuatnya terlihat buruk. Kecantikan itu sangatlah natural bahkan tanpa make up dan wajah kusut setelah bagun tidur.

Tapi suasana hati berubah menjadi buruk di pagi hari yang cerah dan hangatnya matahari, suara ibu tiri seperti klakson kendaraan di lampu lalulintas ketika lampu sudah menyala hijau.

"Si*al wanita tua itu berisik sekali, apa dia tidak tahu malu dengan sikapnya sebagai orang yang numpang di sini."

Hari-hari Reina sebenarnya tidak buruk, karena segala kebutuhan sudah tercukupi, hanya dia tidak menyukai ibu tirinya yang bersikap mengatur.

"Aku sudah bangun jadi pergilah." Teriak Reina keras menjawab panggilan dari ibu tirinya.

Reina turun dari ranjang, melangkah perlahan ke kamar mandi, sembari menanggalkan setiap pakaian yang dia kenakan setelah tidur.

Gadis itu cantik luar dalam, di usia remaja nya, pertumbuhan yang baik dengan segala nutrisi terpenuhi, makanan sehat dan bergizi, Reina pun rajin berolah raga di gym pribadi, termasuk perawatan kecantikan dengan biaya cukup untuk membeli 10 karung beras.

Tidak ada yang menutup mata untuk sosok Reina Ardilla, di sekolahnya pun dia menjadi primadona, namanya di kenal hingga seluruh kota.

Tapi sayang, sikap Reina berubah drastis ketika sang ayah menikah lagi, bagi dia yang mulai hidup bersama wanita asing dan suka mengatur, tentu membuat Reina ingin memberontak.

Melampiaskan rasa kesal tentang ibu tirinya bersama teman wanita yang tidak bisa dianggap baik, membawa kehidupan Reina dalam lingkaran hidup bebas, asap rokok dan alkohol.

Berbicara masa depan, Reina tidak kekurangan apa pun, kehidupannya sudah terjamin, tidak perlulah sibuk mengurus nilai ijazah atau membuat Surat berkelakuan baik untuk mendapat pekerjaan.

Sang ayah hanya meminta untuk dia lulus dari sekolah dan melanjutkan kuliah, setelah itu mengambil salah satu aset perusahaan yang keluarganya miliki.

Lepas mandi, Reina melihat ke arah ponsel, satu kontak bernama 'Wina' memanggil, nyatanya itu membuat pagi hari yang buruk terasa lebih baik.

"Halo win... Wat sap ?."

"Apa Lo ada rencana."

"Gak ada yang khusus, hanya pergi sekolah saja, buat ngisi absen, Lo tahu kan, Gua banyak bolosnya."

"Haaah, sekolah ?... Lo masih tidur atau lagi mabok, ini hari Minggu, Lo ke sekolah mau apa, nemenin satpam ?."

Cepat mata diarahkan ke kalender yang ada di atas meja, dan nyatanya warna merah di angka 21 tertulis nama hari Sunday. Rasa kesal karena sudah menyibukkan diri untuk mandi di hari Minggu, Reina melempar kalender itu keluar jendela.

"Si*al, wanita tua itu, dia berteriak-teriak mengatakan kalau aku harus berangkat sekolah, jadi aku nggak lihat tanggal dulu."

"Sudahlah lupain Rein, kita pergi aja... Lama nih kita gak piknik bareng temen."

"Cih... Padahal Lo sama teman-teman ketemu setiap hari buat bolos, apa itu bukan piknik."

"Ya bukanlah, di sekolah, bolos, cuma buat nongkrong, tapi ini kita mau nyari angin seger gitu..."

"Pergi ke toko AC aja banyak angin, terus Lo pada kumpulin, biar gak usah nyari lagi."

"Jangan bercanda, serius ah... Ini gua bareng ama si Juna nih."

"Oke oke, jemput gua, mumpung gua baru selesai mandi."

Senyum Reina semakin lebar ketika dia tahu lelaki itu, Junaidi, atau di panggil Juna biar kedengarannya keren, ikut buat hangout bareng.

Di lantai satu, ruang makan...

Brahman Ardantio, lelaki 60 tahun yang tinggal di rumah besar dan segala hal untuk dia bisa banggakan, lebih tepatnya, dia adalah ayah Reina.

Seorang bos dari perusahan besar sedang duduk memanjakan perut buncit itu, dengan segelas kopi, roti panggang, selai nanas dan kertas koran.

Melihat raut wajah istrinya turun dari lantai dua untuk membangunkan Reina, Brahman bingung, dia cukup mengerti bagimana hubungan anak perempuannya itu dengan ibu tirinya.

"Sela, ada apa ?."

"Papa, Reina sepertinya benar-benar membenciku, aku panggil dia untuk pergi sekolah, tapi aku dibentaknya."

"Bersekolah, kenapa harus sekolah ?."

"Lah bukankah tadi papa minta untuk dibangunkan karena dia harus sekolah."

"Ini hari Minggu, aku cuma ingin dia bangun, aku tidak ingin anakku jadi wanita malas."

"Ah begitu..."

Tapi selagi Brahman menikmati suasana pagi yang cukup menyenangkan, termasuk dimanjakan oleh wanita muda berusia 23 tahun dia nikahi beberapa tahun lalu.

Hanya saja ketukan pintu terdengar membuat telinga tidak nyaman, ini adalah hari penting bagi Brahman, satu hari untuk beristirahat, menikmati hidup dengan hasil kerja keras yang dia miliki.

"Sela, buka pintunya, siapa yang pagi-pagi seperti ini menganggu waktu istirahat ku."

"Iya papa."

Di depan pintu yang terbuka itu, wanita cantik namun terlihat murung dan seorang anak remaja dengan tatapan mata tajam, tenang dan terbilang tampan, membuat Sela diam di tempat.

"Ada perlu apa ya ?."

"Aku ingin bertemu dengan pak Brahman, aku Istianti."

"Baiklah tunggu sebentar."

Beranjak masuk karena memang dua tamu yang datang pagi ini, menanyakan suaminya.

"Papa, dia bernama Istianti, ingin bertemu dengan papa." Ucapnya.

Nyatanya saat Sela mengatakan nama Istianti kepada suaminya itu, mata yang fokus membaca koran dan menikmati kopi di atas sofa, kini terbuka lebar dan ada senyum lain terlintas di wajah tuanya.

"Biarkan Istianti masuk, dan bawa beberapa makanan untuk menjamu tamu ini." Ketenangan Brahman benar-benar berubah.

Entah apa hubungan mereka, tapi hampir tidak pernah sela lihat suaminya begitu semangat untuk tamu yang menganggu waktu istirahat di hari Minggu.

Bahkan sekali pun mereka adalah penagih iuran sampah, dilempar satu amplop penuh uang ratusan ribu di depan wajah sambil berkata ...'Ini iuran sampah untuk sepuluh tahun, jika sampai ku lihat kau datang kemari hari Minggu, aku bawa kau ke pegadaian.'

Entah untuk apa ke pegadaian, tapi itu memang terjadi dan ada beritanya pula.

Terpopuler

Comments

YunArs bingung nulis apa

YunArs bingung nulis apa

masuk berita🗿

2023-03-23

0

꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂

꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂

Kenapa gak di bikin papan pengumuman saja. 'tidak menerima tamu di hari minggu'. 🤣🤣

2023-02-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!