Beberapa bulan kemudian....
Langkah kaki beranjak turun dari atas bus antar provinsi ke sebuah terminal pemberhentian di tempat tujuan mereka. Ryan mengangkat tas besar dan koper berisi semua pakaian.
Bukan hal sulit, bahkan terbilang ringan karena tidak banyak yang mereka bawa, sedangkan seluruh perabotan rumah di kontrakan, sudah terjual habis dan menyisakan beberapa barang sebagai kenang-kenangan dari peninggalan almarhum sang ayah.
Ryan menatap wajah sang ibu begitu serius, dia paham, seberapa kuat keputusan ibunya hanya dengan membaca raut wajah itu. Semua hal buruk atas kejadian yang di alami, membuat mereka memilih pulang dan hidup di tempat dimana sang ayah tinggal dulu.
Keduanya tidaklah melarikan diri dari kesalahan yang tidak mereka perbuat. Tapi hanya dengan pergi, itu bisa menjadi kehidupan baru untuk mereka jalani, tanpa perlu melihat lagi wajah orang-orang yang sudah memberi penghinaan.
Berjalan menyusuri jalanan kecil yang melewati rumah-rumah tetangga, ada banyak hal berubah, jalanan dulu hanya sebuah tanah terlapisi kerikil, kini sudah menjadi jalanan beraspal halus.
Tanah-tanah kosong yang dulu menjadi tempat Ryan bermain sepak bola bersama kawan-kawan lama, sudah berganti dengan rumah-rumah penduduk.
Di dalam perjalanan mereka menuju tempat tinggal ayahnya dulu, Ryan memperhatikan ketika ibu akan bicara.
"Ryan, ingatlah permintaan ibu, jangan pernah melakukan kesalahan yang sama, kita masih beruntung karena orang-orang itu tidak memasukan mu kedalam penjara." Ucap sang ibu dengan suasana hati murung.
Namun Ryan jelas membuang wajah dengan kesal...."Aku tidak terima dengan perbuatan mereka, apa yang kita dapatkan ini adalah penghinaan. Ibu."
"Kau mau terima atau tidak, kita bisa apa ?, Mereka bisa membeli kebenaran, dan kita hanya mendapatkan sisa untuk mereka tertawakan." Jawab ibunya.
Ryan sadar, jawaban dari sang ibu adalah apa yang mereka alami sekarang, tanpa bisa melawan untuk ketidakadilan dari para orang kaya itu, kini mereka harus bisa menerima kenyataan.
"Tapi ibu..."
"Sudah lupakan itu, ibu tidak ingin mengingat lagi semua yang telah terjadi, ibu hanya ingin, satu kesempatan ini, kau belajar untuk bersabar, hanya itu, dan buatlah mereka membayar penghinaan kepada kita di masa depan nanti." Ucap sang ibu.
Ryan tidak bisa menolak permintaan itu.
Ibunya tidak peduli soal harga diri, dia berlutut untuk keselamatan anaknya, meski pun itu sama saja dengan menerima kesalahan yang tidak pernah terjadi. Namun jika Ryan tidak bisa menyanggupi apa yang ibu katakan, maka dia akan merasa bersalah karena sudah menyia-nyiakan permohonan darinya.
Ryan melihat sendiri, kehidupan yang dia jalani adalah dari perjuangan sang ibu, dia tidak ingin harapan itu hancur untuk kedua kali.
"Aku mengerti ibu." Jawab Ryan patuh.
"Baiklah kalau kau mengerti, sebaiknya kita bicarakan di rumah nanti."
Rumah yang ibunya katakan, adalah rumah dari keluarga sang Ayah, itu tidak besar, bahkan terbilang kecil, berdiri di ujung jalan, lama tidak berpenghuni, sehingga bisa dipastikan ada banyak laba-laba menginvasi dengan semua sarang di setiap sudut.
Tidak ada pilihan lain, hanya ini yang bisa mereka tempati sebagai tempat tinggal untuk melanjutkan hidup baru.
Ketika berada di depan pintu rumah yang sudah usang. Ryan masih bisa mengingat kehidupan yang pernah dia miliki di tempat ini, meskipun wilayah tempat tinggal Ryan, hanya dipenuhi oleh orang-orang miskin.
Sedangkan para orang kaya tinggal di seberang jalan, di dalam perumahan elit untuk kehidupan glamor yang mereka miliki.
"Aku ingin tahu, apa semua akan berubah di tempat ini." Gumam Ryan sendirian.
Tentu ingatan tentang masa lalu, hanya pengulangan kejadian yang tergambar dalam otaknya, bahkan beberapa hal tidak bisa dia ingat dengan jelas. Ada banyak kebahagiaan untuk Ryan dapatkan, kawan-kawan yang dia miliki sejak kecil, dan seorang gadis pemalu dimana selalu menempel di dekatnya.
"Waktu memang kejam, meninggalkan kenangan yang membuatku rindu tentang kehidupan bahagia."
Dimana masa-masa itu, Ryan hanya menjadi anak kecil untuk meributkan siapa yang akan menjadi rangers merah, siapa yang bisa memanjat pohon, dan segala hal tanpa perlu tahu kepahitan hidup.
Tapi dari situ pula Ryan harus meyakinkan diri, bahwa dunia tidak akan baik kepada orang miskin seperti dirinya, dia dipaksa dewasa oleh keadaan, meninggalkan kenangan manis dan harus berjuang keras demi kebahagiaan.
Bertahun-tahun lalu, ayah dan ibunya pun tinggal di kota ini, begitu juga menjadi tempat kelahiran Ryan. Sebuah keluarga bahagia meski dengan keadaan yang sederhana.
Di dalam kesederhanaan itulah mereka merangkai kisah hidup sebagai keluarga harmonis penuh canda tawa dan kebahagiaan di setiap hari. Ryan pun hidup dengan sehat, pintar dan juga berjiwa sosial tinggi.
Bagi Ryan sosok ayah adalah pahlawan nomor satu di dunia, beliau tidak pernah marah, tersenyum tulus dan ikhlas. Meski ada kalanya Ryan merengek minta mainan sama seperti teman-temannya.
Tapi sang ayah akan tersenyum dan berkata ... "Sabar yah, ayah pasti belikan."
Menunggu berminggu-minggu hingga uang terkumpul hanya untuk sebuah mobil-mobilan remote control, tapi itulah bentuk kasih sayang dari sang ayah yang tidak pernah Ryan lupakan.
Beranjak lulus dari sekolah dasar dimana ayahnya mendapat kenaikan jabatan dan mengharuskan Ryan pindah ke Jakarta.
Untuk waktu lama itulah, banyak hal terjadi, kecelakaan kerja yang mengambil nyawa sang ayah, kemudian ibu yang harus berusaha keras mencukupi kebutuhan hidupnya di kota besar.
Segala macam tentang uang sewa kontrakan, tagihan listrik, tagihan sampah, tagihan air PAM, tagihan hutang dari warung, dan semua iuran yang hampir tidak masuk akal.
Ya karena tidak ada iuran agustusan yang mereka minta di bulan Maret, para manusia itu menggunakan segala cara untuk mendapat uang.
Melangkah masuk ke dalam halaman rumah usang yang termakan usia, rumput-rumput liar tumbuh subur di halaman setelah ditinggalkan untuk sekian tahun.
Membuka pintu, Tembok lusuh dengan cat yang pudar, aroma kayu yang sudah lapuk dan sarang laba-laba berkembang biak dengan pesat. Ada pun segerombolan semut mereka membuat koloni menguasai tembok hingga berlubang.
Segera saja, Ryan dan ibunya membenahi rumah dan menata kembali perabotan yang sudah lama mereka tinggalkan.
"Kenapa kita kembali kota ini, ibu ?." Tanya Ryan.
"Ibu sudah muak dengan semua hal yang terjadi dalam keluarga kita, ibu ingin menyelesaikan masalah yang selama ini ibu pendam."
Ryan penasaran, karena dia sejak awal hanya mengikuti keinginan ibunya untuk kembali ke tempat ini..."Memang masalah apa yang ibu ingin selesaikan."
"Kau tidak perlu tahu, karena ini adalah tentang janji ayahmu dengan seseorang." Jawab ibunya tegas.
Ryan tidak bisa menanyakan lebih untuk apa yang terjadi di dalam keluarganya saat sang ibu menolak bicara. Namun Ryan bisa merasakan ada kerumitan di wajah ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂
ganti cerita jadi kisah Ryan ya kak, cerita askar kenapa gak lanjut kan?!."
2023-02-10
0