Bab 5. Harapan

Bian Winata, pengacara kondang yang dikenal tegas dan di segani rekan maupun lawannya karena selalu berhasil memenangkan setiap kasus yang ditanganinya di pengadilan itu, tak dapat menahan rasa sedihnya melihat putra bungsunya terbaring lemah dengan kaki terbungkus gips hingga pangkal paha.

Bian duduk di samping tempat tidur Arga dan terus menggenggam tangan putranya itu. Sesekali ia memalingkan wajahnya, mengusap matanya yang berair.

“Pa,” panggil Arga dengan suara lirih.

Bian menolehkan wajahnya, berusaha menguasai diri. Ia sudah diberitahu oleh dokter yang menangani putranya itu untuk bersikap optimis dan tidak memperlihatkan wajah sedihnya di hadapan putranya. Tapi tetap saja ia tidak mampu menahan air matanya.

“Ya, Nak. Apa ada sesuatu yang Kamu butuh kan, biar Papa yang ambilkan.”

Arga tersenyum getir menatap wajah papanya, kesedihan tergambar jelas di sana. “Keadaanku pasti sangat parah sampai Papa menangis seperti itu.”

Arga tidak pernah melihat papanya menangis, tidak juga saat kakek dan neneknya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat. Tapi sekarang, papanya menangis melihat putranya terluka.

Bian menggeleng kuat, “Kau akan segera pulih, Papa sudah mendapatkan dokter terbaik untukmu. Mereka akan datang malam ini juga dari ...”

“Pa, bisakah Papa menolongku memberikan kalung ini pada wanita itu, dia ada di rumah sakit ini.” Arga merogoh saku bajunya dan menyerahkan kalung di tangannya pada Bian.

Deg! Bian langaung teringat cerita Rivan.Jadi kalung itu memang ada di tangan Arga, dan wanita yang semalam berbicara dengan Rivan itu tidak sedang mengarang cerita bohong.

“Wanita yang mana, bagaimana Papa bisa mengetahui siapa pemiliknya?” Bian menatap kalung dalam genggaman tangannya itu.

Sebelum ia dibawa masuk ke ruang operasi, Arga masih sempat melihat rupa wanita itu yang tak sengaja menjatuhkan kalung miliknya hingga jatuh mengenai lehernya. “Papa bisa menyuruh anak buah Papa untuk mencari wanita itu, Aku berharap Papa bisa menemukan dia secepatnya.”

Bian menautkan alisnya, “Bagaimana kalau Papa tidak berhasil menemukannya?”

“Jika tidak ... Aku akan merasa sangat bersalah padanya.”

“Bagaimana mungkin Kau menyalahkan dirimu, Nak. Kalian bahkan tidak saling mengenal,” sahut Bian heran melihat kecemasan di wajah Arga. “Seharusnya Kau lebih memikirkan kesembuhan dirimu terlebih dahulu ketimbang memikirkan bagaimana harus mengembalikan kalung ini!”

“Wanita itu ada di rumah sakit ini, rambutnya panjang dan ia mengenakan kacamata.” Jelas Arga mengernyitkan dahi mengingat wanita pemilik kalung.

“Nak, ciri wanita yang Kau sebutkan itu banyak sekali di rumah sakit ini. Paling tidak kita harus tahu siapa namanya,” ucap Bian.

“Papa, wanita seperti dia tidak banyak di rumah sakit ini, karena hanya dia yang punya kalung seperti itu. Ia terlihat sedih dan wajahnya pucat sekali.”

Bian hanya mengangguk pasrah, ia pun keluar ruangan dan segera memberi perintah pada anak buahnya untuk mencari wanita dengan ciri seperti yang disebutkan Arga.

Dua pengawal Bian saling sikut setelah atasannya itu kembali masuk, “Apa yang harus kita lakukan, bukankah banyak wanita berambut panjang dan memakai kacamata di tempat ini?”

Dan benar saja, belum lima menit saja sudah ada tiga wanita berkacamata dan berambut panjang yang lewat di hadapan mereka. Namun tidak tampak raut kesedihan di wajah wanita-wanita itu seperti yang digambarkan atasan mereka.

☆ ▪︎ ☆ ▪︎ ☆

Alya memacu laju kendaraannya dengan kecepatan sedang, hujan deras ditambah angin yang bertiup kencang membuat dirinya harus ekstra hati-hati saat melewati jalanan berlubang yang tertutup genangan air.

Sore ini hanya tinggal satu alamat saja yang harus diantarnya, dan tempat yang ditujunya itu merupakan kawasan apartemen dekat dengan pelabuhan.

Alya mengusap kaca helmnya yang basah, hingga mengaburkan pandangannya. Kotak makanan di dekat kakinya itu bergoyang-goyang dan hampir saja terlepas dari gantungan kalau saja Alya tidak segera menahannya.

Beruntung jalanan yang dilewatinya sepi, hingga ia tidak perlu khawatir akan berpapasan dengan pengendara lain yang melewati jalan itu.

Naas baginya, baru saja Alya hendak berbelok mengambil jalan pintas. Dari arah depan menyorot lampu sebuah mobil yang melaju ke arahnya.

“Aaarrgh!” Alya berteriak kencang, ia tidak dapat mengendalikan motornya dan jatuh tertindih badan motornya sendiri.

Susah payah Alya bangun dan menegakkan motornya lagi, kotak makanannya jatuh dan berhamburan ke jalan.

“Kamu gapapa, Non. Ada yang luka, gak?” suara seseorang mengalihkan perhatiannya, dan ia terperanjat ketika mengenali wajah lelaki di hadapannya itu.

“Tuan?”

“Kamu?”

“Tuan yang waktu itu di rumah sakit, kan.”

“Kamu yang bilang waktu itu kalau kalung milikmu ada sama adikku itu, kan?” ucap laki-laki itu yang tak lain Rivan, ia sedang keluar mengendarai mobilnya hendak menuju rumah sakit menggantikan papanya setelah pulang bekerja.

Rivan lalu membantu Alya membawa motornya ke pinggir jalan, keduanya lalu berteduh di halte tidak jauh dari tempat mereka berada tadi.

Alya terkekeh, lalu meringis melihat kotak makanan di bawahnya. “Yaah, gimana mesti ngomongnya nanti sama pak bos. Hancur begini?”

“Sori, sudah buat makanan Kamu jatuh berantakan. Biar Aku ganti dengan yang baru,” ujar Rivan, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya.

“Gimana cara gantinya, Tuan.” Alya menolak uang pemberian Rivan. “Makanan ini kan pesanan khusus dari resto Jepang, Saya cuma kurir yang disuruh mengantar pesanan ke rumah pelanggan.” Jelas Alya dengan mimik sedih.

“Oh, jadi Kamu kurir makanan dari resto Jepang itu?” ulang Rivan lagi. “Coba sebutkan alamatnya di mana?”

Alya lalu menyebutkan sebuah alamat, dan lelaki di depannya itu pun tersenyum lebar seraya menepuk dahinya. “Astaga, pesanan Gue sendiri cuy!”

“Maksud Tuan?” tanya Alya bingung.

“Jadi begini, makanan ini pesanan adik Aku Arga yang lagi dirawat di rumah sakit. Sekarang dia sudah sadar, dan Aku mau jenguk dia sekaligus bawain makanan kesukaan dia.”

“Ini alamat rumah Aku, dan ini bukti orderan berikut bukti pembayarannya.” Rivan menunjukkannya pada Alya.

“Jadi gimana, ini. Kalau Saya harus ganti rugi ini makanan, terus terang Saya gak bisa. Saya gak punya uang buat beli makanan pesanan Tuan ini,” ujar Alya berterus-terang.

“Gapapa, gak usah diganti. Biar Aku beli lagi aja nanti, sekalian mampir di restonya. Namanya juga gak sengaja, Aku ngerti kok. Lagi pula tadi Kamu juga gak salah-salah banget. Aku aja yang tiba-tiba muncul di depan motor Kamu, bikin Kamu kaget.” Rivan menenangkan.

“Terima kasih, Tuan. Gak nyangka, ternyata Tuan orangnya baik banget.” Ucap Alya tulus.

“Ya sudah, Saya mau langsung ke rumah sakit dulu,” pamit Rivan. “Hati-hati, sekiranya cuaca hujan seperti ini mending ditelpon pelanggannya. Pasti mau kok diantar orderannya sampai hujan reda, dari pada basah semua.”

“Oke, Tuan.”

“Ngomong-ngomong, nama Kamu siapa? Aku Rivan, dan yang lagi sakit itu adik Aku Arga.”

“Saya Alya, Tuan.” Alya menyambut uluran tangan Rivan. “Ehm, Tuan. Apa boleh besok Saya menemui adik Tuan, Saya hanya ingin mengambil kalung Saya yang ada bersama adik Tuan.”

Rivan diam sejenak, ia menatap wajah Alya lama menilai ucapannya. Wajah di hadapannya itu terlihat polos dan jujur. “Boleh, besok pagi Kamu bisa bertemu Arga.”

“Terima kasih, Tuan.”

Rivan tersenyum lebar melihat binar di mata Alya, ia kemudian meninggalkan Alya dan berjalan menuju mobilnya.

Hujan masih turun, tapi tidak sederas tadi. Alya menatap langit malam, masih ada harapan untuk ibunya, bila ia bisa mendapatkan kalungnya lagi.

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

istripak@min

istripak@min

kasihn alya

2024-05-31

0

wong

wong

semangat

2023-02-26

1

Icha

Icha

🤗🤗🤗🤗

2023-02-26

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!