Arga sudah dipindahkan ke ruang perawatan, di mana ia ditempatkan di kamar VVIP dan ada dua orang pengawal berbadan kekar yang berjaga di depan pintu. Sekian lama menunggu laki-laki itu selesai dioperasi, namun Alya tidak diperbolehkan untuk melihat apalagi mendekatinya.
“Tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamar rawat tuan muda, tanpa seizin bos kami.” Ucap salah satu pengawal itu, menutup pergerakan Alya saat wanita itu tiba -tiba saja maju dan hendak menerobos masuk ke dalam kamar rawat Arga.
“Tolong Saya, Pak. Saya harus masuk ke dalam dan mengambil kembali kalung Saya yang terjatuh di tubuh tuan Arga,” jelas Alya. “Hanya itu satu-satunya barang yang Saya miliki,” imbuhnya lagi.
Namun pengawal di depannya itu bergeming, dan saling merapat satu sama lain. “Maaf saja, kami tidak bisa membantu Nona. Silah kan pergi dari ruangan ini,” perintahnya kemudian.
“Tolong dengarkan Saya, kalung milik Saya ada pada tuan muda kalian. Mengapa kalian tidak mau mengizinkan Saya masuk dan mengambilnya. Kalung itu sangat penting artinya buat Saya saat ini,” balas Alya setengah berteriak, ia harus mendapatkan kalung miliknya kembali. Karena hanya itu satu-satunya barang yang bisa membantu membayar biaya operasi ibunya.
“Jangan buat keributan di sini. Sekarang tolong Nona pergi dan tinggalkan tempat ini!” perintah pengawal itu lagi.
“Tidak! Saya tidak akan pergi dari sini sebelum mendapatkan kalung milik Saya yang ada bersama tuan muda kalian!” tegas Alya. Kepalang tanggung bagi Alya, ia tidak akan pergi dari sana sebelum mendapatkan kalung miliknya.
“Ada apa ini?” suara bariton seseorang dari ambang pintu yang sedikit terbuka mengalihkan perhatian Alya.
Alya menolehkan wajahnya, dan langsung mengenali lelaki tampan yang berdiri di depan pintu itu yang tidak lain adalah Rivan kakak lelaki Arga. Dua orang pengawal tadi langsung balik badan dan membungkukkan tubuh. Dan kesempatan itu digunakan Alya untuk berjalan mendekati pintu.
“Tuan muda, kami hanya ingin mengamankan tempat ini dan menyuruh wanita itu pergi ...”
Belum selesai pengawal itu berbicara, Alya sudah berada di depan Rivan dan berdiri saling berhadapan. Ia menepis kuat tangan salah satu pengawal yang mencoba menghalanginya.
“Saya Alya,” ucap Alya mengenalkan diri. “Saya hanya ingin mengambil kalung milik Saya yang ada bersama saudara lelaki Tuan. Tapi mereka berdua melarang Saya untuk masuk ke dalam,” jelas Alya mengutarakan maksudnya pada Rivan, dan kedua pengawal itu menatap gusar padanya.
Rivan menatap kedua pengawalnya, dan menggelengkan kepala pada keduanya untuk tetap diam di tempatnya. Mereka hanya bisa menundukkan wajah tidak berani menatap wajah bosnya itu, dan hanya bisa mendengkus kesal mendengar Alya bicara.
“Bukankah sudah jelas tugas yang Aku berikan pada kalian berdua, lalu kenapa sekarang bisa ada wanita itu di sini?” Rivan mengerutkan keningnya dalam, ia menatap tajam pada dua orang pengawal yang ditugaskannya untuk menjaga ruangan adiknya agar tetap tenang dari orang-orang yang ingin bertemu dengan Arga.
Dan ia juga tidak mengerti dengan apa yang sedang diucapkan Alya padanya. “Dan Kamu, apa yang Kamu bicarakan barusan. Kalung apa? Adikku tidak pernah mengenakan kalung sejak dulu.”
“Saat adik Tuan dibawa menuju ruang operasi, brankar yang membawanya hampir saja menyentuh badan Saya. Dan kalung yang ada dalam genggaman tangan Saya terlepas dan jatuh mengenai leher adik Tuan,” jelas Alya.
“Apakah Kamu tahu, sebelum operasi dilakukan semua barang yang melekat di tubuh pasien dilepas termasuk benda seperti yang Kamu bicarakan barusan. Dan sampai operasi selesai dilakukan dan adik Saya dipindahkan ke ruang perawatan, tidak ditemukan benda seperti yang Kamu sebutkan itu Nona.” Sahut Rivan lugas.
“Tapi Tuan, Saya mengatakan yang sebenarnya. Kalung Saya terjatuh dan mengenai leher adik Tuan, dan saat ini Saya sangat membutuhkan kalung itu untuk biaya operasi ibu Saya.” Ungkap Alya, membuat kerutan di kening Rivan semakin dalam.
“Tentu sangat berharga sekali dan pasti sangat mahal harganya sampai-sampai sebuah kalung bisa untuk membayar biaya operasi ibumu. Apa kalung milikmu itu dari batu berlian, sampai-sampai Kamu begitu ngotot ingin kalung itu kembali?” tanya Rivan dengan pandangan menyelidik.
Kali ini ia menganggap wanita di depannya itu mengada-ada, dengan mengatakan hal yang sama sekalu tidak masuk akal. Membuat cerita bohong alih-alih ingin bertemu dengan Arga adiknya seperti perempuan-perempuan lain di luar sana yang terus mengejar-ngejar Arga.
“Bu-kan, hanya sebuah kalung biasa. Tapi paling tidak bisa membantu membayar biaya operasi ibu Saya.”
“Sayang sekali, kalung itu tidak pernah ada pada adik Saya. Saya yang mengganti pakaiannya dan tidak menemukan satu pun barang berharganya ada bersama dengannya saat ini. Jadi Saya harap Kamu segera pergi dari tempat ini, dan jangan buat keributan lagi sekecil apa pun itu. Adik Saya butuh ketenangan pasca operasi yang dijalaninya,” pungkas Rivan sebelum ia berbalik dan masuk kembali ke dalam ruang rawat Arga.
Tubuh Alya melorot jatuh, lemas. Seolah semua tulang di tubuhnya hari itu luluh lantak. Ia tidak berhasil meyakinkan Rivan, dan lelaki itu tidak mempercayai ucapannya karena barang yang dimaksudkan tidak ditemui olehnya.
Pikir Alya, dengan menjual kalungnya ia bisa mendapatkan uang tunai sebanyak sepuluh juta dan itu cukup untuk membayar uang muka operasi ibunya. Dan Alya akan berusaha keras mencari pekerjaan tambahan untuk melunasi biaya operasi ibunya itu.
“Apa yang harus kulakukan sekarang, bahkan satu-satunya barang berharga milikku pun kini hilang.”
Alya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, duduk melipat kaki sambil bersandar di dinding tembok rumah sakit. Pikirannya menerawang mencoba mencari cara, namun tak ada satu pun ide yang bisa membuat hatinya tenang.
Alya terpekik kaget saat ponsel miliknya yang berada di dalam saku bajunya bergetar kuat, ia segera menutup mulutnya menyadari tatapan tajam mata orang-orang yang lalu lalang di dekatnya. “Maaf,” bisiknya lirih.
Ia beranjak menjauh, mencari tempat yang lebih tenang dan menemukan bangku kosong di pojok ruangan tidak jauh dari ruang operasi. Alya membuka layar ponselnya dan menemukan pesan singkat dokter Lia padanya.
“Kamu di mana Ay, ibumu sudah bangun dan mencarimu.” Dokter Lia menambahkan foto ibunya yang sedang berbaring dengan mata menatap layar televisi yang menyala di depannya.
Alya menahan napas, matanya kembali menghangat. Wajah pucat ibunya tercetak jelas di hadapannya. Dari hari ke hari tubuh ibu semakin kurus saja. Makanan yang masuk sedikit sekali, giginya sudah tidak kuat mengunyah makanan lagi.
Sakit kata ibu setiap kali Alya menyuapinya makanan, dan ibu memperlihatkan giginya yang goyang. Alya lalu mengakalinya dengan menghaluskan semua makanan menjadi bubur, ia meminjam peralatan masak di kantin rumah sakit.
Semua ia lakukan agar ibunya mudah untuk menelan, namun hanya tiga empat suap saja yang masuk ke dalam perut ibunya. Selebihnya hanya air putih saja, itu pun tak seberapa. Semua karena penyakit yang sudah lama diderita ibunya.
Setitik air mata jatuh menetes membasahi layar ponselnya, Alya mengusapnya cepat lalu mulai membalas pesan dokter Lia. “Lima menit lagi Aku ke sana, terima kasih dokter sudah mau menjaga ibuku.”
Alya bangkit berdiri, menatap sejenak pada ruangan Arga berada. Berharap lelaki itu terbangun dan mendengar semua ucapannya.
🌹🌹 🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
istripak@min
ksihan alya,pasti kamu temannya agya dn calya
2024-05-31
0
Wendy putri
semangat ya ay, pasti ada solusi dari permasalahanmu ini 🤗
2023-02-21
1
Dewi tanjung
semangat ay pasti ada jalan keluar terbaik
2023-02-21
1