Rivan terbangun di tengah malam, jarum jam di dinding menunjuk tepat ke angka 12. Ia kini berjaga seorang diri. Widia dan Bian sudah pulang ke rumah mereka sejak tadi, dan berjanji akan datang lagi esok pagi menggantikan Rivan yang harus kembali bekerja.
Disibaknya selimut yang menutupi pinggangnya, beranjak bangun dan duduk sejenak untuk mengumpulkan nyawa. Otot lehernya terasa kaku, Rivan memijatnya pelan hingga perlahan otot yang kaku itu berangsur mengendur.
Hoaam! Kuap lebar lolos dari mulutnya, lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Hawa dingin di dalam ruangan itu mulai terasa seperti menusuk-nusuk tulangnya, ia beranjak bangun dan berjalan mendekati tempat tidur Arga.
Lelaki itu tersenyum seraya mengusap rambut kepala adiknya, lalu tangannya turun membetulkan letak selimut yang menutupi tubuh Arga hingga ke batas dada.
Wajah tampan itu tampak pucat, matanya dibalut perban hingga ke bagian belakang kepala. Memar di bagian kiri wajahnya tampak mulai membiru, dan di bagian dagunya terdapat luka goresan memanjang yang sudah mengering.
“Hei brother, cepat bangun! Gak capek apa tidur terus dari kemarin. Tuh, di luar ada cewek yang cari kamu, ngotot mau ketemu.”
“Katanya sih, Kamu yang simpan kalung dia. Aku sih gak percaya sama omongan dia, tapi mama nyuruh Aku buat selidiki itu cewek. Besok, deh. Sekarang kan sudah malam banget,” ujar Rivan mengajak bicara Arga yang masih belum sadarkan diri.
Rivan menarik kursi dan duduk di samping Arga, tercenung sejenak saat menatap luka di wajah adiknya itu. “Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Ga. Toni bilang sebelum kejadian Kamu habis bertengkar dengan Nesya.”
Rivan tahu Arga sedang menjalin hubungan dengan Nesya, seorang model dan juga bintang iklan yang sedang naik daun namanya. Namun karena kesibukan masing-masing, keduanya jadi jarang bertemu.
Rivan tersenyum kecut, orang yang ditanyanya masih belum sadarkan diri sampai detik ini. “Ga, bangun dong. Gue kangen ribut sama Lo.” ucapnya dengan suara serak.
Tak terasa sudut matanya berair, Rivan tersenyum dan mengusapnya dengan ujung jarinya. "Gara-gara Lo, Ga. Gue jadi cengeng!"
Tiba-tiba saja matanya menangkap gerakan kecil di ujung jari Arga, awalnya pelan seperti kedutan lalu kemudian kelima jari itu bergerak semua.
“Arga!” Rivan berdiri dan mendekatkan wajahnya pada Arga. Perlahan mata itu mengerjap, lalu tak lama kemudian dahi itu mengernyit dalam.
“Ga, Kamu sudah sadar!” Rivan langsung memencet tombol di atas kepala Arga, dan tidak lama kemudian seorang dokter dan perawat datang dan meminta Rivan untuk menunggu di luar ruangan sementara mereka memeriksa kondisi Arga.
Rivan bergegas keluar ruangan dan segera menghubungi kedua orang tuanya, mengabarkan kalau Arga sudah siuman dan saat ini sedang diperiksa dokter.
Sementara di dalam ruangan, dokter dan perawat sedang memeriksa tubuh Arga. "Halo Arga,” sapa dokter itu ramah.
Arga membuka matanya, ia mendengar seseorang menyebut namanya. Ia membuka matanya, namun hanya sebagian saja yang terlihat olehnya. Bayangan tubuh seseorang mengenakan baju warna putih, bergerak-gerak di dekatnya seperti seorang penari.
“Apa yang Kau rasakan saat ini?” suara itu terdengar lagi, dan Arga memejamkan matanya lagi. Sakit sekali, seperti ada sesuatu yang mengganjal di bagian mata kirinya.
Hah! Pertanyaan apa itu. Tubuhnya terasa lemah, dan pandangannya kabur.
“Di mana ini, ada apa dengan tubuhku. Kenapa pandanganku menjadi kabur, dan Aku tidak bisa menggerakkan kakiku?” Arga berusaha menggerakkan tubuhnya, namun hanya erangan serak yang terdengar keluar dari mulutnya.
“Tuan sekarang berada di rumah sakit. Kalau pandangan Tuan kabur, itu karena mata Tuan sedang diperban.” Sahut perawat wanita itu menjawab pertanyaan Arga. “Tuan mengalami kecelakaan, syukurlah Tuan selamat dan orang-orang kami yang sudah membawa Tuan ke rumah sakit ini.”
“Kecelakaan? Aku mengalami kecelakaan?” tanya Arga bingung, ia melihat ke sekelilingnya. Namun pandangannya buram dan mata kirinya terasa sakit.
Bukankah perawat itu mengatakan mata kirinya di perban! Arga mengangkat tangan kanannya dengan susah payah, lalu meraba mata kirinya terus naik ke kepala. Arga terkejut karena kepalanya pun ikut diperban.
“Tuan tidak boleh banyak bergerak, berbaring saja dulu.” Perawat itu mengingatkan Arga.
“Apa yang terjadi dengan tubuhku?” Kepalanya diperban, matanya sakit sekali. Arga mendadak panik, ia lalu membuka selimut yang menutupi kakinya dan matanya terbelalak melihat kaki kirinya di balut perban tebal dari ujung kaki hingga pangkal paha.
Arga berteriak marah dan meronta, mendorong perawat yang ingin menahan gerakannya. Sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kedua kakinya. Meski kaki kanannya bergerak sedikit, tapi tetap saja tak mampu menggeser tubuhnya.
“Tenanglah Tuan, kalau Tuan terus bergerak-gerak seperti ini jahitannya bisa lepas semua!” Dokter itu memperingatkan Arga, namun laki-laki itu terus meronta.
“Sus, Saya akan berusaha memegangi orang ini dan Suster yang harus melakukannya!” perintah dokter itu pada si perawat.
“Baik, Dok!”
Perawat itu menyuntikkan jarum ke paha Arga, dan sekali lagi ia meronta. Namun tak lama kemudian gerakannya melemah dan tubuhnya terkulai lalu jatuh tertidur.
Sementara di luar kamar, Rivan sedang berbicara di telepon dengan papanya. Sepintas ia mendengar suara teriakan dari dalam ruangan di belakangnya, Rivan segera memutuskan teleponnya.
“Kamu jaga adikmu baik-baik di sana, besok pagi-pagi sekali Papa datang. Sekarang mamamu sudah tertidur, kasihan kalau harus dibangunkan.” Jawab Bian dari seberang telepon.
“Oke, Pa. Rivan ngerti. Sudah dulu ya, Pa. Rivan mau masuk dulu, soalnya dokter sudah selesai periksa Arga.”
Rivan memutuskan sambungan telepon, dan kembali masuk ke ruang rawat Arga. Dilihatnya adiknya itu sudah tertidur lagi.
Dokter mendatangi Rivan dan berbicara padanya di dekat sofa panjang di ruangan itu. Ia jelaskan bagaimana reaksi spontan Arga saat siuman tadi dan dokter harus memberinya suntikan karena lelaki itu sempat berontak setelah mendapati kaki kirinya tidak dapat digerakkan sama sekali.
“Bagaimana dengan mata kiri Adik Saya, Dok. Apa luka di matanya itu bisa segera pulih?” tanya Rivan dengan suara tertahan.
Dokter itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya, “Beruntung sekali benturan itu tidak sampai merusak saraf matanya. Matanya akan segera pulih, yang perlu diperhatikan adalah patah tulang kaki kirinya. Ada beberapa tulang yang patah di bagian itu dan nyaris remuk. Kami sudah berusaha memperbaikinya semaksimal mungkin.”
Kesedihan terpancar di wajah Rivan, ia menoleh ke ranjang di mana Arga tertidur dengan tatapan nanar. “Apa itu artinya adik Saya akan ca ...”
“Kita tidak bisa menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, keluarga pasien bisa mengupayakan pengobatan dari dokter spesialis terbaik juga terapi fisik. Tapi itu semua bergantung pada diri pasien itu sendiri.”
“Seberapa besar tekadnya untuk sembuh dan bisa berjalan kembali, dukungan dan semangat dari orang-orang terdekatnya juga sangat berpengaruh dan akan sangat membantu proses penyembuhannya.” Ucap Dokter itu lagi seraya menepuk pundak Rivan, sebelum beranjak pergi.
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
istripak@min
hemnm bijak sangat itu dokter
2024-05-31
0
Moba Analog
💪💪💪
2023-02-23
1
Seo Ye Ji
setuju, semua kembali pada pasien itu sndiri seberapa besar tekad dirinya untuk sembuh
2023-02-23
1