Bab 3. Selidiki dulu

Ia berjalan terseok menuju mobilnya, membuka pintu dengan sebelah tangan dan masih memegang gelas kopinya. Dihempaskannya tubuhnya ke belakang jok sambil mengerang memegangi kepala.

Aargh! Berbagai suara terdengar menggema di telinganya. Ia memasukkan anak kunci dengan susah payah. Setelah usahanya berhasil, ia mulai menjalankan mobilnya.

Pulang, persetan dengan wanita itu!

Pandangan matanya mengabur, jalanan di depannya seperti bergelombang. Ia mencengkeram kuat setir mobilnya, dan menggeleng kuat sambil terus meracau.

Setengah sadar ia melirik pada gelas kopi di sampingnya, bayangan Toni juga Deny yang tertawa sambil mengangkat gelas minuman yang sama menyentak kesadarannya.

“Breng sek kalian!” pekiknya geram.

Cahaya menyilaukan dari lampu kendaraan besar yang melaju kencang dari arah berlawanan, mengejutkan dirinya. Ia memicingkan mata dan membanting setir ke kiri, lalu detik berikutnya ia kehilangan kendali.

Mobilnya terseret cukup jauh dan menabrak pembatas jalan, lalu terdengar suara benturan yang sangat keras dan guncangan hebat di dalam mobil.

Rasa sakit luar biasa dirasakan hampir di sekujur tubuhnya, ia masih setengah sadar dan mencoba keluar menyelamatkan diri. Saat kesadarannya hampir hilang ia mendapati tubuhnya terhempas jatuh ke tanah, terbaring telentang dan masih bernapas.

“Apa Kau bisa mendengarku, Tuan?”

Ia mencoba membuka matanya, tapi darah yang mengalir dari pelipis matanya mengaburkan pandangannya. Ia berusaha membuka mulutnya, namun lidahnya terasa kelu. Wajahnya terasa sakit dan ia tidak mampu menggerakkan kepalanya.

“Tuan, apa Anda bisa mengingat bagaimana kejadiannya tadi?”

“Ko-pi,” jawabnya lemah diiringi suara batuk. Akhirnya setelah beberapa saat ia bisa bersuara.

Suara sirene ambulans dan gerakan lalu lalang beberapa orang berpakaian serba putih seperti bunyi dentuman peluru di kepalanya. Gerakan sekecil apa pun di dekatnya seperti gempa buat tubuhnya.

“Kami menemukan ponsel dan dompet di dalam mobil, sepertinya milik korban. Ada tumpahan kopi di lantai mobil, sepertinya korban meminumnya sebelum kecelakaan terjadi.” Seorang petugas medis datang dan menyerahkan barang di tangannya pada rekannya.

“Baik, kita bisa mengetahui identitas pria ini.”

Detik berikutnya kepala pria itu diberi penyangga di bagian leher sebelum tubuhnya diangkat dan dibaringkan di tandu, kemudian di masukkan ke dalam mobil ambulans.

Sesampainya di rumah sakit, ia diturunkan dan dipindahkan ke brankar. Luka yang dialaminya cukup serius dan harus segera dilakukan operasi.

“Tolong minggir, beri kami jalan!”

Tubuhnya berguncang, pelipisnya kembali mengeluarkan darah segar. Perlahan matanya mengerjap, selintas matanya melihat seorang wanita muda dengan mata sembab memegang sebuah kalung kemudian menutup mulutnya. Dan kalung di tangannya terlepas dan mengenai lehernya.

Ia masih bisa mendengar teriakan wanita itu sebelum pintu di belakangnya menutup cepat.

☆ ▪︎ ☆ ▪︎ ☆

Di dalam ruang rawat inap pasien Arga Raditya Winata, Widia sedang menunggui putranya itu yang masih belum sadarkan diri setelah melalui operasi. Mata sebelah kirinya diperban, demikian pula dengan kaki kirinya yang mengalami patah tulang. Luka memar hampir di sekujur tubuh, membuat wanita itu tak berhenti mengusap pelan rambut anaknya.

“Bangun sayang, ini Mama datang.” Ucapnya lirih sambil menahan isak yang mulai terdengar.

Di belakangnya tengah duduk Bian Winata suaminya, sambil menjawab telepon dari beberapa kolega mereka setelah mendapat kabar kecelakaan yang menimpa putranya itu.

Suara langkah kaki memasuki ruangan membuat keduanya menoleh. Rivan menjatuhkan bokongnya di sebelah papanya, mengembuskan napas sembari menyandarkan kepala ke sandaran sofa di belakangnya. Memejamkan mata sejenak sambil memijit keningnya yang mendadak berdenyut.

“Ada apa?” tanya Bian, menyimpan kembali ponsel ke dalam saku jasnya. Perhatiannya kini beralih sepenuhnya pada putra sulungnya itu.

“Hanya masalah kecil, Pa.” Jawab Rivan bergeming, ia masih memejamkan matanya.

“Masalah kecil tapi bisa buat Kamu bersikap seperti ini?” Bian menelisik wajah putranya, mata yang terpejam itu tampak lelah. “Ada apa sebenarnya, cerita sama Papa.” Tegas Bian.

Widia yang mendengar suara tegas suaminya pun menoleh, menatap keduanya dengan kening berkerut. “Tidak bisakah kalian bicara dengan nada pelan dan sedikit lebih tenang?”

Rivan membuka mata dan menegakkan punggungnya. Ia tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, matanya mengedip memberi kode pada papanya.

“Iya, Ma. Kami dengar!” ucap keduanya bersamaan. Kontan saja membuat Widia mendelikkan matanya.

“Kalian masih bisa bercanda dalam situasi adikmu seperti ini,” gerutu Widia. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya lalu bergabung bersama Rivan dan Bian di sofa.

“Kita harus tenang dan terus berdoa, Ma. Arga sudah menjalani operasi di bagian kakinya dan tidak lama lagi dia akan sadarkan diri,” ucap Rivan merangkum bahu mamanya dan mengusapnya perlahan.

“Entah apa yang dilakukannya bersama teman-temannya, sampai harus mengalami kejadian naas seperti ini. Dokter bilang, benturan keras di bagian pelipis matanya bisa berpengaruh pada penglihatan mata Arga.” Widia menarik napas berat, putra bungsunya itu harus mengalami patah kaki dan mungkin saja kehilangan penglihatan di bagian mata kirinya.

“Itu hanya bersifat sementara saja, Ma. Penglihatannya akan berkurang sementara, tapi bukan berarti Arga akan kehilangan penglihatannya. Adikku pasti sembuh, dia lelaki kuat.”

Bian menepuk bahu Rivan, bangga. Memiliki dua orang putra yang sama-sama tampan dan saling menyayangi satu sama lain. Ia tahu benar bagaimana kedekatan kedua putranya itu selama ini, meski si bungsu Arga kerap membuat ulah dan menyusahkan kakaknya itu karena harus sering berurusan dengan para wanita yang mengejar-ngejarnya.

Dua-duanya sama-sama bekerja di perusahaan milik papanya, sama-sama punya jabatan penting di dalam perusahaan. Sama-sama pekerja keras dan jadi incaran banyak wanita karena ketampanan juga harta yang dimiliki keduanya.

Bedanya, Rivan lebih pendiam dan pemilih dalam hal berhubungan dengan teman dekat terutama wanita. Sedang Arga kebalikannya, wajar saja bila wanita yang menjadi temannya sering salah menafsirkan sikapnya.

“Van, bukannya tadi Kamu bilang ada masalah kecil. Apa itu?”

Rivan tertawa, ia melepas pelukan di bahu Widia dan mulai menatap papanya serius. “Barusan tadi di luar ada wanita yang mengaku kalau kalung miliknya ada bersama Arga.”

“Bagaimana bisa, apa adikmu mengenal wanita itu?” sela Widia, terkejut mendengar cerita Rivan.

Rivan menggeleng, “Rivan baru pertama kali bertemu dengan wanita itu, Ma. Dia bilang, kalung miliknya itu terjatuh mengenai leher Arga waktu petugas medis membawa brankar Arga ke ruang operasi.”

“Hem, semacam modus baru untuk mendekati adikmu lagi. Abaikan saja!” Bian menimpali.

“Tapi wanita itu bersikukuh mau menemui Arga untuk mengambil kalung miliknya. Bahkan tadi sampai berusaha menerobos penjaga kita di depan.”

“Hem, nekat juga itu perempuan.” Bian terkekeh. “Dia pasti punya alasan kuat sampai melakukan hal seperti itu. Sudah lah, abaikan saja. Jangan dipikirkan, fokus kita sekarang yang utama penyembuhan Arga segera!”

“Katanya sih kalung itu barang berharga miliknya untuk biaya operasi ibunya,” lanjut Rivan, yang sontak membuat Widia dan Bian menatap ke arahnya.

“Kamu percaya sama ucapan wanita itu?” Widia menatap Rivan, lalu beralih menatap Bian. “Papa, gimana?”

Rivan dan Bian saling menatap, lalu menggelengkan kepala bersamaan. “Gak!”

“Ish!” Widia mencebikkan bibirnya. “Kalian itu, ya. Menilai perempuan sama rata. Jangan dulu berburuk sangka, siapa tahu ucapannya itu benar adanya. Dia sedang butuh biaya banyak untuk operasi ibunya dan hanya kalung itu yang ia punya.”

“Jadi Mama percaya sama ucapan itu perempuan?”

Widia menatap Rivan, meraih tangan putranya itu dan mengusapnya lembut. “Kita harus mendengar cerita langaung dari Arga saat adikmu itu sadarkan diri, apakah benar memang seperti itu kejadiannya.”

“Tapi, alangkah baiknya Kamu selidiki terlebih dahulu tentang wanita itu, juga ibunya. Mungkin saja benar ibunya dirawat di rumah sakit ini. Jika benar apa yang dia ceritakan, kita akan sangat berdosa padanya karena sudah menghakiminya tanpa mencari kebenaran kejadian sesungguhnya.”

🌹🌹🌹

Terpopuler

Comments

istripak@min

istripak@min

the dengar tu kata ema kelen

2024-05-31

0

Afternoon Honey

Afternoon Honey

ibu yg bijaksana bijaksini ⭐👍

2023-10-22

2

Wendy putri

Wendy putri

setuju mom

2023-02-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!