Bab 5

Bian telah menentukan tanggal pernikahannya dengan Alisha. Ia merencanakan lamaran, pertunangan dan pernikahan dalam waktu satu bulan ke depan. Melihat mamanya sangat antusias memisahkan mereka berdua, justru membuatnya semakin nekat dan tegas dalam mengambil keputusan.

Meski Bian masih berusia dua puluh delapan tahun, tapi kedewasaannya sudah melebihi usianya. Ia tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Namun ia juga tidak pernah memutuskan sesuatu tanpa berpikir matang terlebih dahulu.

Jika dia telah memutuskan akan menikahi Alisha meski mamanya menentang, berarti ia telah memikirkan semua risiko yang akan muncul suatu saat nanti. Benar saja, sesuai dugaannya salah satu risiko itu muncul dalam waktu lima menit setelah semua anggota keluarganya mengetahui kabar itu. Tentu saja salah satu risiko yang paling besar adalah dari sang mama.

“Benar-benar anak itu! Dia sudah berani melawan mamanya sendiri” ujar Mama Liana geram.

“Udahlah, Ma! Itu keputusan Kak Bian, biarkan dia bahagia dengan pilihannya” ucap Tsabina.

“Tidak akan! Mama tidak akan membiarkannya menikahi gadis itu” teriak mamanya.

Tsabina yang tidak habis pikir dengan jalan pikiran mamanya, lebih memilih diam dan meninggalkannya. Sebab ia telah berjanji pada kakaknya, akan menemani calon kakak iparnya untuk memilih barang-barang seserahan.

Sebenarnya Alisha cukup terkejut saat Bian mengabarinya soal rencana satu bulan itu. Sekalipun ia berusaha menyamakan langkah Bian, ia tetap tidak bisa mengejar langkahnya yang lebih maju jauh di depannya. Ia tidak habis pikir dengan pikiran orang kaya, yang bisa memutuskan hal sepenting ini hanya dalam waktu satu bulan, sekalipun mereka mampu dalam segala hal.

Namun Alisha tidak mampu menolak keputusan Bian, apalagi dia telah memutuskannya melalui pemikiran yang lama. Ia pun juga sudah memantapkan niatnya untuk menikah dengan laki-laki itu.

Mengenai barang seserahan, Alisha sadar hal seperti ini sangat sensitif bagi banyak orang. Ia meminta Bian dan Tsabina untuk memilih sesuai keinginan mereka saja, dan ia hanya akan menerimanya. Tapi Bian menolak, dengan alasan bahwa ini semua untuknya dia yang akan menggunakannya, dan Bian tidak terlalu memahami daftar barang apa saja yang diminta para gadis untuk seserahan mereka.

Untuk itulah Bian meminta adik kesayangannya untuk membantunya memilih dan berbelanja sekalian, sebab Bian akan mengurus perihal ijin, gedung, dan surat-surat.

Ini pertama kalinya Tsabina jalan berdua dengan calon kakak iparnya. Beruntungnya Alisha memiliki calon adik ipar yang sama baiknya dengan sang kakak. Tsabina sama sekali tidak mempermasalahkan soal background keluarga atau masalah pribadinya. Ia berpikir sama dengan kakaknya, bahwa seseorang harus dinilai dari hati, sifat, dan sikapnya. Jika ketiganya baik, maka orang itu pantas juga mendapatkan yang baik.

Tsabina membawa Alisha ke salah satu mall terbesar di Jakarta. Bahkan ia sudah membuat daftar apa saja yang akan ia beli, seolah ini adalah seserahan untuknya.

“Kak Al, ini cukup?” tanyanya sambil menunjukkan daftar yang ia buat di ponsel berlogo apelnya.

Alisha terkejut melihat apa yang ia tulis. Bayangannya sebagai gadis biasa, semewah apapun mimpinya tentang seserahan, ia tak pernah membayangkan akan mendapat seserahan sebanyak dan semewah ini. Bagaimana tidak jika daftarnya saja seperti ini :

Tas merk huruf G, P, C, @2pcs

2 set make up merk M

3 pasang sepatu yang Alisha tak tahu merknya

Jam tangan merk R,

Kue beraneka ragam

Parfum mewah

Baju

Perhiasan 2 set

Dan masih banyak yang tak sempat Alisha baca karena terlalu panjang.

“Bin, menurutmu ini cukup?” tanya Alisha memastikan.

“Kenapa? Kurang ya, Kak? Aku pikir juga kurang sih”.

Alisha membelalak heran dengan jawaban Tsabina. Bahkan disaat ia menganggap ini terlalu banyak dan sedikit berlebihan, anak itu malah menganggapnya kurang. Sungguh beda pola pikir orang kaya, pikir Alisha.

“Bin, ini kebanyakan” jawab Alisha sambil tersenyum.

“Ah, enggak. Ini udah dapet approval dari Kak Bian, malah aku mau nambahin dari aku sendiri” ujarnya sambil berjalan cepat ke sebuah toko tas bermerk.

Alisha menyerah. Dunia kakak beradik itu sungguh jauh dari dunianya. Ia memutuskan mengikuti alur yang mereka buat saja. Jikalau dia merasa ini berlebihan, ia akan menyimpannya untuk kebutuhan keluarganya kelak.

Tiga jam lebih mereka berdua berkeliling mencari dan mengumpulkan barang-barang dalam daftar Tsabina. Dari segi ekspresi, orang akan mengira Tsabina lah yang akan menikah. Dia nampak begitu bahagia dan sedikit pun tak mengeluh lelah. Padahal Alisha sendiri sudah sangat letih mengimbangi langkah gadis itu. Maklum saja, Alisha bahkan tidak pernah memasuki mall besar, ia lebih sering ke toko bahan kue atau semacamnya. Sedangkan gadis itu memang dalam usia yang menjadikan belanja adalah sebuah kenikmatan dan keharusan. Tsabina memang masih berusia dua puluh lima tahun, usia yang masih segar dan produktif.

***

Sementara Alisha dan Tsabina tengah fokus menghabiskan limit kartu kredit Bian yang bahkan tak bisa habis, di rumahnya Bian juga tengah ‘dihabisi’ oleh mamanya. Dia yang sedang mengumpulkan data diri dan surat-surat, harus meladeni omelan dan cercaan mamanya sendiri.

“Bian, kamu benar-benar mau melawan Mama ya?”

Bian tak menjawab, ia terus fokus pada pekerjaannya. Sebab ia tahu, menjawab pun akan berakhir sama, perdebatan.

Namun melihat anaknya tak menggubris, Mama Liana semakin menggila. Ia melempar satu vas bunga yang ia beli dari Perancis hingga hancur tak berbentuk. Bian yang terkejut melihat amarah sang ibu, kini mulai berhenti dan berdiri sambil memandang ibunya.

“Apa Mama ingin aku berhenti?” tanyanya.

“Harusnya itu yang kamu lakukan dari dulu, berhenti!” teriak mamanya.

Bian menarik napas panjang dan melanjutkan kalimatnya dengan tatapan mengancam.

“Kalau begitu aku juga akan berhenti dari penerus Keluarga Herdianto. Mama bisa berikan perusahaan Almarhum Papa pada orang lain” jawabnya tegas.

Mama Liana terkejut dengan jawaban putranya. Ia memang berniat menjadikan Bian penerus Keluarga Herdianto. Dialah yang akan mewarisi semua perusahaan ayahnya yang telah meninggal dua tahun lalu. Mamanya sangat mengagumi dan mengakui kemampuan Bian dalam bekerja dan memimpin perusahaan.

Selama ini dia sudah menjadi direktur eksekutif di salah satu perusahaan yang ia pegang. Hanya tinggal waktu sampai dia menjadi pemilik semua perusahaan yang ayahnya wariskan.

Dan Bian tahu persis kelemahan mamanya. Ia tidak bisa melihat anaknya tidak menjadi penerus warisan ayahnya. Kemampuannya yang diakui banyak orang membuat Bian menjadikannya ancaman untuk mewujudkan pernikahannya dengan Alisha.

“Gimana, apa mama bisa terima?”

Mamanya hanya diam karena napasnya tengah tersengal. Ia terlalu banyak berteriak mengancam sang anak. Kini setelah putra satu-satunya memberikan perlawanan, akhirnya ia tak bisa berkutik.

Bian memenangkan pertarungan itu. Meskipun tahu mamanya tak akan diam sampai di sini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!