"Assalamualaikum, ibu baru pulang ngaji ya?" tanya Diah.
"Ya kamu kira pake gamis, dari mana. Dasar menantu enggak peka. Itu kamu bawa koper mau kemana?"
"Diah udah kabarin mas Fariz, tiga hari Diah dan Mia ada catering di solo. Diah pamit ya bu!"
"Ya udah sana, bawa oleh oleh solo kalau pulang. Seenggaknya ibu mertua enggak lihat kamu beberapa hari enggak pegel karena kamu belum hamil hamil, meski kehilangan kamu yang sering masak. Tapi kamu udah beliin yang ibu mintakan, kamu belanjain enggak?"
"Udah kok bu. Kalau gitu Diah pamit. Assalamualaikum."
"Heeum." jawab ibu mertua Diah sekenanya, dimana ia langsung melihat stok kulkas. Membuat Diah menggeleng kepala saja.
Diah, berusaha berjalan pelan di tangga busway yang menjulang. Di pertengahan lorong tangga, ia menoleh menatap alu lalang kendaraan dan kerlip perkotaan di gedung yang bersaing tinggi.
"Jika impian bahagia selalu bisa di miliki seseorang, kenapa aku belum bisa meraihnya?" lirih Diah seorang diri.
Mungkin dari ketinggian, Diah bisa menatap luka yang kini robek terlalu, Diah sadar dirinya bukan wanita yang suci dan baik baik saja. Jika ia berpisah dari mas Fariz pun. Sebuah luka masa lalu tentang dirinya yang dinikahi tidak normal pada umumnya, pasti akan diungkit setelah statusnya berubah.
Diah menatap kosong, pikirannya begitu terlalu hanyut. Hanyut mengatakan jika suaminya akan setia padanya sampai akhir. Kenyataan ia berjuang bersama dengan tingkah kekanak kanakan, membuat Diah memahami dan menerima bagaimana seorang suami yang ia dapat sebagai imamnya. Tapi kenapa mas Fariz tidak menerima dirinya, apa adanya.
Diah semakin sedih, kesedihannya adalah mengingatkan, dosa masa lalu atau kah ini ujian. Jika ini adalah ujianmu, maka aku ikhlas, tapi jika ini peluntur gugur dosaku. Maka kuatkanlah aku! jeritan Diah, saat ini bingung untuk melangkah pulang.
"Diaaaaah,!" teriak Mia.
Diah menoleh, ia menyingkirkan poni yang tersapu angin, ke pinggir daun telinganya. Lalu berusaha senyum menatap Mia yang melangkah menghampirinya.
"Kamu belum pulang Mi?"
"Diah! ngapain di tengah tengah kaya gini, ini tangga tengahnya banyak kendaraan. Kamu ga berencana bunuh diri kan?"
"Seberatnya beban aku, aku masih punya iman Mi! boleh aku pinjam bahu kamu sebentar?" menyusut senyuman Diah, karena rasanya air mata tak bisa ia bendung lagi.
Mia mengangguk, ia mengerti perasaan Diah saat ini. Menepuk punggung Diah agar bisa selalu bersabar! Mia juga bercerita pada sahabatnya itu, agar Diah bisa tetap tegar dan ikhlas.
"Aku ngerti sekarang! kalau kamu ga sanggup bicara gak apa Diah. Tapi aku, aku sahabat yang akan selalu ada buat kamu. Jadi kamu butuh apapun, aku akan temani kamu. Jangan lagi sendirian, jangan lagi menutupi luka yang udah menumpuk jadi beban!"
"Thanks Mi. Aku hanya sedang berusaha menghibur diri sendiri dan terlihat baik baik saja. Meskipun banyak beban dalam pikiran. Aku ga tahu apa aku sanggup, sejujurnya aku takut Mi!" jelas Diah.
Setelah Diah berhasil tenang, ia senyum mengucapkan terimakasih. Sejujurnya lelahnya Diah hanya butuh sandaran dan pengertian. Dan di saat pulang, bukannya ia mendapat suasana yang hangat, namun berakhir panas.
Diah dan Mia kembali berjalan menuju halte, mereka memang satu jurusan. Dengan kartu kuning yang ditempelkan, Diah dan Mia berhasil menunggu bus tujuannya.
"Aku dah baik baik aja kok, oh ya. Besok pagi kita udah siap kan, kamu ikut juga?"
"Jujur Diah, anak aku sakit. Seharusnya udah mau resign. Tapi bingung kalau nanti ga kerja, gimana soal kebutuhan. Tahu sendiri suami cuma opang, sulit diatur karena doi masih aja suka main botol hijau sama kawan kawannya. Putri sama Ridho ga ke urus."
Diah bagai di sambar petir, kehidupan rumah tangga benar benar tidak ada yang semulus tawa bahagia yang direncanakan.
Tapi ia mengerti, bagaimana sikap dewasa menghadapinya. Diah pikir, hanya ia saja yang teraniaya. Tapi Tuhan memberikannya sentilan, lewat Mia.
"Aku turut prihatin. Ini kamu pakai uang aku, kalau udah ada baru di ganti ya!" senyum Diah menyodorkan beberapa lembar uang merah.
"Diah. Aku masih ada kok, jangan! hutangku aja masih banyak sama kamu. Aku nyesel jujur deh." ungkap Mia yang merasa tak enak, ketika Diah menyelipkan uang dengan ditutupi sapu tangan ke dalam tas nya.
"Kalau kamu ga jujur aku marah! kamu lebih perlu, kedua anak anak kamu insyallah jadi penguat kamu Mia. Soal dapur umum, nanti aku kasih tau Sely. Kamu ga usah khawatir, temenin anak anak kamu aja dulu berobat. Semoga cepat sehat ya!"
"Semoga pas hari ketiga atau ke empat, aku udah bisa handle yang di bandung." jelas Mia.
"Amiin."
Mia memeluk Diah, tak perduli dengan tatapan para pria lain dan anak abg, yang melihat keakraban mereka di depan umum. Hingga busway yang memisahkan tempat perhentian mereka saat itu.
BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
Diah sudah menepi di gang kecil, jarak rumahnya tak jauh depan mushollah. Diah berhenti melihat pemandangan, seorang ustad sedang mengajarkan mengaji anak anak. Diah menghela nafas dalam dalam, ia sudah berapa lama tahunnya tak menyentuh tulisan ayat suci yang Tuhan buat untuk umatnya mengingat.
Kali ini, untuk kedua kalinya Diah merasa tertampar, lalu ia kembali pulang dengan perasaan tidak karuan.
"Alah mak, jadi begitu! istrimu itu gila kerja. Apa ga cukup gajimu itu sepuluh juta yang kamu kasih ke Diah? Fariz, nanti ibu kasih tahu istri kamu. Supaya dia melek, sadar diri!" ucap mertua Diah mengomel.
Diah yang baru saja sampai di teras, ia ingin mengetuk pintu kala dirinya membawa koper tadi siang untuk besok berangkat ke solo. Namun tiba saja mendengar lontaran yang membuat hatinya semakin sakit. Diah tak percaya tapi lagi lagi, mas Fariz sudah membual omongan yang bukan bukan.
"Kenapa kamu ga bicara sejujurnya aja mas, kamu itu nganggur. Haruskah aku berpisah, tapi dengan status berpisah. Maka hidupku apa akan aman, tidak adakah kesakitan dan cercaan lagi bagiku nanti setelah ini?" lirih Diah.
"Assalamualaikum!" Diah salam dengan senyum.
"Walaikumsalam."
Tapi sorot mata mertua, bahkan wanita bernama Mira sudah ada di samping suaminya Fariz. Lagi lagi Diah senyum berusaha untuk legowo. Lalu dengan santai dan lugas Fariz menyambutnya dengan lantang.
"Lihat bu! seperti ini istri Fariz. Pulang larut, ya seperti ini pastinya, ibu lihat kan. Jadi ga salah dong, kalau Fariz minta nikah lagi?"
Diah menggigit bawah bibirnya, berusaha menahan tangannya yang mengepal. Berusaha mengatur intonasi suara tetap stabil, meski kesedihan dan emosi telah memuncak.
"Ada apa ini mas? Bu, sudah lama di sini?"
"Ya menurut kamu, ibu bakal bilang sama mama kamu. Supaya berhenti aja kerja, bukannya catering udah bangkrut. Kok masih mau sih, kerja terus. Untung ibu pergokin malam ini, tahunya Fariz kenalin Mira kedua kalinya sama ibu. Minta bantuan sama ibu dan minta menikah .." terhenti menjelaskan.
"Maaf Bu! Diah potong. Dia udah tahu apa maksud mas Fariz. Sekarang maunya mas Fariz apa, mau minta Diah untuk ikhlas berbagi? lagi pula, jika Diah tolak. Mas Fariz juga udah nikah duluan tanpa ibu tahu kan?"
Gleuuuk! terdiam Mira dan Fariz.
"Tunggu, Fariz udah nikah duluan?" syok.
"Bu, Diah capek. Beri Diah waktu, jika ibu mau nerima Mira sebagai mantu ibu. Kita selesaikan minggu depan, Diah besok subuh harus pergi. Kantor minta Diah handle catering di luar kota. Diah minta maaf jika tidak sopan."
Hal itu membuat Diah dan mertuanya saling diam menatap, mungkin lelah Diah sudah tidak tertolong membuat semua orang terdiam.
Diah pamit, sesampai di dalam kamar. Diah merapihkan segala pakaian untuk sepekan ia tak ada di rumah. Sakit benar benar, hatinya rapuh. Tapi ia harus tetap tegar, ketika esok ia harus menghandle pekerjaan. Agar pelayanan custumer tidak mengecewakan dan komplain pada pihak Catering dan itu akan membuat pak Ifan bermasalah kelak, jujur saja Diah masih mengimbangi keadaan yang mungkin tidak adil baginya.
"Diah. Tunggu! kamu mau kemana Diah?" teriaknya lugas.
"Aku malam ini mau kemasin barang mas, kan aku bilang aku punya kerjaan. Kalau aku enggak kerja, siapa yang kasih uang aku sepuluh juta tiap bulan, apa kamu?" ujar Diah, saat itu Fariz menutup mulut Diah.
"Jangan keras keras Diah!"
"Cukup mas Fariz, mas Fariz boleh lakuin apapun. Diah benar benar ingin berfikir, dengan sibuk Diah bisa lupa sakit hati ini." pamit Diah saat itu juga.
TBC.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments