BAB 3. MENASEHATI SAHABAT

"Lama amat sih mereka Ma, memangnya kondisi Papa kritis ya Ma?" tanya Gladis yang sudah tidak sabar menunggu Satria keluar dari ruangan dokter.

"Mama juga nggak tahu, barangkali iya. Kita tunggu saja info dari mereka. Kamu makan gih, keburu dingin nggak enak."

"Iya Ma, aku makan dulu deh."

Gladis pun membuka makanan yang di bawakan oleh Satria dan Zahra. Tapi baru satu suap Gladis menjulurkan lidahnya sembari berteriak, "Ma, tolong ambilkan minum, cepat Ma!"

"Kamu kenapa Dis, memangnya makanan itu pedas ya!"

"Gila mereka, bukan pedas lagi Ma, tapi lidahku seperti terbakar."

"Kita diberi makanan seperti ini Ma, semua ini pasti ulah Zahra. Awas kamu Zahra, aku akan membalas perlakuan mu. Sebentar lagi kamu akan aku tendang dari rumah keluarga Narandra!"

"Ini di minum dulu Dis, percuma kamu marah-marah, tidak ada guna. Lebih baik kita cepat susun rencana agar Satria segera menceraikan Zahra."

"Iya Ma, nanti aku akan desak Papa Narandra. Mama bantu Gladis ya."

"Tentu Dis, makin cepat kamu menikah dengan Satria semakin baik. Kamu tahu kan, keuangan Mama semakin menipis, mana papamu nggak pernah transfer uang lagi. Dia sudah terlena dengan bujuk rayu bini muda, makanya melupakan kita."

"Mama sih melarang aku kesana, aku kan bisa berbuat sesuatu untuk mengancam istri muda Papa. Enak saja dia mau berkuasa, dulu saat papa susah kita kan yang memberi dukungan. Nah sekarang orang lain yang menikmati jerih payah kita Ma."

"Sudahlah Dis, kita fokus dengan pernikahan kamu dulu. Jika kita berhasil, apa yang Papa mu miliki sekarang tidak sebanding dengan apa yang bakal kamu dapatkan dari Kak Narandra."

"Iya deh Ma. Ma, lihat itu mereka keluar, tapi mau kemana ya Ma? Kok mereka malah pergi ke arah sana?"

"Biarin deh, sekarang kesempatan kita untuk menjenguk Kak Narandra. Mumpung mereka keluar, kita bisa leluasa. Yuk cepat kita kesana!"

"Ayo Ma!"

Keduanya pun bergegas, masuk ke ruang rawat Narandra. Di sana terlihat Narandra sedang terbaring lemah dengan berbagai alat menempel di tubuhnya.

"Kak," sapa Herlina.

"Papa cepat sembuh dong, Gladis sedih melihat Papa seperti ini," ucap Gladis pura-pura sedih. Diapun menggenggam tangan Narandra untuk memberi dukungan.

Narandra hanya tersenyum karena saat ini hidung dan mulutnya tertutup oleh alat bantu pernapasan. Beliau cuma menggerakkan jari-jemari dan sepertinya ingin merespon apa yang Gladis katakan.

"Kakak jangan banyak pikiran dulu biar cepat sembuh, tapi saran ku Kak, saat ini waktu yang tepat untuk Kak Narandra mendesak Satria lagi."

"Beri Satria pilihan, menuruti kemauan Kakak atau mempertahankan Zahra. Dia pasti takut kondisi Kakak makin ngedrop dan sudah pasti akan menuruti permintaan Kak Narandra."

Saat Herlina mengatakan hal itu, dokter yang baru masuk langsung meminta keduanya untuk keluar.

"Maaf Bu, sebaiknya kalian keluar dulu. Saya akan mengecek kondisi pasien."

"Tapi Dok, kami baru sebentar lho! tolong Dok, izinkan saya menemani Kak Narandra."

"Maaf Bu,besar ini yang terbaik adalah membiarkan pasien untuk beristirahat," ucap Dokter sembari tangannya mempersilakan Herlina dan Gladis untuk keluar.

Sesampainya mereka di luar dokter pun langsung berkata, "Tolong jangan bebani pasien dengan masalah, biarkan pikirannya tenang. Jika terjadi apa-apa, ibu nanti dipersalahkan oleh Satria."

"Iya-iya Dok, kami hanya berniat baik, dokter aja yang nggak tahu bagaimana keinginan Kak Narandra."

"Ayo Dis kita pulang saja! Percuma di sini juga kita tidak diberi izin untuk menjaga Kak Narandra."

"Iya Ma."

Keduanya meninggalkan rumah sakit, sementara Dokter kembali keruangan Narandra.

Ketika beliau mengecek kondisi Pak Narandra tiba-tiba tangannya ditarik dan Pak Narandra minta alat bantu pernapasannya dilepas.

"Biarkan seperti ini dulu Ndra, nanti kamu sesak lagi."

Tapi Narandra berkeras dan ingin membukanya sendiri. Melihat hal itu, dokter pun membukanya untuk sementara.

"Apa yang mau kamu bicarakan Ndra? istirahatlah, kondisimu belum stabil."

"Tolong Jen, nasehati putraku. Aku ingin mempunyai cucu sebelum mati," pinta Narandra sembari menggenggam tangan sahabatnya.

"Kamu jangan pikirkan itu dulu, kamu nggak akan mati, Satria pasti akan memberimu cucu. Aku juga belum punya cucu, tapi aku santai saja, Ndra. Tuhan belum berkehendak, kita bisa apa, selain usaha dan tetap berdoa."

"Anakmu banyak, jadi masih punya harapan, nah aku cuma Satria dan dia keras kepala. Satria tidak mau menceraikan Zahra yang jelas-jelas tidak bisa memberinya anak."

"Kamu juga jangan egois Ndra, Zahra pasti nggak mau ada di posisi seperti ini. Seandainya Zahra itu putri kandungmu dan dia diperlakukan mertuanya seperti kamu memperlakukannya sekarang, bagaimana perasaanmu sebagai ayah Ndra?"

Narandra terdiam, sebenarnya ada rasa iba, tapi dia juga tidak mau jika garis keturunannya terputus.

"Tapi Jen..."

"Aku tahu perasaan mu Ndra. Aku punya saran, bagaimana jika mereka tidak usah bercerai dan mereka pinjam rahim wanita lain untuk melahirkan anak mereka."

"Bayi tabung maksudmu?"

"Iya. Aku sudah membicarakan hal ini kepada Satria dan Zahra, mereka setuju. Tinggal kamu sekarang. Berilah putramu kesempatan untuk mempertahankan rumah tangganya."

"Tapi aku nggak mau jika cucuku lahir dari perempuan tidak baik."

"Ya, aku setuju. Makanya aku menyarankan agar mereka mencari wanita baik yang bersedia untuk itu."

"Kalau gagal bagaimana?"

"Itu terserah kesepakatanmu dengan Satria dan Zahra. Aku hanya bisa beri saran, hindarilah perceraian."

"Seperti yang kita tahu, perceraian memang tidak dilarang dalam agama, namun Allah membenci sebuah perceraian (talak)."

"Jadi perceraian hanya jalan terakhir ketika terjadi permasalahan dan saat semua cara telah dilakukan untuk mempertahankan rumah tangga, namun tetap tidak ada perubahan," ucap Rajen yang berusaha menasehati sahabatnya.

"Baiklah Jen, aku akan ikuti saranmu dan memberi Zahra kesempatan. Tapi jika program bayi tabung ini gagal, dia harus bersedia bercerai dari Satria."

"Dan aku yang akan menentukan siapa wanita yang layak untuk mengandung anak mereka."

"Hemm, itu terserah kamu. Yang terpenting rembukkan semuanya kepada Satria dan Zahra."

"Di mana Satria Jen, aku mau bicara. Tolong panggil Satria ke sini."

"Nanti saja Ndra, sekarang kamu istirahat dulu. Lihatlah, nafasmu kembali sesak. Aku akan pasangkan lagi alat bantu ini. Lagipula saat ini Satria dan Zahra masih ke apotik lain untuk membeli obat mu yang stock di sini sedang kosong," ucap Rajen.

Akhirnya Narandra pun setuju, lalu Rajen memasangkan alat bantu tersebut dan meminta sahabatnya untuk tidur.

Rajen berjanji, setelah Satria kembali dia akan membangunkan Narandra.

Saat melihat sahabatnya bernafas dengan tenang, Rajen pun bersyukur. Dia berharap mudah-mudahan cara yang disarankannya, menjadi solusi terbaik bagi masalah sahabatnya itu.

Rajen meninggalkan ruangan, dia harus mengontrol pasien lain sambil menunggu Satria kembali.

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

Dwi ratna

Dwi ratna

komen ah msa cm bca doang, kesian othorny...

2023-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!