"Sayang, kenapa memberi izin pada Rara bekerja di sana?"
Protes Melati tak setuju dengan syarat yang Amira ajukan.
Sia-sia selama ini usaha Melati jika pada akhirnya Amira malah bekerja di sana.
"Mau bagaimana lagi sayang, Amira hanya meminta satu tahun saja. Yang penting nanti Amira mau memegang perusahaan,"
"Tapi kenapa harus di Q.B Grup bukan F.B Grup!"
"Tunggu sayang, kenapa kamu semarah itu. Apa ada sesuatu!"
Selidik Jek bingung, tak biasanya istri ya protes.
"Tidak! tapi bukankah Rara tak menyukai otomotif, atau kenapa gak di perusahaan B.B Grup saja yang cocok dengan cita-cita nya!"
"Kalau di B.B grup aku gak setuju, perusahaan itu ada di Jerman yang di pegang om Fandi, jauh lagi!"
"Kenapa sih, malahan itu bagus. Apalagi perusahaan kita juga sedang kerja sama dengan Q.B grup. Biarkan Amira mempelajari di sana!"
"Tap--"
"Sudah sayang, kamu itu aneh. Bukankah sayang yang ingin Amira pulang, jika aku mengubah keputusan dia malah senang jika bekerja di Jerman. Apa kamu siap jauh lagi dengan Amira!"
Melati terdiam, benar kata suaminya. Ini keinginan dia Amira pulang. Jika Amira pergi lagi, Melati tak bisa jauh lagi dari putrinya.
Tapi kenapa harus Q.B Grup gak yang lain, Melati kurang setuju jika putrinya bekerja di sana.
Melati hanya takut sesuatu terjadi, namun Melati juga tak berani bercerita pada suami nya. Melati takut Jek tidak akan percaya sebelum ada bukti.
Jek semakin heran dengan perubahan istrinya, bahkan sekarang malah melamun.
"Sayang, kenapa jadi melamun?"
"Gak, aku hanya tak menyangka, putri manja kita sudah dewasa!"
"Ya, sekarang ayo kita tidur!"
Melati mengangguk saja lalu berbaring memeluk tubuh Jek. Melati menyandarkan kepalanya di dada bidang Jek. Tempat paling ternyaman yang Melati miliki.
.
Sedangkan di kamar, Amira terus saja tersenyum.
Ini gila, namun Amira tak bisa mencegah hatinya untuk terus mendekat.
Amira sudah berusaha tiga tahun belakangan ini mencoba membuka hati. Namun, tak bisa. Terlalu sulit bagi Amira menghapus satu nama di hatinya.
Ini gila benar-benar gila. Tapi, bukankah cinta tak bisa di cegah. Ia hadir tanpa Amira minta, walau Amira tahu dia sudah menyakiti cinta lain.
Amira melirik Aurora yang sudah tidur setelah Aurora tadi bercerita.
Amira merebahkan tubuhnya di samping Aurora. Namun, belum sempat Amira merebahkan tubuhnya ponselnya berdering.
Bunga, nama itu tertera di layar ponsel canggih Amira. Amira menghela nafas berat, Amira yakin Bunga pasti akan mengomel padanya.
"Ya ampun Ra, kau gila. Kenapa pulang gak bilang-bilang sih. Bahkan kau tak pamit juga pada Moreo. Dari tadi dia nanyain kamu terus tahu. Apa yang kamu pikirkan, jangan membuat sesuatu yang akan menyakitimu!"
Amira menjauhkan ponselnya dari telinganya mendengar Omelan dari sahabatnya yang terus nyerocos tak ada jeda. Sudah Amira duga, Bunga pasti akan marah padanya.
"Katakan apa yang membuatmu kembali, bukankah waktumu satu tahun lagi. Aku bingung harus menjawab apa pada Moreo,. kau ini membuatku pusing saja. Katakan ada apa, jangan buat hal gila, Ra!"
Ancam Bunga merasa takut sahabatnya melakukan hal gila yang akan merugikan dirinya sendiri dan tentu akan menyakiti Moreo.
Sendari dulu Moreo berjuang hanya ingin mendapati hati Amira. Hingga satu tahun lalu Amira mencoba membuka hati untuk Moreo. Namun, nyatanya gagal, semuanya tak semudah yang Bunga katakan.
"Sayang nya Aku sudah membuat keputusan gila, Bunga!"
Pada akhirnya Amira mulia bersua membuat Bunga di sebrang sana melotot tak percaya. Bagaimana mungkin Amira akan sebodoh dan sekejam itu pada Moreo.
"Ra jangan gila!"
"Tapi aku sudah gila sejak dulu, kamu tahu itu!"
"Tapi Moreo bagaimana, Ra. Kamu akan menyakiti nya,"
"Lebih baik sekarang aku menyakiti dari pada dia terus tersakiti. Aku gak bisa Bunga aku gak bisa. Itu terlalu sulit bagiku, aku sudah mencoba kamu tahu itu. Tapi, hasilnya gagal!"
"Ra,"
Berkali-kali Bunga menghela nafas berat di ujung sana bahkan Amira tahu bagaimana cemasnya Bunga akan dirinya.
Empat tahun bukan waktu yang mudah bagi Amira melupakan semuanya. Semakin Amira mencoba melupakan maka hati Amira semakin sekarat.
"Kau memang keras kepala, Ra!"
"Aku akan menelepon Moreo setelah ini!"
"Dia menyusul mu balik, mungkin sekarang sudah ada dalam pesawat!"
Deg ...
Amira terdiam dengan hati bergemuruh, bahkan pikirannya menjadi kacau.
Apa keputusan Amira sudah benar, memperjuangkan cintanya dan menyakiti hati lain. Atau Amira harus pura-pura menerima orang lain walau harus menyakiti dan membohongi dirinya sendiri.
Dua-duanya sangat menyakitkan bagi Amira. Tapi Amira tak mau terus menyakiti Moreo terus dan membohongi dirinya sendiri. Kalau sampai saat ini Moreo belum bisa menghapus nama Alam di hati Amira walau sedikit pun.
Lantas apa yang harus Amira lakukan, semuanya sulit untuk Amira lakukan.
Jika Moreo menyusulnya, Amira harus benar-benar siap untuk mengakhiri semuanya.
Ya, itu keputusan yang sudah Amira buat, dan ia tak akan pernah menyerah begitu saja. Sampai di mana waktu yang menyuruh Amira berhenti.
"Ra, Amira!!!!"
Teriak Bunga di sebrang sana karena tak mendengar suara Amira. Bahkan nafas Amira saja Bunga tak mendengarnya. Jika saja studi nya sudah selesai Bunga pasti akan meminta Raja untuk mengantarkannya kembali ke Indonesia. Guna menemani sahabatnya itu. Tapi, Bunga bisa apa, dia tak bisa apa-apa selain memperingati sahabatnya itu.
"Bunga, aku tutup dulu teleponnya. Sampaikan salamku pada Sekar, aku menyayanginya!"
Tut ... Tut ...
Amira langsung mematikan teleponnya tanpa mempedulikan teriakan Bunga di sebrang sana.
Ini sudah jadi keputusan Amira, maka ia harus sanggup menanggung resiko nya. Apapun yang terjadi kedepannya Amira tak akan pernah mundur lagi. Ia sudah sejauh ini melangkah dan tak mungkin mundur kembali.
"Maafkan aku Moreo!"
Gumam Amira sambil meletakan ponselnya.
Amira tahu, Moreo dari dulu mengejarnya, namun bukankah hati tak bisa di paksakan. Amira sudah mencoba memaksa hatinya untuk Amira berikan pada Moreo. Namun, nyatanya hasilnya tetap sama.
Amira tak bisa mencintai Moreo, Amira hanya menganggap Moreo sahabatnya dari dulu sama seperti Rangga dan Raja, tak lebih dari itu.
Sejauh ini Amira sudah melangkah dan menuruti semua apa yang di katakan sang mama. Tapi, bolehkah sekarang Amira egois, untuk sekedar mengejar apa yang dia inginkan.
Amira berusaha memejamkan kedua matanya, berharap hari esok adalah hari yang baru baginya. Hari yang akan mengubah hidupnya.
Entah kehidupan rumit atau mudah yang akan Amira lalui selanjutnya.
Amira sudah bertekad, ia akan mengejar apa yang seharusnya jadi miliknya.
"Tunggu Rara, Om!"
Gumam Amira dengan mata terpejam, seolah Amira sedang bermimpi dalam tidurnya.
Bersambung ..
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments