Keluarga ini penuh dengan kebohongan, sangat sesak tinggal di sini.
~
Awan putih empuk dirasakan kaki kecil Gracia. Sekelilingnya dipenuhi langit warna-warni bagai permen kapas. Di depannya berdiri sosok transparan dengan kecantikan menakjubkan.
Gracia berusaha menyentuhnya, tetapi itu seperti bayangan. Mungkin saja itu adalah ruh dari gadis dalam kristal es.
“Snow White!” pekik Gracia tanpa sadar.
Gadis itu menaikkan sudut bibirnya. Wajah mungilnya menampakkan mata sehijau hutan meneduhkan.
“Kau bisa panggil aku seperti itu,” balasnya yang memiliki suara indah.
“Kenapa Gracia bisa bertemu Snow White?” tanya Gracia bingung. “Apa Gracia sudah ....”
“Jangan berpikiran negatif. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Tentu dengan izin langit.” tuturnya menghentikan pikiran buruk yang hampir menyentuh Gracia.
“Aku hanya ingin memintamu untuk pergi jauh dari klan Beruang Kutub. Terutama rumah ini.”
Gracia memiringkan kepalanya heran, sebelum bertanya lebih lanjut terdapat gelombang cahaya dengan kecepatan tinggi di belakang Snow White.
“Ah, waktunya habis.”
Cahaya itu menerjang Gracia, matanya tertutup, tetapi telinganya masih mampu mendengar kata-kata terakhirnya.
“Pergilah, kau bisa terluka!"
Lalu semua pemandangan itu berhamburan entah ke mana. Ketika matanya terbuka, semuanya kembali. Di mana sinar jingga menembus jendela kaca dan menghangatkan kamarnya itu.
Gracia bangun perlahan, ia diam sebentar lalu menurunkan pandangan ke lantai kayu yang dingin. Semuanya hanya mimpi, tapi terasa sangat nyata.
Namun kenapa Snow White memintanya pergi?
Kenapa dia tidak mau pembunuhnya diungkap?
Apa mungkin rumah ini ....
Sebelum Gracia berpikir lebih jauh, pintu kamar terbuka menampilkan seorang wanita dengan manik biru. Dia Alexandra.
“Selamat pagi, Gracia. Apa tidurmu nyenyak?"
“Pagi, Bibi. Tidur Gracia sangat nyenyak berkat perawatan Bibi!" riangnya seraya turun dari tempat tidur.
“Bagus, ayo basuh tubuhmu dan turun ke bawah. Semua orang sudah menunggumu,"
Gracia mengangguk patuh. Dirinya melakukan semuanya sesuai dengan tuntunan Alexa. Perihal mimpinya hari ini, mungkin harus dikesampingkannya terlebih dahulu.
🐇
Apa kataku sebelumnya.
Gadis itu memang cantik bahkan meski sudah menjadi ruh.
Sayangnya aku lebih penasaran dari setiap kata-katanya itu.
Dia tidak seharusnya memintaku untuk menyerah. Walaupun dia tidak masalah dengan kematian itu, tapi itu bukanlah sebuah kebenaran.
Semua orang berhak untuk hidup, orang lain tidak boleh mengambil nyawa siapapun, dan kita tidak boleh mengambil nyawa kita sendiri.
Meskipun nyawaku taruhannya, aku memilih untuk menetap.
Tanpa rasa takut aku menegakkan tubuh untuk menjadi pilar di rumah itu.
🐇
Gracia duduk di kursi dengan sopan. Dihadapannya terdapat meja bundar raksasa yang terbuat dari kaca berkilau yang sudah diisi berbagai jenis makanan, terutama daging Kelinci.
Bibirnya melengkung ke bawah ketika melihat itu. Dia hanya bisa beralih kepada salad sayur dengan irisan daging dan sup wortel yang akan lebih enak dibarengi dengan daging Rusa goreng.
Mata pink itu memilih mengalihkan perhatiannya dan menatap para Beruang Kutub yang sudah sama-sama duduk di kursi untuk makan bersama. Dia sudah kenal dengan satu orang itu, dia putranya Bibi Alexa yang tampan dan ada lagi lelaki dengan perawakan berbeda serta seorang gadis dengan manik merah ruby.
Alexa keluar dari dapur dengan semangkuk kentang goreng di tangannya. Setelah kehadirannya, suasana yang tadinya canggung menjadi nyaman.
“Kenapa Ibu memasak banyak sayur mayur dan umbi?” tanya putranya.
“Benar, tidak biasanya!" timpal gadis di samping Gracia.
“Gracia tidak bisa makan daging jadi Ibu membuatkan ini untuknya. Memang tidak mudah, tapi Ibu harap Gracia senang,” tutur Alexa lembut.
Mereka bertiga mengangguk, lalu semua perhatian tertuju padanya.
“Maaf karena aku belum memperkenalkan diri, kau bisa panggil aku Naomi,"
Melihat Naomi memperkenalkan diri, dengan cepat pemuda di sampingnya berbicara kepada Gracia.
“Gracia bisa panggil aku Alex, aku yang pertama kali melihatmu sebelumnya!"
“Andro," ucap pemuda di depannya singkat.
“Salam kenal semua." jawab Gracia menunduk malu.
Ketukan di lantai berhasil menghentikan suasana hangat di meja. Gracia membulatkan matanya ketika menoleh ke belakang. Pria dengan tubuh raksasa berjalan ke arahnya.
Pria itu menunduk menatap Gracia yang mengadah. Di wajahnya hanya ada ekspresi dingin tidak peduli.
“Jadi kau Si Bocah Penjelajah Hutan?"
Gracia ingin sekali mengeluarkan suara, tetapi lidahnya terasa kelu sehingga dia hanya bisa mengangguk kecil.
“Hngh, Sampah." gumam pria itu sambil duduk di kursi yang lebih besar dari yang lain.
Mungkin yang lain tidak mendengarnya, karenanya Gracia hanya bisa tersenyum pahit.
Acara makan itu dimulai setelah Alexa menyajikan makanan pada suaminya. Anak-anaknya yang lain ikut mengambil makanan secara bergantian, tidak luput dengan Gracia.
🐇
'Waw', kata itu yang pertama kali terucap di hatiku saat itu.
Kata itu muncul bukan karena aku takjub tentang dia yang berbadan raksasa.
Mungkin karena aku merasa aneh.
Ada semacam aliran listrik dari dalam darahku ketika bertemu mata obsidiannya.
Padahal kukira mereka keluarga sempurna. Ada anak-anak remaja yang tersenyum ceria kepada pendatang baru sepertiku, serta wanita yang mencintai anak-anaknya.
Semuanya terlihat dari mata mereka.
Hanya satu kurangnya ....
Aku tidak bermaksud menunjukkan kekurangan itu, biarkan kalian yang mencarinya sendiri.
Petunjuk dariku adalah .... Terkadang kisah keluarga tidak sesuai dengan bentuk rumahnya.
🐇
Gracia kembali terkurung di kamar barunya itu. Semua ini bisa terjadi berkat Tetua keluarga di rumah ini. Dia dengan datar memerintah Alexa membawa Gracia kembali ke kamarnya.
“Jangan biarkan Bocah itu mengotori lantai rumah,"
Gracia bisa menangkap kejadian itu di tangga yang jaraknya cukup jauh. Berkat ketajaman indera Kelinci, mata bergetar Alexa terlihat jelas.
“Memangnya sekotor apa Bocah Penjelajah Hutan?" tanya Gracia kesal pada langit biru di luar jendela.
Dirinya selalu mandi setiap hari, makan-makanan sehat, dan merapikan tempat yang ditinggalinya sementara.
Apa itu yang disebut kotor?
Gracia hanya bisa mengembuskan napas seraya menatap ke karpet salju di halaman. Dalam rencananya dia ingin membuat bola salju dan bermain dengan kawan-kawannya.
Sayang di sini dia tidak memiliki kawan.
“Gracia!” teriakan itu membuat Gracia menoleh ke asal suara.
Alex memandang dari kejauhan, pemuda itu mengenakan mantel berlapis sambil memainkan bola salju di tangannya yang dibalut sarung tangan hitam.
“Ayo main bersamaku!" ajaknya riang.
Mata Gracia berbinar mendengarnya, tetapi itu juga meredup kembali.
“Aku tidak boleh keluar!"
“Pasti karena Ayah, ya?”
Gracia mengangguk cepat.
“Kalau begitu lompat saja dari jendela. Setelah selesai bermain kau tinggal lompat kembali ke kamar!"
“Loh, memangnya bisa?” tanya Gracia kembali menatap halaman di bawah. “Ini tinggi sekali!”
“Kita kan Beruang!”
Mendengar jawaban itu pikiran Gracia terputus sejenak, matanya berkedip-kedip lalu sadar akan hal itu.
Di sana Alex memiringkan kepalanya heran. Apa dia curiga?
Mau tidak mau Gracia mengeluarkan kakinya dari jendela.
“Ya, aku ini Beruang Kutub pemberani!" serunya segera melompat.
Angin kencang berembus, membawa kengerian di bulu Gracia.
Matanya yang terpejam mulai dibuka sebab heran, tidak ada rasa dingin di kakinya. Lalu Gracia sadar, pemuda dengan manik ungu menangkap tubuh kecilnya dengan sempurna. Wajah tampan itu dingin, sangat tidak cocok dengan adegan saat ini.
Andro mendaratkan Gracia perlahan di tumpukan salju lalu melayangkan tatapan tajam ke Alex.
“Dasar bodoh! Dia itu masih kecil dan tulang perempuan lebih rapuh!"
“Ah, maaf aku tidak tahu. Tidak perlu membentakku seperti itu." ucap Alex sambil berjalan mendekati Gracia.
Andro tidak peduli lagi dan memilih duduk di kursi taman yang dibalut salju.
“Ayo main sekarang!” girang Alex.
“Tapi apa dia tidak kedinginan duduk di–”
“Dia itu anti sakit. Jangan pedulikan dia."
Tanpa aba-aba Alex menarik tangannya. Pemuda itu mengajari Gracia membuat boneka salju dengan sangat telaten. Di tengah-tengah Naomi ikut bergabung sehingga permainan diganti menjadi perang salju. Walaupun Andro tidak ikut bermain, dia tetap terkena imbasnya hingga membuat tawa meledak.
Semuanya sangat menikmati waktu itu sampai permainan berakhir dengan kedatangan Tetua.
“Kenapa Bocah ini bisa keluar dari kamarnya?"
Suara berat itu membuat tubuh Gracia kaku. Dia ingin menjawab, tetapi kalah cepat dari lontaran Andro.
“Aku yang membawanya ke sini,"
“Yah, anak sepertimu tidak perlu diragukan lagi keberandalannya,” tuturnya berat. “Namun aku heran dengan Naomi.”
Matanya beralih ke iris ruby Naomi.
“Bagaimana caramu keluar .... Putriku sayang?" lanjutnya. “Bukankah pintu kamarmu sudah dikunci?”
Gracia terkejut dengan ucapan Tetua. Pintu kamar Naomi sampai dikunci?
Naomi meneguk ketakutannya lalu menjawab dengan berani.
“Kalau Kak Andro bisa membawa Gracia, kenapa aku tidak?”
Eh!
“Benar, saya juga ada di sini karena permintaan Kak Andro." timpal Alex seraya membusungkan dada.
Gracia menatap Alex bingung, lalu beralih ke Naomi dan Andro.
“Apa benar begitu, Andro?" tanya Tetua dingin.
Dalam hati Gracia sangat berharap Andro mengelak dari semua perkataan Naomi dan Alex. Namun dia menyunggingkan senyum mengejek dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menghina.
“Ibu yang memintanya, apa saya berani durhaka pada orang tua saya?"
Jantung di dada Gracia terasa berhenti berdetak. Bahkan udara dingin di sekitarnya tidak mampu membuat Gracia menariknya masuk ke paru-paru.
Keluarga ini penuh dengan kebohongan, sangat sesak tinggal di sini.
🐇
Itu adalah waktu paling menegangkan dalam hidupku. Dinginnya suhu, tatapan-tatapan kosong yang berbeda 180° dari sebelumnya. Semuanya sempurna.
Aku tidak merasakan kekurangan dari kejadian itu.
Aku masih bisa membayangkannya.
Betapa dinginnya mereka.
Mereka memang layak menyandang julukan itu.
‘Beruang Es'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments