16 tahun berlalu.
Kafka telah tumbuh menjadi seorang remaja yang baik hati, berbudi luhur, memiliki sopan santun, pekerja keras, ramah dan murah senyum. Itu adalah sifat yang di wariskan dari mendiang ibunya.
"Ibu!" panggil Kafka kepada Anggi.
"Ya? Kenapa nak?"
"Sini Kafka bantu bawain keranjangnya." ujar Kafka sambil merebut keranjang bunga yang di pegang Anggi.
"Kenapa gak belajar? Besok kan, sudah mulai masuk SMA?" tanya Anggi sambil tersenyum menatap putranya.
Kafka menggeleng sambil tersenyum. "Kafka ingin bantu ibu mengantarkan bunga." jawab Kafka. Cowok periang dan suka membantu. Itulah jiwa Kafka.
Anggi tersenyum bangga kepada putranya. Walaupun Kafka bukan putra kandungnya, tetapi berkat kehadiran Kafka dia tidak kesepian. Dia bisa merasakan bagaimana menjadi seorang ibu. Dan tentunya dia sangat menyayangi anak laki-laki tersebut.
"Pak Ahmad!!" panggil Kafka sambil melambaikan tangannya kepada tetangganya yang sedang membenahi genteng.
"Oh, kemana Kaf?!" teriak Pak Ahmad.
"Ngantar bunga pak!" jawab Kafka sambil teriak juga.
Tak jauh dari tempat itu. Kafka bertemu lagi dengan Bu Santi. Bidan ramah yang sangat akrab dengan Kafka. Bidan itu juga yang menjadi guru les Kafka selama ini.
"Bu Santi!" sapa Kafka dengan ramah.
"Eh Kafka. Mau antar bunga kemana nih?" tanya Bu Santi.
"Gak jauh kok Bu. Tuh di perempatan doang." jawab Kafka. Lalu tersenyum dan melanjutkan jalannya.
Anggi senang melihat Kafka yang ramah seperti ini. Sifatnya benar-benar fotocopy dari mendiang ibunya. Semasa hidup Vadya juga sangat ramah dan murah senyum. Banyak pelanggan yang datang ke toko Bunganya karena senang dengan pelayanan Vadya yang selalu ramah kepada semua pelanggan. Begitu juga sekarang ketika bersama Kafka. Selalu banyak pelanggan yang senang membeli bunga di tempatnya karena senang bertemu Kafka yang ramah dan murah senyum.
Setelah sekian lama berjalan. Akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang berada di ujung perempatan.
"Bunga!!" teriak Kafka sambil mengetuk pintu rumah.
Setelah menunggu beberapa saat keluarlah gadis kecil yang tingginya hanya sepinggang Kafka. Melihat gadis kecil yang keluar Kafka jongkok di hadapan gadis tersebut.
"Mamanya dimana dek?" tanya Kafka.
"Mama lagi keluar kak." jawab gadis kecil tersebut.
"Ini yang nerima bunganya adek?" tanya Kafka lagi.
Gadis kecil itu mengangguk sambil merogoh sesuatu dari sakunya. "Ini kak uangnya." ucap gadis tersebut sambil menyodorkan sejumlah uang kepada Kafka.
"Gadis manis. Nih bunganya." kata Kafka sambil mengacak pelan rambut gadis kecil tersebut. "Oh iya, nama kamu siapa?" tanya Kafka sambil tersenyum.
"Kaila kak."
"Wah, namanya cantik. Kayak orangnya. Nih kakak punya sesuatu buat kamu." ucap Kafka sambil mengeluarkan dua buah permen lollipop dari sakunya.
"Makasih kak!!!" gadis kecil bernama Kaila tersebut menerima permen dari Kafka sambil lompat-lompat kegirangan. Kemudian segera masuk ke dalam rumah karena dipanggil seseorang.
Setelah dari rumah Kaila. Mereka tidak langsung pulang. Ibunya mengajak Kafka ke sebuah toko alat-alat tulis untuk membeli persiapan sekolah karena besok adalah hari pertama dimana Kafka akan duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Bu, bukannya buku Kafka yang dirumah masih ada ya?"
"Itu kan buku kamu waktu SMP." ucap Anggi sambil tersenyum.
"Kalau uangnya buat beli Kafka buku, nanti buat modal ibu apa?" tanya Kafka.
"Gapapa, uang ibu masih ada kok."
Kafka tersenyum. "Makasih ya Bu.."
Sebelumnya Kafka sangat jarang membeli buku. Bukan karena Anggi tidak mau membelikan Kafka buku. Tapi Kafka yang tidak mau. Cowok itu biasanya akan memotong lembar-lembar buku tulisnya yang masih bersih dan menggabungkannya untuk menjadikannya sebuah buku yang bisa di gunakan untuk menulis. Menurutnya itu bisa menghemat pengeluaran, dan lagi lembar-lembar kosong di buku sisa sangat sayang jika di buang.
Malam harinya di rumah Kafka. Cowok itu sedang menuliskan nama dan mata pelajaran di buku-buku barunya. Tiba-tiba Anggi mendekat sambil membawa dua buah surat.
"Kafka.." panggil Anggi dengan lembut.
"Kenapa bu?" Kafka langsung menghentikan aktivitasnya menulis di buku dan memperhatikan apa yang akan di ucapkan Anggi .
"Buka ini setelah ibu pergi ya nak." ucap Anggi sambil meletakkan surat-surat tersebut di tangan Kafka. Mata wanita tersebut terlihat sembab. Artinya dia baru saja menangis.
"Ini apa Bu? Dan ibu mau pergi kemana?" tanya Kafka dengan wajah khawatir.
Anggi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ibu tidak akan pergi kemana-mana.. Cuma pesan ibu, jangan pernah kamu lepas kalung itu, selalu makan tepat waktu. Jangan sakit. Cuci sepatu kamu setiap sudah terlihat kotor, jangan tunggu bau dulu baru di cuci. Jangan tidur terlalu malam, gak baik buat kesehatan. Jangan bandel juga kalau di sekolah, yang sopan sama bapak dan ibu guru. Jangan karena sibuk dengan toko bunga kamu jadi lupa belajar, ingat tugas utama kamu itu belajar." ucap Anggi sambil mengelus kepala Kafka dengan lembut.
Perasaan Kafka saat ini sungguh tidak enak. Dia tahu betul ibunya membunyikan sesuatu dari dirinya. Apalagi wanita tersebut memberikan nasihat-nasihat yang seharusnya tidak perlu di berikan karena Kafka selalu melaksanakan itu. Di tambah mata wanita itu terlihat sangat sembab seperti baru menangis.
"Ibu gak bohong kan sama Kafka?" tanya Kafka.
"Enggak kok." jawab Anggi. "Yaudah ibu mau tutup toko bunga dulu. Kamu selesaikan belajarnya ya." ucap wanita tersebut kemudian beranjak pergi dari sana.
Kafka diam, cowok itu memikirkan setiap kata yang baru saja di ucapkan ibunya. Dia tahu ibunya tadi menyelipkan kebohongan diantara kata-katanya. Tepatnya pada kalimat Ibu tidak akan pergi kemana-mana. "Kenapa ibu selalu bohongin Kafka?" gumam tanya bertanya.
Sejak kecil, Kafka selalu bertanya-tanya dimana keberadaan ayahnya? Mengapa dia tidak pernah melihatnya? Apakah ia masih hidup? Tapi jika bertanya kepada ibunya jawabannya selalu sama. "Ayah kerja di luar negeri nak." itulah jawaban yang Anggi berikan setiap Kafka menanyakan ayahnya. Kafka tahu ibunya berbohong, tapi dia memilih diam dan berpura-pura percaya.
Tangan cowok itu tergerak memegang kalung yang terpasang di lehernya. "Sebenarnya kalung apa ini? Kenapa ibu selalu bilang aku gak boleh melepas ini?" gumam Kafka. Dia pernah tanya kepada ibunya mengenai kalung ini, tapi ibunya hanya bilang itu peninggalan seseorang yang penting. Setelah itu dia tidak pernah bertanya apa-apa mengenai kalung ini, karena ia tahu jawaban ibunya pasti tetap sama.
"Ada berapa banyak rahasia yang ibu sembunyikan dari Kafka?" batin Kafka sambil melihat fotonya bersama Anggi yang dipasang di dinding kamarnya.
...***...
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Fadiylah19
awal yg baik, di tunggu kelanjutannya 😊😊🥰🥰
2023-02-07
4
Ely🐙ucil rusuh🐣
semangat kak😺
2023-02-07
2
❥︎𝐦𝐢𝐧🐱ѕυϲнιє αℓєѕγα❀シ︎
fix kaila nantinya jodoh kafka 😌
2023-02-07
2