"Perasaan gue gimana sih, Bal? Masa lu kagak bisa liat? Semua dia handle sendiri. Dia itu emang sengaja bikin suaminya kagak keliatan di depan orang." Faruq bukannya mereda justru semakin menjadi. Pria berjambang ini seperti panas sendiri.
"Kagak keliatan? Gimana maksudnya, Bang? Semua sodara juga ngomong ... kalo, Abang itu laki-laki paling beruntung. Hidup Abang jadi enak semenjak nikah sama Kak Hawa. Terus, kenapa Abang malah jadi kayak kesel gitu? Perasaan, apa yang Kak Hawa lakuin kagak ada yang salah? Dia juga kagak sombong dengan kekayaannya. Itu yang bikin semua saudara nyaman dan seneng, Bang." Ikbal terus berceloteh mengungkapkan penilaian tentang Hawa menurut pandangannya.
Namun, hal itu bukan justru membuat Faruq adem, akan tetapi pria itu lantas mendengus gerah.
"Selalu bilangnya gitu kan. Gue yang beruntung." Faruq kembali mendengus dan tersenyum remeh setelahnya.
"Khan maen, Bang. Emang kenyataannya gitu. Sampe adik-adiknya, Abang lulus sekolah semua. Sayang aja pada kagak mao kuliah tuh pada. Padahal mah, iya-in aja. Tawaran dari kak Hawa. Eh, malah pada maunya kerja." Ikbal masih membela Hawa. Istri dari Abang sepupunya ini.
"Semua ngeliat dia emang bagian cakepnya doang. Tapi, yang ngejalanin kan gue. Semua yang lu liat enak. Belom tentu kenyataannya kayak gitu, Bal." Faruq semakin meninggikan suaranya ia juga lantas berdiri dan meninggalkan Ikbal yang melongo. Karena pria dengan wajah lumayan manis ini masih menelaah arti dari ucapan Abang sepupunya itu.
Hari sudah semakin sore. Faruq memberi kode pada Hawa agar pamit pulang. Cukup sudah kumpul di acara arisan keluarga hari ini. Hawa pun mengangguk berpamitan satu-persatu pada keluarga besar dari Faruq, suaminya.
Hawa yang tidak memiliki keluarga sebanyak ini sangat senang dengan kebersamaan serta kekompakan dari keluarga suaminya. Apalagi keluarga besar sang papa masih beda agama. Sedangkan dari ibunya masih ada di pelosok desa. Sementara kakaknya, tinggal berjauhan karena ikut sang suami ke luar negeri.
Jadilah, agenda silaturahmi sebulan sekali ini membuat Hawa merasa hidup. Ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tertawa riang gembira. Di sela-sela kesibukannya di kantor. Hawa tak peduli, perhatian dari mereka tulus ataupun tidak.
Satu hal yang tetap ia tekankan pada dirinya sendiri ialah. Lakukanlah kebaikan dengan ikhlas karena Allah taala. Sehingga, kau takkan berharap balasan serupa dari manusia. Itulah, prinsip yang di pegang selalu oleh Hawa.
"Rania, Tania. Kita pulang sayang. Jangan lupa salim dulu sama nenek dan uwak semua." Hawa memanggil kedua putrinya, untuk berpamitan pulang.
Kedua anaknya nampak melambaikan tangan pada anggota keluarga yang lain, ketika kendaraan roda empat yang dikendarai oleh Faruq mulai keluar dari pekarangan. Hawa bersyukur karena kedua putrinya humble dan bersahaja.
"Rania kapan-kapan boleh nginep di sini gak Bun?" tanya putri pertama Hawa yang tahun ini akan lulus sekolah dasar. Sementara sang adik Rania akan naik ke kelas empat. Mobil mewah yang dikemudikan oleh Faruq melaju perlahan keluar dari perkampungan yang terletak di pinggiran kota.
Hawa hanya tersenyum, kemudian ia menoleh ke arah Faruq, suaminya. Pria berjambang yang berada di belakang kemudi ini hanya menggeleng.
"Sesekali tidak apa-apa, Bang. Nanti, kan aku bisa titipkan mereka di rumah kakak sepupumu yang juga memiliki putri seumur Rania," ucap Hawa membantu untuk meloloskan keinginan putrinya. Hawa tau, Rania jarang memiliki kawan seumuran selain teman sekolah.
"Nanti kebiasaan. Sekali dikasih nginep. Pasti akan ada yang kedua dan yang ketiga. Anak perempuan itu gak boleh di biasakan tidur di rumah orang lain. Kalau kamu mau main sama saudara yang seumuran, kalian kan bisa ketemu lagi bulan depan," tolak Faruq dengan segala alasan yang baik menurutnya. Bagiamana pun dia sayang kedua putrinya ini.
Hawa yang mengerti maksud dari ucapan suaminya pun mengangguk dan ia menoleh ke belakang. Melempar senyum hangatnya pada Rania. Berharap putrinya itu mengerti dan jangan merengek lagi. Hawa tidak pernah marah. Bagaimana pun tingkah kedua anaknya dia akan selalu menanggapi serta menghadapai dengan senyum.
Mereka telah sampai pada kediaman mewah nan megah milik Hawa. Bangunan luas dengan empat lantai ini memiliki total sekitar delapan kamar tidur. Satu kamar utama, dua kamar anak dan tiga kamar tamu. Dua yang lainnya kamar yang diperuntukkan sebagai tempat beristirahat para asisten rumah tangga.
Hawa memiliki total sepuluh pekerja di rumah mewahnya ini. Kebunnya yang luas membutuhkan penanganan khusus. Karena itu ia mempekerjakan dua tukang kebun. Dua penjaga rumah. Satu sopir dan empat asisten rumah tangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Uyhull01
lho jd kmu gk bahgia gtu,
2023-03-07
1
@⒋ⷨ͢⚤L♡Marieaty♡
baik sih tapiii... gimana ya nyebut nya ... emmmm kayak yang gak bersyukur gak sih 😕😕😕
2023-02-09
1