Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya mereka tiba di rumah orangtua Reno.
Reno masuk dengan membawa dua buah tas. Sedangkan Hilwa membawa buah tangan, yang mereka beli di tengah perjalanan. Mereka sempat mampir ke toko kue.
"Assalamu'alaikum, Bu" Reno yang mengetuk pintu.
Tidak ada sahutan dari dalam. " Ayo kita masuk neng, mungkin ibu sedang tidur di dalam".
Mereka masuk ke dalam, keadaan rumah memang sepi. Penghuni rumah sepertinya tidak ada di dalam.
Hilwa duduk di kursi ruang tamu, sedangkan Reno pergi ke dapur mengambil air untuk Hilwa.
Suara pintu depan terbuka, ternyata ibu mertuanya sudah pulang. "Bu" Hilwa yang menghampiri ibu mertuanya dan mencium tangannya.
"Kapan, kamu sampai neng?" tanya Bu Tika ibunya Reno.
"Baru saja Bu, ibu habis dari mana?"
" Ibu habis dari kondangan, ada tetangga yang hajatan".
Reno pun kembali dari dapur dengan membawakan nampan berisikan gelas minum. "Lho kok kamu yang ambil minum sih Ren, bukannya istri kamu?"
"Tidak apa-apa Bu, Hilwa kan belum tahu letak dapur dan perabotannya" Reno mencoba membela istrinya.
Deg. . .
Belum apa-apa ibu mertuanya sudah mengkritik hal sekecil itu. Hilwa hanya bisa tersenyum.
"Ya sudah, ibu mau ke kamar dulu, mau istirahat. Kalau kalian mau makan, ambil saja di dapur" Bu Tika yang berlalu pergi ke kamarnya.
"Neng, kalau ibu mengatakan sesuatu yang menyinggung mu, jangan di ambil hati ya !"
"Beliau orangnya baik, cuma omongannya saja yang kadang nyakitin hati orang" Reno mencoba mengingatkan watak ibunya.
"Iya gak apa-apa kak, Hilwa akan mencoba memakluminya".
Setelah itu mereka memasuki kamar, untuk beristirahat. Udara di luar pun cukup panas, mereka akan tidur siang sebentar, setelah melakukan sholat wajib.
Hilwa dan Reno tidur cukup lama, mungkin karena kecapekan di perjalanan.
Setelah mandi, Hilwa pergi ke dapur. Melihat ibu mertuanya sedang memasak "Ibu sedang memasak apa?" Hilwa yang berbasa-basi.
"Ya, beginilah neng. Seadanya !" Bu Tika yang sedang memotong sayuran.
"Kalau masih cape, istirahat saja di kamar. Hari ini biar ibu yang masak, tapi besok-besok kamu harus gantiin ibu masak ya. Kamu bisa masak kan?"
"Insyaallah bisa, Bu" Hilwa tetap diam di dapur membantu ibu mertuanya.
Setelah selesai memasak, mereka menyiapkan makanan di meja. Ayah mertuanya pun sudah kembali dari luar.
Ayah Reno sudah tidak bekerja. Dulu pekerjaan ayah Reno pun sama dengan Reno, tapi sekarang beliau sudah pensiun. Sekarang beliau mengurus peternakan ikan.
Keluarga Reno cukup terpandang di sana. Ayah Reno yang dulu, pegawai Bank swasta dan sekarang menjadi juragan Empang.
Mereka juga memiliki beberapa perkebunan yang di percayakan kepada orang lain.
"Eh neng, kamu sudah sampai? mana Reno??" pak Dedi yang melihat menantunya sudah ada di rumah.
"Tadi siang, yah. Kak Reno masih mandi di kamar" Hilwa yang menyalami ayah mertuanya.
"Ya sudah, bapak juga mandi dulu. Habis ini kita sama-sama makan ya !".
Itulah keseharian Hilwa ke depannya. Dia akan tinggal di rumah mertuanya, sampai mereka mempunyai rezeki untuk bisa membangun rumah sendiri.
Setiap hari dia melayani suami dan mertuanya. Memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Meski ibu mertuanya cerewet, tapi dia mempunyai ayah mertua yang baik.
Sebenarnya dulu saat Reno menyampaikan niatnya untuk menikahi Hilwa. Ibu Reno tidak menyetujuinya, dia menginginkan menantu yang sederajat dengan keluarga mereka.
Tapi karena Reno kekeh dan terus membujuk ibunya, akhirnya beliau pun luluh. Di rumah itu, tidak ada yang bisa membantah keinginan Reno. Dia yang merupakan putra satu-satunya, karena pak Dedi hanya memiliki dua orang anak.
Kakak perempuan Reno pun sudah menikah, dan ikut bersama suaminya ke luar kota.
Sejak kecil Reno selalu di manja dan apa-apa selalu di layani ibunya. Reno sudah terbiasa hidup berkecukupan dan segala keinginannya harus terpenuhi.
Sedangkan ayah Reno, tidak mempermasalahkannya. Asal calon menantunya mempunyai akhlak yang baik dan menyayangi putranya, itu sudah lebih dari cukup.
Hari dan bulan terus berganti, akhirnya pernikahan Reno sudah memasuki tahun yang ke-2.
Hilwa yang belum juga di berikan keturunan, membuat dirinya kurang memiliki kepercayaan diri lagi.
Ibu mertuanya yang terus-terusan membicarakannya, membuat Hilwa merasa rendah diri.
Hidupnya seakan tertekan, dengan omongan mertua dan orang-orang sekitar.
Hilwa dan Reno sudah melakukan berbagai cara agar bisa secepatnya mempunyai keturunan. Tapi jika Tuhan belum berkehendak, usaha apapun tidak akan membuahkan hasil.
Ibu mertuanya yang selalu memanasi mereka. Padahal beliau sudah di karuniai 2 orang cucu dari anak perempuannya.
Setiap libur kerja, Reno selalu mengantar Hilwa untuk cek ke dokter kandungan. Kata dokter semuanya baik, tidak ada masalah dengan rahim Hilwa. Hanya soal waktu saja, mereka harus terus bersabar.
Bu Tika saat itu duduk di kursi, beliau sedang menonton televisi. Melihat anak menantunya yang baru saja datang dari klinik kandungan langsung menoleh "Bagaimana, apa sudah membuahkan hasil? kalian setiap waktu selalu menghabiskan uang, tapi tidak ada hasilnya ".
Jangankan Hilwa, Reno pun sudah mulai jengah dengan perkataan ibunya. "Bu, kami kan lagi berusaha. Masalah hasil, itukan Tuhan yang nentuin Bu" sarkas Reno.
"Iya. terus bagaimana hasilnya, jangan-jangan istri kamu yang rahimnya kosong !"
Deg. . .
Hilwa terhenyak, perkataan ibu mertuanya bagaikan pisau belati yang langsung tertancap di hatinya.
"Bu, jangan bilang seperti itu. ucapan adalah doa, kami sudah berusaha melakukan berbagai cara dan kandungan Hilwa pun tidak ada masalah. Hanya tinggal waktu saja, kami masih harus terus bersabar ".
Bu Tika melengos, dia berlalu dari hadapan anak menantunya.
Reno menarik nafas berat, dia melihat Hilwa yang matanya sudah mulai mengembun. "Kamu yang sabar, ya ! jangan terlalu di pikirkan perkataan ibu".
Hilwa tidak bisa berkata apa-apa, bibirnya terasa kelu. Hanya lelehan air mata yang membasahi pipinya. tetapi dia buru-buru menghapusnya.
* * *
Reno merasa risih, jika setiap hari melihat ibunya terus-terusan menyinggung istrinya. Hingga suatu hari, ada tetangga yang ingin pindah. Mereka berniat menjual rumahnya.
Mendengar itu, Reno berinisiatif untuk membeli rumah itu. Dia meminta pendapat ayahnya yang saat itu sedang duduk di teras "Yah, katanya pak Adam mau pindahan ya? Beliau ingin menjual rumahnya. Apa boleh aku membelinya?"
Pak Dedi mengkerut mendengar perkataan putranya "Untuk apa kamu membeli rumah, toh ini juga kan akan menjadi milik kamu !"
"Tapi yah, aku dan Hilwa ingin belajar mandiri. lagian rumah itu juga, dekat dari sini".
Pak Dedi nampak berpikir "Baiklah, jika itu niat kamu. Ayah akan coba tanyakan kepada pak Adam, mengenai harga dan kelengkapan surat-surat nya".
"Terimakasih yah, ayah selalu mendukungku selama ini".
Pak Dedi tersenyum. Benar, tidak ada salahnya, jika putranya ingin mandiri dan memiliki rumah. Karena sebetulnya, seorang anak yang sudah menikah. harus bisa hidup sendiri.
Reno yang merasa risih, jika harus tinggal di rumah mertuanya. Dan Hilwa pun tidak akan mau, jika terus-terusan tinggal di rumah ini. Selain mereka harus mandiri, pak Dedi juga merasa kasihan, jika istrinya terus-menerus menyinggung menantunya.
Sebetulnya beliau tahu, tentang istrinya yang selalu membahas tentang masalah anak kepada Hilwa dan Reno. Beliau sudah coba menegur istrinya, agar jangan mencampuri urusan mereka. Tapi, watak istrinya, yang sudah dari dulu seperti itu. Pak Dedi sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Beliau berharap menantunya, bisa memakluminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments