"Baiklah, tolong foto copy berkas ini ya, setelah itu kau kemari kan." Alena mengambilnya, lalu pergi keluar dari ruangan bosnya.
Di depan pintu, ibu bos sudah berdiri di sana, syukurlah Alena tidak memiliki riwayat jantungan.
"Apa Anda ingin bertemu dengan bos, Nyonya?" tanya Alena. Wanita paruh baya itu menggeleng.
"Aku ingin menemui putramu, aku merindukan nya, kenapa kemarin kau tidak ke rumah? suami ku bilang kau menjemput Kabir di bandara?" ujarnya panjang lebar. Wanita itu bernama Elly, Elisa Elly Rexford. Alena tersenyum kecil, lalu berjalan ke arah ruangannya dengan di ikuti oleh Elly.
"Kabir, siapa yang datang..." ucap Alena memberikan kejutan. Kabir menoleh, senyumnya mengembang saat melihat bos wanita datang.
"Grandma!!!" teriak Kabir yang langsung melempar iPad nya ke sofa. Alena hampir jantungan melihat iPad di lempar begitu saja.
"Kabir, sudah mommy bilang jangan asal melempar iPad!" tegur Alena dengan mengambil iPad putranya, lalu menaruh benda itu ke meja.
"Maaf, mommy." cicit Kabir. Elly tersenyum, ia mencubit pipi anak kecil di hadapannya.
"Kau sudah sangat besar, Kabir. Bagaimana jika kita jalan-jalan?" usul nyonya Elly mengajak Kabir.
"Jika tidak keberatan, Grandma." jawab Kabir tersenyum lebar. Elly menatap pada Alena, seolah meminta izin padanya, dengan sekali anggukan, Elly berterima kasih lalu pergi dengan putranya.
"Kabir tidak ada di sini, aku harus menyelesaikan pekerjaan ku sebelum dia kembali." gumam Alena, ia menatap berkas yang dia pegang dari tadi, baru ingat jika bosnya menyuruhnya untuk memfotokopi berkas itu.
Alena melakukannya, menunggu hasil foto copy. Seseorang mengetuk punggung Alena.
"Ada apa, Beni?" tanya Alena yang sudah hafal orangnya. Beni terkekeh, lalu berjalan ke samping Alena.
"Nyonya membawa Kabir lagi?"
"Hemm..." jawab Alena. Beni tersenyum kecut, lalu menyenderkan punggungnya ke tempat foto copy.
"Aku bingung, Len. Kenapa nyonya bisa begitu akrab dengan putramu? Padahal mereka berdua tidak memiliki aliran darah yang sama." ujar Benni mengetuk dagunya seolah berpikir.
"Entahlah, tapi aku beruntung karena nyonya memperlakukan Kabir seperti itu, kau tahu Ben, Kabir begitu bahagia saat melihat nyonya Elly kemari."
"Len, aku sebenarnya tidak ingin menyakiti hatimu, tapi, aku masih penasaran, siapa suami mu?" tanya Benni dengan hati-hati.
Alena menunduk sedih, namun tangannya masih bergerak melakukan pekerjaannya.
"Benni, jika kau bertanya tentang suamiku siapa padaku, aku akan menjawab jika aku tidak tahu, bukankah sudah ku bilang, jika aku belum menikah. Ben, setelah ini lupakan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyakiti hati Kabir, ku mohon." pinta Alena. Wanita itu melenggang pergi setelah pamit dengan Benni.
Benni menatap Alena dengan tatapan sedih, Benni ingin tahu siapa suami Alena, namun siapa sangka jika Alena belum pernah menikah sama sekali. Hampir semua orang yang ada di perusahaan tahu tentang masa lalu Alena, kecuali anak baru yang magang atau yang baru bekerja 2 tahun.
Alena mengetuk pintu ruangan bos nya, Alexander menyuruhnya untuk masuk.
"Bos, sudah ku foto copy, ada yang harus ku lakukan?" tanya Alena.
"Tidak, kau pergi saja untuk makan siang, ini sudah jam setengah satu." titah Alexander, Alena mengangguk patuh dan pamit.
"Kok ngelamun, neng?" tanya Santi yang sedari tadi duduk di kantin bersama Alena.
"Lagi mikirin masa depan." jawab Alena.
"Alah! masa depan apaan?! pacar aja belum punya Luh!" timpal Alisa dengan mendorong pelan tubuh Alena.
"Kek gue dong,mau nikah ama ayank bebep." pamer Alisa. "Loh tuh ya Lis, ngomong terus mau nikah tapi kaga jadi-jadi, heran gue!" balas Santi dengan kesal.
"Santai dong bepz, ini gue lagi nyari." balas Alisa tersenyum manis.
"Btw, kata si Rendi, bentar lagi perusahaan ini mau di ambil alih sama anaknya pak bos ya? kapan, Len?" tanya Alisa menatap intens pada Alena.
"Gue gak tahu, yah palingan gue cuma jadi kolingan doang, tahu apa anaknya pas bos suka sama kerja gue apa nggak." jawaban Alena membuat keduanya bernafas kasar.
"Eh, rame-rame ada apaan nih?" tanya Benni yang ikut bergabung.
"Jangan pegang-pegang bisa gak sih!" tepis Alisa yang kesal karena Benni yang selalu menjadikan bahunya tempat sikunya bersandar.
"Ih yank, kok jahat gitu sih, jangan galak-galak napa!" protes Benni dengan wajah di buat sesedih mungkin. Ketiga wanita itu mengangkat kedua alisnya, seolah jijik mendengar kata sayang dari bibir Benni.
"Ben, meskipun Luh pas-pasan, tapi jangan norak deh!" ledek Santi mencibir.
"Maksud Loh apaan, San? Ganteng gini di bilang pas-pasan!" protes Benni menaikkan suaranya.
"Udahlah, gue laper nih, jangan debat mulu bisa gak!" tegur Alena melerai mereka.
"Dan, loh, San! Kalau cinta ngaku sama Benni, keburu di cantol ama si Alisa tuh!" goda Alena terkekeh geli. Santi dan Alisa seketika bergidik ngeri.
"Amit-amit, Len. Loh kalau ngomong di jaga lah, gak bisa gitu loh doain gue jodohnya leminelo gitu, jongkok, yang ganteng-ganteng lah!" sarkas Santi mencebik temannya.
"Tuh kan Yank, Santi kaga mau ngaku." Adu Benni pada Alena, sedangkan wanita itu tertawa pelan karena makanannya baru saja masuk ke mulutnya.
"Yank, belain apa!" protes Benni yang melihat Alena tak sedikitpun menghiraukannya. Alena melambai-lambaikan tangannya, seolah memberi kode tak ingin mengomentari.
"San...."
"Apaan sih, Ben. Gue mau makan loh ya!" ujar Santi sarkas.
"Yaudah deh, awas aja ya kalau kalian minta traktir sama gue nanti!" ancam Benni dengan melenggang pergi dari sana.
"Santi, beneran mau di tolak?" ledek Alisa dengan wajah nakal, sedangkan Santi mencabik temannya itu.
Seperti biasa, Alena akan menjemput Kabir di rumah bos nya, Alena sebenarnya tidak ingin, tapi melihat keluarga ini sangat berjasa padanya waktu dulu dan sampai sekarang, membuat Alena tidak bisa menolaknya.
"Nona Alena, ingin bertemu dengan Kabir?" tanya pelayan rumah itu saat melihat Alena datang. Alena mengangguk mengiyakan.
"Di mana, Bi?" tanya Alena. Pelayan menunjuk ke arah taman, lalu di ikuti oleh Alena yang berjalan ke sana.
Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar bangun dari duduknya dan mendekat pada Kabir. Alena menghembuskan nafasnya, lalu berjalan mendekat.
"Tuan Steven, selamat sore." sapa Alena, pria itu berbalik dan tersenyum.
"Alena, sudah datang?" tanya pria itu yang bernama Steven.
"Gak, pak. Saya ini mau pulang." jawab Alena dalam hatinya.
"Iya, pak. Baru saja datang." jawaban Alena bertolak belakang dengan hatinya.
"Sini, duduk." Steven menepuk kursi satunya, Alena dengan ragu mendekat dan duduk di sampingnya.
"Bagaimana kabarmu, Alena?" tanya Steven menatap Alena lekat, namun wanita itu menatap lurus ke arah putranya. Sesekali Kabir menoleh dan tersenyum pada ibunya.
"Baik, tuan." Jawab Alena menoleh ke arah Steven, lalu mengalihkan pandangannya lagi.
"Alena, tidak kah kau merasa pendek jika di dekat putramu? Kabir baru berumur 7 tahun, tapi tingginya seperti ingin mengalahkan mu." kekeh Steven.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments