"Kau sedang apa Kabir?" tanya Alena duduk di sisi ranjang putranya. Kabir menampilkan sesuatu, menyerahkan tablet yang berisi tentang data-data perusahaan.
"Milik siapa?" tanya Alena penasaran.
"Milik paman mu, Mom." jawab Kabir. Alena menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Kau jahil sekali, Kabir! Apa paman tahu ini?" Kabir mengangguk sebagai jawaban.
"Ahhh... kau pintar sekali, Kabir ku sangat tampak dan manis, anak jenius." puji Alena dengan memeluk Kabir.
"Mom, berhenti untuk memujiku, telingaku akan gatal jika mommy memberikan pujian padaku!" Alena melebarkan mulutnya membentuk huruf O. Putra lain akan senang jika di puji, tapi tidak dengan putranya.
"Kau ini Kabir! hentikan sikap tidak sopan mu itu!" cibir Alena bangkit dari duduknya.
"Apa ibu bisa menghentikan sikap sombong mu? ku jawab pasti tidak bisa, ini sudah keturunan dari keluarga kita." jawaban telak. Alena memutar matanya kesal.
Baginya, Kabir seperti musuh, bukan seperti putranya.
"Terserah kau saja Kabir! selamat malam!" ucap Alena kemudian mematikan lampu kamar putranya. Kabir mulai menyimpan iPad nya, lalu memejamkan matanya untuk segera tidur.
Beberapa menit kemudian, Kabir tertidur, Alena masuk ke dalam kamar putranya, lalu tidur di samping Kabir. Alena mengelus rambut Kabir dengan lembut, perasaan bahagia membuncah dalam hatinya, ia sudah merindukan putranya. Alena menutup matanya, lalu ikut tertidur.
Pagi hari, matahari sudah keluar, Alena terbangun dari tidurnya, sedangkan putranya sudah mandi dan memakai baju.
"Oh, mom, jika putramu bukan aku, sudah pasti putramu itu akan mengeluh karena memiliki ibu yang bangun di jam delapan!" sindir Kabir dengan memakai jas kecilnya.
Alena tertawa kencang mendengarnya, baginya sindiran itu sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Ya, Kabir. Jika saja putraku bukan dirimu, aku sudah sangat berterima kasih pada yang menciptakan mu!" timpal Alena terkekeh geli.
Tepat jam sembilan, Alena menekan alat yang akan melaporkan jika dirinya mengabsen. Semua orang yang ada di dekat Alena langsung saja mendekat dan satu-persatu mencubit hidung atau pipi Kabir.
"Hai, Kabir. Bagaimana jalan-jalan mu dengan paman mu?" tanya Santi yang memang sering mengajak Kabir bermain.
"Bibi, senang bertemu denganmu." ujar Kabir sopan. Santi yang di panggil bibi membulatkan mulut dan matanya.
"Tidak sayang, jangan panggil bibi ya, tapi panggil kakak." ralat Santi dengan senyum manisnya. Kabir dan Alena menahan tawa mereka saat Santi tersenyum seperti itu.
"Santi, jangan sampai nanti Kabir mengatakan padaku jika dia trauma melihatmu." ledek Rendi yang di timpali kekehan oleh mereka berdua.
"Rendi, sang manager, maaf maaf nih ya, tapi saya tuh emang cantik." sombong Santi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
"San, jangan halu deh, udah halu nya, gue takut luh ke sambet nenek gayung." ejek Rendi lagi.
"Loh tuh ya, sebagai teman gue, harusnya dukung gue biar bisa jadi menantunya mama Alena, ya gak yank?" ujar Santi, matanya mengedip pada Kabir, lalu berkedip kembali pada Alena.
"Ih, amit-amit San. Yang ada nanti, anak gue baru umur 15, loh udah nenek-nenek." jawab Alena bergidik. Rendi mengacungkan jempolnya pada Alena yang mengatakan dengan jujur.
"Mommy, bukan kah ke sini untuk bekerja? Ayok kita bekerja." tegur Kabir pada mommy. Rendi dan Santi tertawa mendengarnya, mereka terkikik saat wajah Alena di tekuk.
"Bagus, son. Uncle suka sama kamu." Rendi mengacak-acak rambut Kabir.
"Yaudah, gue masuk dulu ya. Takut anak gue kecantol nenek-nenek." kekeh Alena tertawa meninggalkan mereka.
"Yehhh... gue masih cantik juga!" protes Santi.
"Udah lah, gue mau kerja dulu, bye, San." pamit Rendi sekarang.
Santi hanya mengedikkan bahunya, lalu kembali ke kursinya lagi.
Alena masuk ke dalam ruangannya, mulai mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda. Beberapa jam sudah berkutat dengan pekerjaannya, Alena menatap ke arah Kabir yang masih fokus pada iPad nya, Alena sudah menduga, jika bukan tentang sekolah, pasti anak itu sedang melakukan pengecekkan data-data perusahaan dan juga melihat bisnis yang pamannya jalankan.
Saat jam 12 siang, bos Alexander sudah pasti memanggil Alena untuk ke ruangannya, menanyakan semua pertemuannya dengan klien dan meeting penting, jadwal yang padat membuat tuan Alexander keteteran, itu sudah pasti, karena di sini bukan hanya mengurus satu perusahaan, tapi di luar Alena dan pak Alexander harus mengurus satu perusahaan lagi.
"Alena, lihat data-data perusahaan kita." pak Alexander menyerahkan iPad nya pada Alena, dengan cermat Alena melihat dan menghitungnya.
"Pak, apa ada masalah?" tanya Alena melirik ke arah bosnya. Bos menggeleng, itu semakin membuat Alena bingung, jika bukan karena masalah, lalu untuk apa bos nya memperlihatkan data-data perusahaan?
"Setelah tahun baru nanti, kau yang mengurus semuanya, aku ingin beristirahat di rumah bersama istriku. Oh, kau juga akan di bantu oleh putraku, dia akan pulang ke sini, sudah tanggung jawabnya, mau atau tidak, dia tetap harus di sini!" ujar Alexander dengan penuh penekanan.
Alena sendiri bingung, dia bahkan belum pernah bertemu dengan putra bos nya yang pertama. Entahlah, lagi pula Alena tidak pernah penasaran sedikit pun, pekerjaan adalah yang utama baginya, apalagi dirinya tidak mau jika harus mencampuri urusan yang tidak penting.
"Putra Anda, tuan Steven?" tanya Alena dengan hati-hati.
"Bukan, tapi Aryan. Dia putra sulung ku, setelah tahun baru ini, dia yang akan menjalankan tugas ku." jawab Alexander. Pria paruh baya itu menyandarkan tubuhnya ke kursi kebanggaan, seperti kelelahan karena harus mengurus berkas-berkas yang harus dirinya baca sebelum menandatanganinya.
"Oh," balas Alena, ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Kau akan di tugaskan bersamanya nanti." ujar Alexander. Alena menautkan aksinya.
"Tapi saya sekretaris Anda, pak." kilah Alena.
"Memangnya kenapa? apa kau takut dengan putraku?" Alena terkekeh mendengarnya, untuk apa takut, bersama putranya Steven saja dia berani.
"Dia sedikit temperamen, aku bahkan sampai pusing jika harus berdebat dengannya." keluh Alexander.
"Bos, untuk apa berdebat dengan putra sendiri? Akan lebih bagus diam dari pada suasana lebih buruk."
"Itu adalah dirimu, Alena. Bukan aku!" jawab Alexander tegas.
"Tapi sama saja, dari pada Anda bertengkar dengan putra Anda, lebih baik berbaikan, itu lebih baik." jawab Alena lagi. Alexander menghela nafas, sekretarisnya bukan hanya bagus dalam pekerjaan tapi dalam hal berdebat dengannya juga.
"Oh iya, tahun baru seminggu lagi kan? Setelah pulang dari sini, ke rumah lah, sepertinya istriku merindukan putramu." titah Alexander. Alena hanya mengangguk.
"Bos, Anda harus melakukan meeting dengan dewan direksi jam dua, lalu keluar untuk bertemu dengan klien." ujar Alena memberitahu.
"Kau ikut Alena?" Alena menggeleng.
"Pekerjaan di sini banyak, bos. Jika keluar dalam waktu satu jam atau dua jam, akan membuang waktu saja." ucap Alena.
"Baiklah, tolong foto copy berkas ini ya, setelah itu kau kemari kan." Alena mengambilnya, lalu pergi keluar dari ruangan bosnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Zia_Lin
aku kembali🤭btw bisa berikan aku anak seperti Kabir? sepertinya aku akan bahagia 😅
2023-04-14
0