4. Lahirnya Buah Hati

Sudah tiga hari Yudi dan Lusi berada di rumah orang tuanya membuat suasana rumah menjadi berubah. Hubungan mereka tampak akrab bahkan pak Arman dan ibu Dina juga sudah mulai aktif bercanda.

"Ayah dan ibu berharap kalian tinggal di sini aja soalnya kami selalu kesepian dan umur kami juga sudah lanjut!" pinta pak Arman penuh harap.

"Nggak ada masalah sih, tapi apa yang dapat saya kerjakan kalau tinggal di sini? Masakan hanya makan dan tidur, sementara di rumah mertuaku saya bisa membantu mereka kerja di sawah dan di ladang," ujar Yudi.

"Kami akan memberimu modal, Nak. Terserah nantinya kalian mau buat usaha apa," kata pak Arman.

"Iya, Nak. Kamu juga masih bisa berkunjung kepada mertuamu sekali-kali dan Ibu tidak akan melarang kalian!" sambung ibu Maria.

"Baiklah, beri kami waktu untuk memikirkan!" sahut Yudi. Sebenarnya ia sudah setuju tapi tetap saja harus merundingkan hal ini dengan sang istri.

Sore hari keduanya pamit untuk kembali ke kecamatan sebelah. Ada banyak ole-ole yang dititip oleh orang tua Yudi untuk dikirim kepada orang tuanya Lusi tapi hanya sebagian kecil yang bisa dibawa karena tidak muat di motor.

"Mikirnya jangan lama-lama yah, Nak!" kata pak Arman mengingatkan.

"Iya, Ayah," sahut Yudi dengan mantap.

Kedua orang tua itu menatap kepergian anaknya dengan rasa haru.

Setelah itu keduanya duduk di teras depan rumah dan membahas rencana untuk mendirikan toko di samping rumah. Mereka yakin bahwa Yudi bersama istrinya dapat mengelolah sebuah usaha.

***

Kini tiba saatnya bagi Lusi untuk melahirkan. Dengan tergesa, ibunya pergi ke rumah bidan yang jarak rumahnya hanya sepuluh meter dari rumah mereka.

Bidan Mery langsung mempersiapkan diri dan juga alat-alat yang dibutuhkan lalu berangkat ke rumah ibu Maria.

Rencananya, bidan akan membawa Lusi ke puskesmas tapi setelah memeriksa keadaannya, rupanya tidak akan sempat lagi karena sudah pembukaan ke-sembilan.

Bidan Mery langsung memasang kos tangan dan memberi arahan kepada Lusi untuk mengejan dengan benar karena sakitnya sudah semakin sering.

Mereka hanya bertiga di rumah karena pagi tadi pak Tono dan Yudi berangkat ke sawah. Hari ini waktunya untuk panen dan tadi pagi waktu mereka berangkat, Lusi belum merasakan adanya tanda-tanda untuk melahirkan bahkan ia masih memasak untuk sarapan seisi rumah dan tampaknya ia baik-baik saja.

Lima belas kemudian, suara tangis seorang bayi perempuan terdengar kencang dari kamar tempat Lusi berbaring. Rasa sakit yang dirasakan oleh Lusi hilang seketika saat mendengar tangisan bayinya. Ia pun tersenyum bahagia dengan peluh yang masih menetes setelah berjuang sekuat tenaga.

"Selamat, Nak Lusi... bayinya seorang perempuan cantik mirip ibunya!" ucap bidan Mery dengan senang. Ia sangat bahagia karena telah melakukan pekerjaan yang mulia. Pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi tapi saat ini kembali ia berhasil menolong persalinan dengan normal.

"Terima kasih, Bu, telah menolong saya! Kami tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Ibu tidak ada di sini soalnya ayah dan suamiku juga sedang tidak ada di rumah," ujar Lusi dengan tulus.

"Sama-sama, Nak! Ini sudah merupakan tugas saya dan semua terjadi atas kuasa Tuhan. Sekarang istirahatlah sambil saya membersihkan bayinya!" tutur bidan Mery.

Ia sangat lincah mengurus bayi yang baru lahir. Setelah itu ia menyerahkan kepada ibunya untuk disusui.

Lusi merasa geli tapi bidan Mery terus menuntuntun dan mengajarinya cara menyusui yang baik.

"Asi pertama ini sangat baik loh untuk kekebalan tubuh buat bayi"

"Iya, Bu,"

Selama hamil, Lusi juga sudah banyak belajar tentang hal-hal yang berhubungan dengan keadaannya, baik itu membaca buku, juga ia sering mempelajari dari you tube.

Ibu Maria juga dengan lincah membersihkan tempat tidur dan membasuh tubuh Lusi dengan lap basah lalu mengganti pakaiannya.

Tak lama kemudian pak Tono dan Yudi tiba di rumah. Ia sangat heran karena istrinya tidak menyambut kedatangannya seperti biasa. Perasaan Yudi jadi tak karuan.

"Sayang! Kamu di mana?" serunya dengan suara agak keras.

"Sssttt, istrimu sedang istirahat di kamar," jawab ibu mertua dengan wajah yang berbinar-binar.

Yudi hendak menemui istrinya di kamar tapi ia dilarang oleh ibu mertua sebelum membersihkan tubuhnya dulu membuat Yudi semakin heran.

"Ada apa sih, Bu?"

"Nanti juga kamu akan tahu! Sana, mandi dulu!"

Yudi patuh dengan perintah dari ibu mertuanya. Dengan tergesa ia menuju kamar mandi yang terletak di luar rumah, kamar mandi satu-satunya yang ada di rumah itu. Ia langsung masuk dan mencopot semua pakaiannya tanpa tersisa. Setelah selesai mandi, ia baru sadar kalau tadi tidak sempat membawa handuk.

"Ibu..., ibu...,! teriak Yudi dari kamar mandi membuat ibu Maria berlari mendekati. Sangkahnya telah terjadi sesuatu kepada anak mantunya.

"Tolong ambilkan handuk, Bu!" seru Yudi dengan volume suara yang sudah berkurang karena ia mendengar derap kaki ibunya telah dekat.

Ibu Maria tersenyum dan bernafas lega. Ternyata anak mantunya baik-baik saja. Ia pun bergegas ke kamar anaknya dan meraih handuk serta baju ganti untuk Yudi.

Yudi keluar dari kamar mandi sudah lengkap dengan pakaian. Ia buru-buru masuk ke kamar dan wajahnya gugup ketika melihat istrinya terbaring lemah namun senyumnya mengembang. Di bibir ranjang, ibu bidan duduk sambil menggendong seorang bayi. Mata Yudi langsung menoleh ke arah perut sang istri yang sudah kempes.

"Sayang, kenapa tidak hubungi saya?" katanya sambil mencium kening istrinya dengan lembut.

"Maaf, Nak, tadi kami tidak punya kesempatan menghubungimu soalnya saat Lusi sudah merasakan sakit, sakitnya itu terus-menerus tak berhenti hingga ia melahirkan," ucap ibu Maria.

"Justru saya yang minta maaf, Bu. Pasti tadi kalian panik," kata Yudi lalu kembali mencium kening istrinya.

Ia beralih ke bayi mungil yang berada dalam gendongan bidan Mery.

"Terima kasih, Bu bidan karena telah menolong istriku untuk melahirkan!"

"Sama-sama, nih bayinya, silahkan digendong!"

"Waduhhh, saya takut, Bu! Nanti aja kalau dia sudah besar-besar." Yudi menolak tawaran bidan Mery karena ia sangat kaku dan takut untuk menggendong bayi yang baru beberapa jam keluar dari perut.

Tak lama kemudian, bidan Mery pamit setelah ia makan makanan yang disuguhkan oleh ibu Maria. Yudi membuka dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang merah dan memasukkan ke amplop lalu menyerahkan kepada bidan Mery.

"Terimalah ini, Bu! Sungguh tak sebanding dengan apa yang Ibu telah lakukan tapi saya yakin, Tuhan yang akan menambahkan rezekinya. Sekali lagi, terima kasih!"

"Kenapa repot-repot segala? Saya menolong karena memang itu adalah tugasku dan saya lakukan dengan iklas kok,"

"Tidak apa-apa, anggaplah ini sebagai ucapan terima kasih kami!"

Bidan Mery akhirnya menerima amplop itu dan berlalu untuk kembali ke rumahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!