Dua bulan telah berlalu dan Yudi merasa senang tinggal di rumah mertuanya. Ia ikut membantu mengerjakan apa saja yang dikerjakan oleh ayah mertua seperti membajak sawah dan ladang. Mertuanya sangat senang karena ada yang membantunya.
Sore ini, ia baru saja selesai mandi dan ponselnya bergetar di atas meja.
"Halo, Bu!" sapa Yudi dengan sopan. Rupanya yang menelepon adalah ibunya.
"Halo, Nak! Kok kamu nggak pernah jenguk ibu? Ayah dan ibu sangat merindukan kalian. Ke sini yah, sekalian ajak istrimu! Kami tunggu sekarang!" suara ibu di seberang sana terdengar memelas.
Sejak Yudi menikah, ia baru dua kali mengunjungi orang tuanya, pada hal jaraknya tidak terlalu jauh karena hanya butuh waktu empat puluh menit dengan kendaraan motor.
"Oh, iya, Bu," ujar Yudi membuat ibunya sangat senang. Di antara ke-lima anaknya, hanya Yudi yang sangat mengerti dengan perasaannya.
"Ok, ibu akan masak makanan kesukaanmu!" ucap ibu Dina. Suaranya sudah berubah dan kali ini terdengar riang membuat Yudi tersenyum.
Dengan bersiul-siul ia menemui istrinya yang sedang memasak di dapur dan memeluknya dari belakang. Lusi dapat merasakan hembusan nafas yang hangat tepat di leher bagian belakangnya.
"Sudah lapar, Sayang?" tanya Lusi sambil mengaduk-aduk ikan teri sambal di atas wajan.
"Belum, Sayang. Saya hanya mau mengajakmu ke rumah ibu soalnya mereka sangat mengharapkan kedatangan kita,"
"Kapan kita mau ke sana?"
"Sekarang, Sayang,"
Lusi segera menyelesaikan pekerjaannya di dapur lalu bergegas ke kamar untuk bersiap-siap. Tidak lama kemudian ia sudah keluar dengan jaket tebal melekat di tubuhnya dan sebuah tas dengan ukuran sedang di tangannya.
"Kami berangkat dulu, Pak, Bu!" pamitnya kepada ayah dan ibunya.
"Iya, Nak, salam sama orang tuamu!" ujar ibu Maria.
"Iya, Bu, akan saya sampaikan salamnya," sahut Yudi.
"Hati-hati di jalan dan jangan ngebut-ngebut. Ingat cucuku yang ada di perut!" seru pak Tono sambil terkekeh.
"Siap, Pak!" balas Yudi penuh semangat.
Ia menyalahkan mesin motornya dan perlahan meninggalkan rumah mertuanya. Ia berkendara dengan sangat hati-hati mengingat istri tercinta sedang berbadan dua.
Sudah hampir magrib ketika mereka tiba di rumah orang tuanya. Kedatangannya disambut hangat oleh kedua orang tuanya di teras depan.
Yudi dan Lusi langsung menyalami dan memeluk orang tuanya secara bergantian.
"Kami sangat merindukan kalian," ucap ibu Dina sambil meneteskan air mata haru.
"Kami juga merindukan ayah dan ibu tapi baru kali ini ada kesempatan soalnya kami sedang menggarap sawah," ujar Yudi membuat kedua orang tuanya termangu tak percaya.
"Yang benar? Kamu ikut kerja sawah?" tanya ibu Dina.
"Iya, Bu, Kak Yudi sangat rajin membantu ayah di sawah juga di kebun," jawab Lusi membenarkan pernyataan suaminya.
"Itu yang Bapak harapkan karena hidup ini penuh perjuangan," kata pak Arman dengan wibawanya.
"Iya, Ayah," sahut Yudi penuh hormat.
Ibu Dina kembali memeluk putranya. Ia bersyukur karena anak manjanya sudah mau bekerja dan cara bicaranya juga sangat sopan. Dalam hati ibu Maria memuji anak mantunya karena ia yakin, Yudi bisa berubah karena pengaruh dari istrinya.
"Yuk kita ke dalam!" ajak ibu Maria dengan senang.
Rumah yang besar namun penghuninya hanya dua orang. Jadi wajar saja kalau mereka sangat merindukan anaknya.
"Mau langsung makan atau ibu buatkan minuman hangat dulu!" tawar ibu Dina dengan semangat.
"Terserah tuan rumah aja," Yudi bercanda membuat ibunya tersenyum.
Diam-diam, pak Arman memperhatikan sikap anaknya dari balik kaca mata yang bertengger di hidungnya. Ia juga bangga melihat sikap anaknya yang banyak berubah.
Secara fisik, ia juga berubah. Dulu, sebelum menikah, ia mempunyai kuku yang panjang dan bersih tapi sekarang kuku itu sudah hilang, bahkan telapak tangannya sangat kasar.
Cara ngomongnya kepada orang tua juga sudah berbeda membuat ayah dan ibunya bahagia.
"Terima kasih, Nak Lusi, sudah membuat anak kami berubah seratus delapan puluh derajat," kata pak Arman kepada Lusi ketika Yudi masuk ke toilet.
"Ah, itu semua berkat doa dari Ayah dan Ibu," ucap Lusi dengan lembut.
"Iya, Nak. Dulu, sebelum Yudi kenal sama kamu ia sangat kasar ketika berbicara dan sangat malas untuk bekerja tapi sekarang... ia sudah sangat berubah. Ibu bangga sama kamu, Nak," kata ibu Maria dengan tulus.
Lusi hanya tersenyum mendengar pernyataan dari ibu mertuanya. Tak lama kemudian, Yudi sudah datang dan kembali bergabung di meja makan.
Lusi membantu ibu mertuanya untuk menata makanan di atas meja. Sate ayam dan sayur bening kesukaan Yudi juga sudah disiapkan olen ibunya. Aromanya membuat Yudi ingin segera melahapnya namun ia menahan keinginannya karena mereka belum baca doa seperti kebiasaan di rumah keluarga Lusi.
"Kok, masakan Ibu banyak sekali?" tanya Yudi dengan heran karena melihat makanan yang penuh di meja, sementara mereka yang akan makan hanya ber-empat. Yudi juga sudah terbiasa makan seadanya di kampung. Makan ikan kering dan sayur yang segar. Selama dua bulan tinggal di rumah orang tua Lusi, mereka sangat jarang makan daging tapi suasana rumah yang hangat membuat segala makanan jadi enak. Apa pun yang disajikan di meja makan akan selalu terasa enak.
"Ibu sengaja, Nak, biar kalian dapat makan sepuasnya. Jarang-jarang loh, kalian ke sini," sahut ibu Dina sambil menyendok nasi ke piring dan di letakkan di hadapan suaminya.
"Mana mungkin kita bisa menghabiskan makanan sebanyak ini? Ini pemborosan loh, Bu!" sanggah Yudi dengan serius.
"Nggak apa-apa, Nak, kalau tidak habis, tinggal kita simpan di lemari pendingin," ucap ibu Dina.
Anaknya memang sudah berubah. Dulu, ia selalu protes jika ibunya menyiapkan makanan karena selalu dianggap kurang tapi sekarang ia malah protes dan menganggap bahwa itu adalah pemborosan. Ada juga sisi baiknya ia tinggal bersama dengan mertuanya di kecamatan tetangga.
"Ayo, kita makan!" ajak pak Arman.
"Baca doa dulu dong!" timpal Yudi membuat ayah dan ibunya kembali saling berpandangan.
Pak Arman lalu membacakan doa dan setelah itu mereka menikmati makanan dengan lahap. Lusi dan Yudi masih ingin menikmati makanan itu tapi perutnya sudah terasa penuh.
"Masakan Ibu memang selalu terbaik!" puji Yudi sambil membersihkan mulutnya dengan tisyu.
"Terima kasih, Nak atas pujiannya tapi Ibu yakin masakan istri kamu jauh lebih enak, iya kan?" tanya ibu Dina ingin tahu.
"Dua-duanya, Bu," jawab Yudi sambil tersenyum.
Lusi dan ibu mertua membersihkan meja makan sedangkan Yudi bersama sang ayah berpindah tempat ke ruang keluarga.
Ibu Dina melarang anak mantunya untuk mencuci perabotan tetapi Lusi tetap mengerjakannya dengan iklas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments