Setelah para tamu pulang satu per satu, pengantin baru itu masuk ke kamar untuk berganti pakaian karena Sejak dari tadi Lusi merasa kurang nyaman dengan pakaian pengantin yang ia kenakan membuat nafasnya terasa sesak. Dengan memakai baju santai ia duduk di tepi ranjang dan air matanya kembali tidak dapat dibendung.
"Kok, nangis terus?" tanya Yudi yang mendapati istrinya sedang sesegukan.
Tak ada jawaban. Malah tangis Lusi semakin menjadi-jadi membuat suaminya bingung. Ia pun ikut duduk di samping istrinya dan berharap tangisan itu segera reda.
Sudah hampir setengah jam kedua pengantin itu duduk tanpa suara, hanya air mata yang terus mengalis di pipi sang istri.
"Apa kau menyesal menikah denganku?" tanya Yudi dengan tegas karena ia mulai kesal.
Lusi hanya mampu menggeleng kepala untuk merespon pertanyaan suaminya.
"Atau kamu punya kekasih lain yang membuat hatimu sedih karena kenyataannya sayalah yang jadi suamimu. Suami yang tidak berpendidikan. Suami yang hanya bermodalkan cinta. Tapi... saya rasa apa yang terjadi saat ini bukan hanya kemauan saya.Intinya, kita sama-sama mau. Jadi tak ada yang perlu disesali lagi. Harusnya malam ini kita bersenang-senang karena tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi dan merasa takut untuk berduaan tapi kamu malah menangis tiada henti." Perkataan Yudi semakin membuat hati Lusi semakin sedih.
Awalnya ia hanya bersedih ketika mengingat semangat kedua kakaknya yang sirna dan juga sedih karena harusnya malam ini ia akan mempersembahkan mahkotanya kepada orang yang ia cintai tapi semua sudah berlalu. Walaupun kesucian itu direnggut sendiri oleh Yudi namun tetap saja menimbulkan penyesalan. Kini, di hari yang berbahagia ini, Yudi menorehkan luka baru dengan perkataannya yang seolah menuduh bahwa dirinya punya kekasih lain.
Dengan kesal, Yudi berlalu dan keluar dari kamar meninggalkan istrinya yang masih terisak. Ia ingin menenangkan diri dengan menyulut sebatang rokok.
"Pengantin baru nie," goda salah seorang kerabat yang masih tinggal membantu keluarga pak Tono.
"Ahh, kamu... " sahut Yudi sambil tersenyum dengan sebatang rokok yang sudah berasap di bibirnya. Ia tidak mau menampakkan kekesalannya di hadapan keluarga sang istri karena ini adalah momen pertama berada di tengah-tengah keluarga mertua.
"Ehh, Nak Yudi, mari kita makan bersama!" ajak ibu mertua yang datang menghampirinya.
"Ohh, iya Bu. Saya panggil Lusi dulu!" jawab Yudi. Perutnya memang sudah keroncongan.
Ada rasa iba ketika tiba di kamar dan mendapati istrinya sudah tertidur dengan mata sembab. Perlahan ia menyentuh bahunya dan menggoncang dengan lembut hingga Lusi terbangun.
"Kita sudah ditunggu di meja makan, Sayang!" ucapnya dengan lembut sambil tangan kekarnya mengelus perut yang sudah buncit milik istrinya. Di dalamnya ada janin yang bergerak seolah merespon elusan sang ayah membuat Yudi tersenyum karena merasakan gerakan bayinya.Ia pun mencium perut itu dengan lembut.
Lusi merasa geli mendapat perlakuan dari suaminya. Sikap romantisnya inilah yang membuat Lusi selalu merindukan kehadirannya. Persoalan tadi sudah terlupakan. Ia memegang tangan suaminya dan tersenyum.
"Nah, gitu dong... tambah cantik kalau tersenyum," kata Yudi.
"Cepat, sana cuci muka biar kelihatan segar! Ayah dan Ibu sudah nunggu kita loh!" sambungnya lagi.
Lusi beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Gerakannya agak lamban karena usia kandungannya sudah memasuki bulan ke-enam.
Yudi memapah istrinya menuju ruang makan dengan mesra. Semua pasang mata yang berada di ruangan tersebut tertuju kepada mereka. Di situ masih agak ramai karena ada beberapa keluarga dekat dan para tetangga yang masih menyempatkan diri untuk membantu membenahi segala sesuatunya.
"Kalian memang pasangan yang serasi,"
"Iya, tampan dan cantik,"
"Romantis bangat,"
"Semoga jadi pasangan yang awet!"
Itulah beberapa kalimat yang sempat dilontarkan oleh orang-orang yang berada di ruangan tersebut.
"Amin, terima kasih semuanya!" ucap Yudi dan Lusi hampir barengan.
Setelah pak Tono membaca doa, mereka menikmati makanan yang sudah tersaji lengkap di meja dengan sangat lahap. Masih terdengar sesekali gurauan dari mereka untuk menggoda pengantin baru.
Yudi sangat terkesan dengan kebersamaan dan keakraban yang terjalin di keluarga yang di dalamnya dia juga sudah menjadi bagian. Ada canda tawa yang membuat Yudi merasa berbahagia. Sangat berbeda dengan keadaan keluarganya yang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ketika ada momen kebersamaan, mereka selalu tampak serius dan hal inilah yang membuat Yudi merasa bosan tinggal di rumahnya.
Pak Arman, mantan pak Lurah di salah satu kelurahan yang ada di kecamatan tempat tinggal mereka adalah ayah Yudi. Orangnya berwibawa dan sangat tegas. Sedangkan ibu Dina, istri pak Anis , orangnya pendiam dan sangat tertutup. Sementara ke-empat kakaknya, dua laki-laki dan dua perempuan, mereka semua punya karakter masing-masing dan tidak jauh beda dengan sifat kedua orang tuanya.
Kakak pertama dan ketiga bekerja sebagai pedagang dan kakak kedua dan keempat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Di keluarga barunya, Yudi menyaksikan keakraban antara orang tua dan anak dan semuanya pandai membuat lelucon yang mengundang gelak tawa. yang menambah suasana semakin akrab.
Pak Tono dan ibu Maria hidup sederhana. Rumah yang ditinggali juga sangat sederhana. Dinding papan dan lantai tembok yang kasar dengan tiga buah kamar ukuran kecil. Walaupun sangat sederhana tapi membuat suasana nyaman bagi penghuninya. Semua perabotan tersusun dengan rapi dan bersih karena masing-masing merasa bertanggung jawab untuk membersihkan. Tidak ada kamus saling mengharap dalam melakukan pekerjaan apalagi kalau hanya menyangkut pekerjaan di dalam rumah dan di pekarangan sekitarnya.
Di dalam kamar dengan ukuran yang kecil, Yudi dan Lusi meluruskan badan setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan, terutama bagi Lusi sebagai calon seorang ibu.
"Saya minta maaf, kalau tadi sempat menyakitimu! Kamu harus tahu bahwa saya ini sangat mencintaimu dan karena hal itu pulalah sehingga menikahimu di usia yang masih belia. Kamu juga harus tahu kalau saya takut jika ada laki-laki yang akan mendahuluiku untuk melamarmu!" kata Yudi sambil mengelus kepala istrinya dengan penuh cinta hingga sang istri terlelap. Yudi tidak mau mengganggu lagi istrinya karena ia tahu ibu hamil harus istirahat yang cukup. Perlahan ia kecup bibir tipis milik istrinya.
Malam semakin merangkak namun Yudi mata Yudi masih melek. Ia berharap, kelak ia bisa membuktikan bahwa ia adalah suami yang dapat dipercaya dan bisa diandalkan, terutama kepada kedua kakak iparnya, yakni Arman dan Yani. Juga kepada warga masyrakat yang ada di sekitar yang selama ini menganggapnya sebagai anak manja yang tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ketika ia naik ke pelaminan tadi siang, telinganya masih sempat mendengar suara sumbang dari orang-orang di sekitarnya yang mengatakan, (dia itu menikah dengan mengandalkan harta kedua orang tuanya. Seandainya tidak, dari mana ia akan menafkahi istrinya? Mau makan tanah atau batu?).
Mengingat hal itu membuat semangat Yudi bangkit. Ia ingin membangun sebuah usaha dan ia bertekad untuk bekerja keras demi istri tercinta dan calon buah hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments