Memberontak

Kedua tangan Safia bergerak mendorong tubuh Faiz sambil berkata, "Sayang, ini nggak baik!" Keberanian perempuan itu keluar ketika kehormatannya terancam. "Kamu harus sadar!" Safia hendak kabur, membuka sabuk pengaman.

Faiz kesal, emosinya meningkat tajam. Langsung meraih kembali tubuh Safia sampai perempuan itu meringis kesakitan dengan berteriak kecil. Kini tangan kiri Faiz pun membungkam mulut perempuan tersebut. "Kamu mau menolakku?" Suara Faiz naik satu oktaf ketika penolakan itu diterimanya. "Seharusnya kamu sudah paham kalau wanita dan pria dewasa berpacaran itu tentunya ada tujuan tersendiri, bukan sekadar cinta-cintaan semata!"

Safia memberontak, berusaha sebisa mungkin. "Em." Mencoba berteriak sebisanya agar segera lepas dari lelaki ini.

"Diam dan jangan bergerak!" Faiz murka. Tangan kanannya meraih sapu tangan di dekat kaca, hendak mengikat kedua tangan pacarnya tersebut. Namun, aksinya ini tak berbuah manis. Safia lebih gesit daripada yang dipikirkan, perempuan itu menggunakan kedua kakinya yang terangkat ke atas untuk mendorong tubuh Faiz. "Jangan!" teriaknya begitu kencang. Faiz tersungkur ke jok samping.

Melihat itu, Safia langsung membuka sabuk pengaman. Meraih tas dan keluar mobil. Berlarian secepat mungkin, meminta pertolongan. Hal yang tak pernah terpikirkan pun terjadi, Faiz berubah seperti singa buas saat kesempatan itu datang.

Safia keluar parkiran, menghampiri pos penjagaan kendaraan dan menemukan dua petugas di sana. Mereka kaget, terlebih melihat kondisi Safia dengan rambut yang berantakan karena terus memberontak.

"Mbak, ada apa?" Salah satu penjaga bertanya.

Safia berdiri di depan pos penjagaan. Pandangan matanya memudar, kemudian tubuh perempuan itu merosot ke bawah. Pingsan. Sontak saja kedua penjaga lelaki itu kaget dan langsung menghampiri Safia.

Melihat kondisi Safia yang pingsan, kedua pegawai itu pun berinisiatif membawa perempuan itu ke rumah sakit terdekat. Mengabarkan pada teman lainnya supaya bisa bergantian shift berjaga.

Safia tak sadarkan diri sampai ke rumah sakit. Perempuan itu diberikan penangan pertama agar segera sadar dan bisa diberikan pertanyaan. Kedua penjaga yang mengantarkannya pun tidak bisa pulang sebelum perempuan itu sadar diri.

Sekitar satu jam di rumah sakit, Safia baru sadar. Kedua mata perempuan itu mengamati sekitar yang cukup berisik, melihat langit-langit berwarna putih dan menoleh ke samping. "Saya di mana?" tanyanya pada suster perempuan.

Suster itu tersenyum kecil. "Mbak, ada di rumah sakit sekarang. Dua orang petugas mall membawa Mbak dalam keadaan pingsan. Apa Mbak sudah merasa baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Layaknya seorang anak kecil yang sedang terluka dan ditanya kenapa, Safia menangis.

Suster itu panik, ia meraih tangan kanan Safia dan berkata, "Tidak pa-pa. Mbak, mungkin sudah melewati hari yang buruk. Silakan menangis."

Tangis Safia beranak sungai, rasanya menyesakkan mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari seorang lelaki yang dicintainya. Tentu saja dipercayai juga. Padahal jelas-jelas Safia sangat menggantungkan harapan pada sosok Faiz yang satu tahun lebih tua darinya untuk menjaga dirinya dari segala kejahatan. Justru Faiz yang menjadi orang kejam dalam melakukan itu.

"Maaf, Mbak." Safia tak tahu harus berkata apa. Ingin bercerita banyak pun, tidak mungkin. Tak ada keluarga di sini, seorang diri merantau ke kota besar dengan harapan bisa meraih jenjang karir yang lebih baik di sini. "Saya menangis."

Suster itu cukup tersenyum simpul. Tak ada pertanyaan lagi ataupun perkataan yang keluar dari mulutnya. Mereka sama-sama wanita, merasakan posisi.

***

Di rumah berlantai dua dengan kamar empat dan dua kamar mandi serta ruangan keluarga juga ruangan tamu dan beberapa fasilitas lainnya, seorang lelaki muda sedang mempersiapkan diri di kamar utama. Ia memperhatikan penampilannya di depan cermin, sudah baik. "Aku rasa ini jauh lebih baik daripada setelan jas yang warna abu-abu tadi." Sudah empat kali lelaki itu mengganti pakaiannya, tetap saja pilihan lelaki itu jatuh pada setelan jas hitam dengan kemeja putih. Memang cocok di badan. "Aku harus turun dan pamit pada Ibu. Ini hari pertama kerjaku di kota besar ini."

Akhmar, namanya. Lelaki berusia dua puluh sembilan tahun ini baru saja ditarik dari kantor cabang di kota sebelah untuk ditempatkan di kantor pusat sebagai manajer baru. Jelas Akhmar sangat gugup dan lumayan cemas. Sebab, akan bertemu dengan orang-orang baru yang akan menjadi bawahannya juga.

Akhmar sendiri sebelumnya adalah manajer di kantor cabang, sudah menjabat sekitar dua tahun dan pengalamannya jelas sangat banyak dan beragam. Ia menempuh karir dengan penuh perjuangan sampai berada di titik seperti ini, tentu itu berkat doa dan dukungan ibunya yang tiada henti. Akhmar cukup beruntung perihal itu.

Akhmar keluar kamar, menuruni anak tangga dan mendapat ibunya yang sedang memasak di dapur. Pria itu langsung menghampiri dan berkata, "Kenapa Ibu memasak? Bukannya ada Bi Inah?" Ekor matanya mengamati sekitar, mencari sosok wanita yang setengah paruh baya yang biasanya ada di sekitar dapur sepagi ini. "Bi Inah ke mana memang, Bu?"

Bu Kartini, perempuan berusia empat puluh delapan tahun ini adalah seorang Ibu dari lelaki muda itu. Ia sedang memasak nasi goreng. "Bibi lagi ke minimarket sebentar. Tadi Ibu suruh beli keperluan yang kurang, Nak." Tanpa ingin menoleh ke belakang karena sedang tak mungkin, Bu Kartini menjawab pertanyaan anaknya.

Akhmar paham. Mereka memang sudah pindah satu minggu sebelum Akhmar bekerja di kantor baru. Hal ini dilakukan agar keluarganya bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Mengingat ada tiga orang yang dibawa Akhmar, termasuk satpam dan pembantu rumah tangga yang sudah seperti ibu kandung juga. "Seperti itu." Lelaki itu berdiri di samping sang Ibu. "Biarkan Akhmar saja yang masak. Ibu, duduk saja di kursi." Hendak mengambil alih cutik di tangan sang Ibu.

"Nggak apa-apa, Nak. Ibu lebih suka kamu sarapan dengan masakan Ibu sendiri. Pasti semangatmu juga bertambah."

"Tapi, Ibu nggak boleh kecapean." Akhmar tak ingin sampai terjadi sesuatu pada ibunya. "Ibu harus banyak beristirahat."

Bu Kartini mematikan kompor. Nasi goreng siap, barulah ia menoleh ke samping kanan. Menatap anaknya yang sudah tumbuh dewasa. "Bagi seorang Ibu, rasa capek itu sudah biasa. Kami lebih senang kalau anaknya bisa menikmati masakan buatan kami dengan lahap di pagi hari. Jadi, secape apa pun, Ibu ingin kamu sarapan buatan Ibu."

Akhmar terharu. Mendekap tubuh ibunya dan berkata, "Akhmar mungkin belum bisa memberikan kebahagiaan untuk Ibu. Semoga suatu saat Akhmar bisa."

Bu Kartini menyambut pelukan hangat itu. Tak ada anggota keluarga lain di sini karena sang suami sudah pergi menghadap Yang Maha Kuasa dua tahun lalu, sedangkan dirinya hanya memiliki anak satu saja. "Kebahagiaan Ibu itu cuma kamu. Melihatmu bahagia saja, Ibu sudah sangat bersyukur. Apalagi bisa diberi kesempatan untuk melihatmu menikah. Semoga saja masih ada umur Ibu."

Terpopuler

Comments

abdan syakura

abdan syakura

MaasyaAllah Akhmar....
mau bantu bundny masak...
hmm
hmm casu idaman nih!🥰
Semangat, kak Thor!!!

2023-02-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!