Menonton

Safia dan Faiz menonton film yang tersisa saja. Sebuah drama yang diangkat dari kisah nyata dan prosedurnya juga terkenal dengan film yang menarik. Tentu saja film ini mengisahkan kisah cinta dua sejoli yang tak mendapatkan restu dari kedua orang tua masing-masing. Memperjuangkan cinta keduanya agar tetap bisa berjaya sesuai keinginan. Supaya bisa mengibarkan bendera di puncak gunung tertinggi ketika berhasil. Cukup menarik.

"Sayang, kamu mau makan nggak?" tanya Faiz ketika sudah keluar dari bioskop.

Safia diam sejenak. Uang yang ada di dompetnya tidak terlalu banyak. Mengingat ini tanggal tua dan ia harus bertahan sampai waktunya gajian.

"Sayang." Faiz berhenti. Otomatis Safia pun melakukan hal yang sama. "Kamu kenapa?"

Safia tersadar. "Kenapa, Sayang?" Tatapannya sedikit bingung. Harga dua tiket tadi dengan popcorn pun lumayan menguras isi dompet, sekitar seratus dua puluh lima ribu.

Faiz mencubit hidung Safia, gemas. "Kamu kenapa, sih, Sayang? Ada yang lagi dipikirkan?" Sekali lagi Faiz bertanya untuk memastikan.

Kening Safia berkerut kencang. Kurang paham. "Nggak, Sayang. Aku cuma lagi lapar saja." Safia berbohong.

Faiz tertawa kecil, semakin gemas pada Safia. "Kamu memang lucu. Duh, kalau nggak ada orang sudah aku makan."

Safia bergeser ke kanan. "Makan?" Perempuan itu berteriak kencang sampai beberapa pengunjung lantai empat tempat perbelanjaan itu memperhatikan mereka.

Faiz membungkam mulut Safia dengan telapak tangan kanannya sambil bergeser ke kanan juga. "Jangan kenceng-kenceng, Sayang. Kamu mau orang lain salah paham?"

Safia terdiam. Kedua ekor mata gadis itu mengamati sekitar, benar saja.

Faiz melepaskan bungkaman di mulut Safia, lalu berkata, "Aku cuma bercanda. Kamu itu bukan makanan juga." Tawa kecil keluar dari mulut Faiz begitu saja, tanpa beban. "Kita sebaiknya makan aja, ya. Aku lapar juga."

Safia ingin protes lagi, tetapi berusaha untuk diam. "Ya sudah. Aku juga lapar."

Faiz menggandeng tangan kanan Safia untuk berjalan bersama. Film romantis yang mereka tonton beberapa menit lalu memang cukup banyak pelajaran tentang hubungan, terutama bagaimana menjaga sebuah hubungan agar tetap baik dan terus bertahan dihantaman badai paling mengerikan sekali pun.

Safia dan Faiz memutuskan untuk makan di sebuah tempat yang bisa dikatakan cukup terkenal sebagai penjual ayam goreng paling enak. Tentu saja tempat itu pun populer dari kalangan anak muda maupun tua, apalagi anak-anak. Sebagai pecinta ayam goreng, Safia memang sangat senang bisa di sini. Ya, memang untuk harganya cukup ramah di kantong.

"Semua ini kamu yang bayar dulu, ya. Aku gantian di kencan berikutnya," kata Faiz sambil tersenyum ketika mereka sudah duduk di meja paling pojok dekat dengan kaca.

Safia membalas senyuman. "Ya, Sayang. Janji, ya." Sedikit ragu karena merasa uang di dompet akan terkuras, padahal waktu gajian lumayan lama lagi.

"Tenang, Sayang. Aku ini bukan lelaki perhitungan." Faiz mengambil ayam bagiannya.

Safia tertegun sebentar. Mendadak ekor matanya melihat dua orang wanita berhijab yang duduk di depan mereka, tertawa kecil sambil menikmati makanan. Rasanya terlihat nyaman dan tenang. Ia pun mengamati diri, melihat rambut yang tergerai hitam panjang. Tidak ada yang salah memang dengan penampilannya, tetapi akhir-akhir ini merasa ada sesuatu yang aneh.

"Sayang, kamu kenapa?" Faiz menoleh ke belakang, tak ada yang menarik. Kembali memfokuskan pandangan ke depan. "Kamu lagi perhatikan apa, sih?"

Safia masih saja terkagum. Merasakan aura kedamaian yang terpancar dari kedua perempuan itu. Gamis terurai sampai ke bawah lutut dengan jilbab menutup dada, penampilan keduanya yang anggun bisa menghipnotis siapa pun.

"Sayang!" Faiz mulai kesal. Mood makan menurun drastis, ia berdiri. Dan, barulah Safia sadar, menatapnya dalam. "Kalau kamu memang merasa nggak mau kencan hari ini, harusnya bilang dari tadi!"

Kedua bola mata Safia membulat sempurna. "Sayang, maksud kamu apa?" Menarik lengan kiri Faiz agar turun. Akan tetapi, lelaki itu masih bertahan di tempatnya. "Maaf, tadi aku lagi merhatiin kedua perempuan berhijab itu, manis sekali."

Faiz terlanjur marah. "Sebaiknya kita pulang saja!" Lelaki itu menghempaskan tangan Safia, berjalan ke arah depan meninggalkan makanan yang sudah dipesan.

Safia kaget, ikut menyusul Faiz tanpa mempedulikan apa pun. Tidak memikirkan bahwa makanan yang sudah mereka pesan itu mubazir. "Sayang!" Safia terus mengejar, padahal banyak pelanggan yang memperhatikan mereka. Akhirnya perempuan itu berhasil mengambil tangan kanan Faiz. "Sayang, kamu jangan marah. Aku minta maaf."

Faiz berhenti di dekat eskalator.

"Aku bukan bermaksud nggak mendengarkanmu, tapi aku tadi cuma kagum," lanjut Safia.

Usia mereka memang hanya terpaut satu tahun, lebih tua Faiz. Namun, justru Faiz yang lebih terlihat kekanak-kanakan. "Mood makanku turun, kita pulang saja!" Masih dalam mode kesal.

Safia berusaha mengimbangi. Rasa cintanya pada Faiz sangat tinggi. "Ya, sudah. Kita pulang aja." Safia tersenyum manis, bertingkah manja layaknya pada kekasih.

Faiz dan Safia turun dari lantai empat menuju parkiran. Setiap hari keduanya memang berangkat bersama karena Faiz selalu menjemput. Otomatis, sekarang pun mereka satu mobil. Sesampainya di dalam mobil, Safia langsung memakai sabuk pengaman. Namun, tidak dengan Faiz.

"Sayang, aku besok sepertinya berangkat pagi-pagi banget karena ada manajer baru. Kamu nggak perlu jemput, takut kamu kepagian banget." Safia membereskan rambut yang berantakan.

Hening, Faiz seolah tenggelam bersama kesepian area parkir. Arloji di tangan kanan Safia baru saja menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tentunya area parkir sepi karena penghuni pusat perbelanjaan belum keluar, masih ingin bermain-main di sana.

Safia penasaran, menoleh ke samping kanan dan menatap Faiz. "Sayang, kamu kenapa?" Keningnya berkerut.

Faiz terdiam. Perlahan, tetapi pasti wajah lelaki itu mendekat bersamaan dengan kedua tangannya merangkul pinggang Safia. "Kita ini sudah sama-sama dewasa, kan? Harusnya kamu paham."

Dua pupil mata Safia membesar, dadanya berdegup. Tubuh Faiz semakin mendekat, bahkan kini tidak berjarak.

"Jangan bergerak, Sayang. Kita harus sepakat kalau ini atas dasar cinta," pinta Faiz dengan suara pelan. Membujuk Safia dengan rayuan maut agar wanita itu bisa memahami.

Safia menelan ludah. Keadaan ini tidak pernah dibayangkannya. Apalagi harus terjadi. Mulut Safia ingin berteriak, tetapi suara itu sulit keluar. Ini salah! Jelas sangat salah. Maka dari itu, ia harus bertindak cepat. Hanya saja kenyataan di lapangan justru berbeda, Safia belum bisa melakukan apa pun.

"Kamu sayang aku, kan?" Faiz bertanya lagi. Kali ini tangan kirinya hendak meraih pipi kiri Safia. Tertahan karena melihat kegugupan perempuan itu. "Seperti yang aku bilang kalau kita sudah sama-sama dewasa, tau konsekuensi. Jangan takut, Sayang."

Terpopuler

Comments

citra marwah

citra marwah

perasaan tadi berangkat nya ke bioskop beriringan mobil parkir bareng2 bersisian...gmna sih ini thor. konsep nya masih satu hari satu waktu udh beda haluan,

2023-12-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!