Setelah menikmati makan siang kami, sejenak kami menikmati suasana teduh di taman itu. Taman yang setiap siang beralih fungsi menjadi tempat makan para karyawan, memang didesain sangat menarik dan nyaman. Selain ada pohon yang rindang persis payung tenda, di setiap pohon itu sengaja dipasangkan meja bundar dan dua kursi panjang di sisi kanan dan kirinya. Sehingga taman ini persis taman rekreasi yang benar-benar nyaman untuk sekedar melepas lelah sejenak.
"Rim, kamu sudah duluan saja, nggak ngajak-ngajak!" sapaku pada Rima yang mulai menikmati bekalnya. Rima menoleh sejenak.
"Maaf deh, tadi aku mau ajak kamu. Berhubung tadi Kak Tari menghampiri meja kamu, jadi aku cancel deh," sesalnya. Aku membalas dengan senyum simpul.
"Ya, sudah tidak apa-apa, lebih baik kita makan siang saja," ajakku, Rima mengangguk setuju.
Setelah makan siang dengan bekal dinginku namun mengembalikan stamina tubuhku menjadi bugar, aku segera berpamitan pada Rima untuk ke mushola dulu. Setelah itu, rencanaku langsung ke ruangan Pak Rangka.
"Rim, aku duluan, ya, mau ke mushola dulu," pamitku memberitahu.
"Kok, buru-buru, Sen?"
"Iya, nih. Habis sholat aku mau langsung ke ruangan Pak Rangka."
"Ngapain ke ruangan Pak Bos, jangan-jangan kamu dapat persekot, ya?" tebak Rima heran.
"Persekot apaan, aku saja tidak tahu apa yang diinginkan Pak Rangka," sanggahku.
"Hati-hati lho, Sen! Pak Bos kita, kan terkenal killer," bisik Rima memicingkan mata sambil mengisyaratkan tangan di lehernya.
"Killer gimana sih?" tanyaku kurang paham.
"Ya, killer, membunuh, galak dan judes gitu. Penyebabnya sih katanya sering putus cinta. Terlebih sejak ditinggalkan istrinya selingkuh. Pak Rangka pernah dikabarkan beberapa kali menjalin hubungan dan putus cinta. Penyebabnya sih karena si cewek mengetahui kalau Pak Bos penyakitan, jadi mereka mundur. Asmanya tiba-tiba sering kambuh saat Pak Bos mengajak kencan ceweknya. Jadi, akhirnya cewek yang diajak kencan Pak Rangka pada kabur," terang Rima panjang lebar dan sepertinya Rima tahu banyak gosip tentang Pak Rangka. Aku hanya manggut-manggut tanpa menimpali.
"Tapi, kan ganteng," celetukku dengan wajah sumringah terpesona. Karena sejak pertama kali melihat Pak Rangka aku begitu mengaguminya.
"Kamu ini mikirnya ganteng saja, mentang-mentang jomblo. Ganteng tapi penyakitan buat apa?" debat Rima tidak setuju.
Aku terkekeh merasa kena sentil Rima, sebab benar juga aku ini jomblo akut. Mungkin Rima ada benarnya, saking akutnya jadi jomblo aku begitu terpesona pada Pak Rangka.
"Sen, Sensi, katanya mau ke mushola, kok melamun?" gertak Tari mengagetkanku.
"Eh, i-iya ya. Ya, sudah kalau begitu lebih baik aku pergi mushola dulu, ya. Bisa berabe kalau Kak Tari ngomel lagi," ucapku seraya beranjak ke mushola untuk melaksanakan sholat Zuhur sekalian memoles sedikit wajahku yang kusam bekas berwudhu tadi. Supaya ketemuan dengan Bos, ehhh maksudnya menghadap Pak Rangka, mukaku tidak kusut dan kusam banget.
Beberapa menit kemudian aku tiba di lantai empat dan menyapa Mbak Koral, Sekretaris Pak Rangka. "Permisi Mbak Koral, saya disuruh Pak Rangka menghadap beliau," laporku sopan. Sekretaris Pak Rangka yang usianya lebih dewasa dariku itu enggan jika disebut ibu olehku, padahal maksudku baik sebagai penghormatan pada beliau. Tapi Mbak Koral lebih senang dipanggil Mbak daripada Ibu, alasannya dia masih gadis dan belum menikah.
Mbak Koral menatapku lalu tersenyum ramah. "Ohhh, Sensi, ya?" serunya. "Silahkan, langsung saja masuk!" ucapnya mempersilahkan.
"Langsung masuk Mbak?" tanyaku ragu. Mbak Koral menatapku heran.
"Iya, masuk saja!" titahnya.
"Aduhh, gimana ya, kalau saya langsung masuk, saya belum berani, Mbak. Bagaimana kalau Mbak Koral antar saya dulu ke dalam," kataku beralasan.
"Tidak apa-apa, kamu langsung masuk saja, tidak usah takut kok. Pak Rangka sudah tahu kamu akan ke ruangannya. Dia sudah menunggu, lho," bujuk Mbak Koral menegarkanku.
Akhirnya aku mencoba menghampiri pintu ruangan Pak Rangka. Di depan pintu ruangan Pak Rangka, aku berdiri sejenak sebelum mengetuk pintu. Aku berdoa di dalam hati, berharap atmosfirnya tidak menakutkan seperti apa yang dikatakan Rima tadi, bahwa Pak Rangka adalah Bos killer.
Aku memberanikan diri mengetuk pintu, tidak berapa lama terdengar suara seseorang mempersilahkanku masuk. "Masuk!" perintahnya tegas. Perlahan ku buka pintu itu dengan ragu.
"Permisi, Pak, saya Sensi dari divisi administrasi menghadap, Bapak," laporku hormat. Di dalam ruangan Pak Rangka, rupanya ada asprinya Pak Rangka yaitu Pak Cakar Besi. Aku manggut pada Pak Cakar tanda hormat. Pak Cakar membalasnya dengan senyum simpul. Tidak berapa lama Pak Cakar pamit keluar meninggalkan ruangan Pak Rangka. Suasana mendadak tegang bagiku.
"Silahkan duduk!" perintahnya mempersilahkan. Seketika aku merasa kikuk dan serba salah saat tatapan mata Pak Rangka tembus menusuk mataku.
"Jangan takut, saya tidak makan orang, kok," ujarnya seakan tahu keteganganku. Aku jadi tengsin dibuatnya, tanganku saja jadi gemetaran.
"Motor kamu sudah ada di parkiran, di antar aspri saya," ujarnya memberitahu.
"Terimakasih, Pak," balasku.
"Dan ini uang kamu yang tadi kamu pakai untuk membeli obat sesak nafas saya." Pak Rangka menyodorkan selembar uang seratus ribu ke hadapanku. Aku menatapnya ragu dan malu untuk mengambilnya. "Ambillah!" desaknya.
"Eh, i-iya Pak, terimakasih. Tapi ... ini masih ada kembaliannya, dan saya tidak punya pecahannya untuk kembaliannya," ujarku meraih uang pemberian Pak Rangka.
"Tidak perlu, saya yang harusnya berterimakasih sama kamu, karena kamu sudah menolong saya. Kembaliannya buat kamu saja," kata Pak Rangka seraya menatap tajam ke arahku. Aku semakin serba salah dibuatnya. Kenapa cuma sekedar mengembalikan uangku saja, mesti harus dipanggil ke ruangannya segala? Kan aku jadi malu, seperti tidak ada muka. Apalagi muka Pak Rangka ganteng banget kalau sedang menatap tajam ke arahku. Tiba-tiba Pak Rangka tersenyum dan menatapku.
"Kamu cantik, tadi kamu habis memoles wajah kamu, ya?" Alamak, pertanyaan yang tidak penting itu meluncur dari mulut Pak Rangka yang manis itu, tanpa beban derita sehingga membuatku ingin tidak sadarkan diri saat itu juga saking malunya. Pak Rangka memuji sekaligus menyindir, sampai jantungku mau copot. Aku tertunduk malu.
"Emm, tadi habis sholat Zuhur, saya hanya memoles pakai bedak dan lipstik saja, Pak!" seruku memberi alasan. Sumpah malu banget seakan tubuh ini melayang tidak bernyawa. Pak Rangka terkekeh, dan menatapku yang tengah menunduk menenggelamkan rasa maluku seraya menata hatiku yang sedang gelisah.
"Mana pekerjaan kamu, kenapa tidak kamu bawa? Memangnya kamu datang ke sini disuruh untuk menemani saya ngobrol?" tegurnya heran yang melihat aku kosong tanpa membawa apa-apa. Aduhhh, aku sampai begitu bodohnya dan tidak berpikir ke sana. Akhirnya aku permisi dulu pada Pak Rangka, dan lari tergopoh menuju lantai dua ke ruanganku mengambil map yang belum selesai aku kerjakan.
"Nasib, nasib," sesalku seraya berlari kecil menuju ruanganku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
mom mimu
terlalu bersemangat buat ketemu pak Rangka ya Sen... hadehhh bisa2 kamu lupa 🤦🏻♀️😁
2023-10-31
0
bung@ter@t@i
aish di kira bakal di tembak..... wkwkwkwk ngimpi kali
2023-10-12
1
⚞ል☈⚟ MymooN
mgkn mksdnya abis wudhu make up luntur ya... bkn kena wudhu jd kusam
2023-02-26
1