Di bawah siraman sinar rembulan, gadis dengan rambut panjang terurai menatap penuh cinta pada bintang-bintang. Matanya yang indah terus menatap langit yang berkelip-kelip mesra, tak terasa cairan bening mulai merembes dari kedua sudut matanya yang jernih. Perlahan, air mata mulai membanjiri wajahnya.
Tangannya tampak menggenggam secarik kertas yang entah apa isinya, tapi kertas itulah yang membuatnya menangis saat ini. Ia terus menunduk menatap kertas itu diiringi isakan tangis memilukan, ia bahkan tak memperdulikan beberapa orang yang menatapnya dengan iba.
Senja terus saja menangis, sampai tak sadar kertas yang di genggamnya sudah basah membentuk bercak-bercak bening. Beberapa tinta mulai memudar, menyisakan tulisan yang tidak bisa di baca.
Kertas itu menjadi saksi betapa rapuhnya ia saat ini, seakan-akan tak ada sandaran yang bisa membuatnya tenang malam ini.
Dari kejauhan tampak sepasang mata mengawasinya, sebelum akhirnya hilang ditelan kegelapan.
"Senja, sedang apa kau disini?." Sapa seseorang dari arah belakang dengan nada bicara formal dan terdengar dingin.
Senja buru-buru menghapus sisa air matanya dengan punggung tangannya, lalu menoleh.
terlihat seseorang dengan perawakan tinggi, berwajah tampan dengan balutan jas Almamater kampus mulai berjalan mendekat.
"Eh, oh K-kak Rey," Sahut Senja gagap.
Ia segera menyembunyikan kertas dibelakang punggungnya.
"Nih," Rey mengulurkan selembar tisu dari saku jasnya, karena melihat mata Senja yang masih basah.
Senja segera mengambilnya dengan kikuk dan mengusap pipinya dengan serabutan,
"Ma-makasih Kak Rey"
Rey hanya mengangguk, "Boleh aku duduk disini?," Kata Rey dengan ekspresi datar seperti biasanya, bedanya kini terasa sedikit lebih hangat.
Senja hanya mengangguk dan segera menggeser duduknya memberi Rey ruang untuk duduk.
Kak Rey adalah seniornya di kampus, sekaligus mentor beasiswa nya. Terkenal dengan sikap dingin dan cuek, Senja sendiri selalu merasa takut ketika berurusan dengan Kak Rey. Sehingga Ia selalu memilih menunduk dan tak mau membalas tatapannya yang tajam dan terkesan mengintimidasi.
Rey segera duduk dengan sorot matanya yang tajam, membuat Senja semakin terpojok dan ketakutan.
"Kebetulan aku ketemu kamu di sini, karena tak perlu repot-repot mencarrimu kesana kemari dan banyak membuang waktuku yang penting.
Senja masih tetap menunduk, perasaan takutnya semakin menjadi-jadi, membuat tangannya mulai gemetar dan meremas roknya sendiri tanpa sadar.
Karena tak ada sahutan apapun dari Senja, Rey melanjutkan pembicaraan dengan lagak sok pentingnya.
"Sebenarnya aku diutus Pak Rektor untuk menanyakan beberapa hal tentang mu beberapa hari yang lalu, cukup menyebalkan memang mencarimu di kampus tapi tak ketemu," Ada penekanan di setiap pelafalannya, menandakan Ia sangat kesal.
"Pertama, kamu kenapa tak masuk perkuliahan seminggu lamanya"
Rey melirik sebentar ke arah Senja dengan tatapan sangat mengintimidasi, membuat Senja langsung merinding. Sebelum akhirnya melanjutkan pembicaraannya kembali yang sepertinya masih panjang.
"Kedua..... " Lanjutnya, tapi segera menghentikan perkataannya ketika melihat ekspresi Senja yang merenung, sudut matanya mulai berkaca-kaca.
Suasana menjadi hening sesaat, sepertinya Rey juga bimbang ingin melanjutkan atau tidak.
Kini mereka saling terdiam satu sama lain, Rey juga berhenti berbicara atau sedang memilih kata yang tepat agar Senja tak tersinggung, sebelum akhirnya Senja memecah keheningan.
"Ma-maafkan a-ku Kak R-ey" Ucap Senja terbata-bata terus menunduk, kini air matanya benar-benar sudah merembes sempurna.
Rey terdiam mematung, tak tau harus bagaimana. Karena Ia tak pernah dalam posisi seperti ini sebelumnya, Ia sendiri tak ada pengalaman menghadapi seorang wanita yang menangis karena memang Ia tak pernah pacaran.
Tanpa terduga dan tak tau bagaimana caranya, Rey malah melanjutkan ke inti masalah.
"Aku perhatikan, beberapa hari ini kamu gak ngampus, kenapa?," Rey tampak kesal tapi juga kawatir melihat Senja yang kini sudah benar-benar menangis.
Melihat Senja semakin menangis, Rey semakin bingung dan memilih melanjutkan pembicaraannya lagi.
"Aku juga tak sengaja menemukanmu menangis sendirian di taman kemarin, dan terakhir malam ini. Ada apa? cerita sama aku, aku adalah patner beasiswamu. Jangan buat Pak Andi kecewa Senja." Rey meninggikan suaranya, seakan Senja orang paling bersalah di dunia.
Karena terlalu kikuk, Rey malah seakan memarahi Senja. Membuat Senja semakin sesenggukan, karena hatinya yang lembut.
Deg!
Senja merasakan sakit yang luar biasa menjalar begitu cepat di tubuhnya, rasa sakit yang tak berdarah, membuat air matanya kian mengalir begitu derasnya m
Rey yang mentok tak tau berbuat apa malah menatap tajam kearah Senja menunggu jawaban, Ia benar-benar kacau tak bisa mengendalikan dirinya sendiri dan emosinya.
Senja semakin tak kuasa menjawab, malah semakin menangis. Senja dihadapkan dua masalah dalam waktu bersamaan, Ia rasanya tak sanggup untuk menceritakan pada Kek Rey. Terlebih ini adalah masalah pribadinya.
Rey yang sebenarnha tak bisa melihat wanita menangis, tampak mulai menyesali keputusan dan sikap acuh tak acuhnya. Apalagi pertanyaan tidak sesuai kondisi yang baru saja Ia lontarkan.
Tanpa Rey sadari, reflek dirinya malah memeluk Senja. Karena sudah tak tahan melihat Senja menangis dengan begitu hebatnya, Rey punya trauma tersendiri dengan orang yang menangis. Bahkan Ia sangat membenci orang yang cengeng, tapi kali ini entah kenapa Senja membuatnya Iba.
dari kecil Ia paling tidak suka melihat seorang wanita menangis, Ia benci hal itu. Karena mengingatkan Ibunya yang selalu menangis sewaktu Ia kecil karena KDRT yang dilakukan ayahnya sendiri.
Setelah merasakan pelukan yang hangat dari Kakak seniornya yang mempunyai sikap sedingin es, tangis Senja mulai sedikit mereda. Ada perasaan tanang dan hangat mulai menjalar di tubuhnya.
Rey sendiri malah kebingungan dengan dirinya sendiri, kenapa kali ini perasaan benci melihat orang cengeng berubah menjadi rasa kasihan, bagaimana bisa? sehingga Ia lebih memilih diam tanpa suara.
Karena tak ingin membuat Senja semakin larut dalam kesedihan, Rey membiarkannya menangis dalam pelukannya yang hangat. Membiarkan sampai Senja puas mengeluarkan segala keresahan lewat air matanya.
Setelah puas menumpahkan seluruh keluh kesah dalam hatinya, perlahan tangisnya mereda menyisakan suara sesenggukan.
Perlahan Senja melerai pelukan Rey yang membuatnya sedikit lebih baik, Rey tampak iba menatap Senja yang masih terisak.
Senja mulai mengusap pipinya yang basah, lalu melirik kearah Kak Rey dengan tatapan serba salah.
Untuk pertama kalinya, Senja melihat ekspresi hangat dari Ketua BEM yang terkenal dingin berwajah datar.
Tak ingin membuat Senja semakin sedih, Rey memilih untuk membicarakan hal ini lain kali. Ia berencana pamit untuk memberikan Senja waktu untuk berdamai dengan masalah yang sedang dihadapinya, sampai Senja siap untuk bicara dan memberikan alasan yang bisa Ia sampaikan ke Pak Rektor yang telah memberikan Senja beasiswa karena kecerdasan yang dimiliki.
Rey menelan Salivanya setelah ia melihat kecantikan dan keteduhan yang terpancar dari seorang gadis di hadapannya, selama ini Ia tak pernah memperhatikan rupa Senja sedetail ini.
Ia mencoba berusaha memberikan ruang agar Senja tenang kembali, jika sudah memungkinkan Ia akan menanyakan hal yang sama agar cepat mendapatkan solusi. Kalau bisa Ia turut andil menyelesaikan masalah Senja, karena Ia juga ikut bertanggung jawab atas perkuliahan Senja.
Rey mulai beranjak dari tempat duduk, ekspresinya yang datar menatap Senja penuh iba.
"Kalau begitu aku pamit dulu ya, kebetulan aku ada janji sama seseorang di Rumah Sakit ini. Kalau ada masalah yang serius dan tidak bisa kamu hadapi sendiri, cerita aja. Ingat, aku adalah mentor yang bertanggung jawab atas perkuliahanmu" Ucap Rey dengan gayanya yang cool, tatapannya yang dingin serta sikapnya yang cuek.
Senja hanya mengangguk tanpa bersuara.
"Kalau begitu, aku pamit dulu" Ucap Rey yang langsung pergi begitu saja, ini adalah pertama kalinya Ia mengulum senyum pada seorang wanita tanpa sepengetahuan Senja.
Dengan suara sangat lemah, Senja mengucapkan terimakasih karena Kak Rey sudah peduli dengannya tapi Pria dengan tubuh tinggi atletisnya itu sepertinya tak mengindahkan nya.
"Terimakasih kak, telah memberikanku sandaran tadi." Lirih Senja menatap kearah Rey yang sudah memasang ekpresi datarnya segera.
Rey hanya mengangguk ala kadar, lalu pergi. Senja terus menatap punggung tegap itu sampai hilang di kegelapan.
Senja kemudian membuka secarik kertas yang sempat Ia sembunyikan dari Senior kampusnya itu, lalu melipatnya kembali dan memasukkannya ke kantong sakunya dengan cepat.
Saat hendak meninggalkan tempat itu, dari arah belakang samar-samar ia mendengar seseorang memanggilnya. Suara yang terdengar tak asing di telinganya.
"Senja, tunggu!,"
Saat menoleh, Senja langsung terperanjat. Betapa tidak, dalam cahaya remang Ia dapat melihat dengan jelas sosok tinggi tegap dibelakang gadis cantik yang berlari kearahnya. Sosok yang sangat ia kenali, bahkan dalam keadaan gelap sekalipun.
Seketika, tubuh Senja membeku. Udara dingin seakan menusuk menembus tulang. Dadanya tiba-tiba sesak, seakan-akan oksigen yang banyak tak cukup untuk sekedar ia hirup. Senja hampir tak mempercayai indra penglihatannya sendiri kalau itu.
Cairan bening mulai memenuhi kelopak matanya, sedetik kemudian pipinya sudah basah dengan linangan air mata. Entah seberapa banyak air mata yang Ia kuras malam ini.
"Untuk apa kalian kesini?!" Ucap Senja dengan nada marah, tangannya memberi isyarat agar kedua orang dihadapannya tidak mendekat. Ekspresi kebencian dan kemarahan terukir sempurna di wajahnya yang cantik.
Laki-laki paruh baya itu seketika menghentikan langkahnya, ketika sudah beberapa meter mendekat kearah Senja yang kini sudah terisak.
"Maafkan Ayah Senja, karena telah meninggalkan kamu begitu saja bersama Ibumu_
"Stop!" teriak Senja memotong, "Aku benar-benar tak ingin mendengar apapun dari seorang Ayah yang tega meninggalkan anak dan istrinya demi selingkuhannya!".
Senja mengucapkan kalimat itu sangat jelas dan lantang, menarik perhatian beberapa orang yang langsung menoleh kearahnya.
Deg.
Pak Retno seakan tersambar petir, tubuhnya bergetar hebat saat tu juga. Bagaimanapun juga, kesalahan yang di perbuatnya di masa laut tak bisa termaafkan oleh Senja dan Ibunya.
Ia sama sekali tak bisa membantah perkataan Senja, karena kebodohannya rumah tangganya yang tentram menjadi kehancuran. lidahnya sekarang terasa kelu, tak bisa lagi mengucapkan kata sepatah pun.
Rasa penyesalan demi penyesalan seakan memenuhi ulu hatinya, merambat cepat menyempurnakan suasana yang sangat dramatis.
Rasa penyesalan itu meledak begitu saja, menyisakan rasa sakit yang begitu dalam di dadanya.
Sedangkan Merry tampak mematung melihat ketegangan antara Senja dan ayahnya yang sebenarnya Ayah Senja juga di masa lalu. Umur mereka pun tak terpaut jauh, wajah cantik mereka juga ada kemiripan yang diturunkan dari Pak Retno, ayah sekaligus Pria yang sama pada rahim yang berbeda.
Kini Ia sadar yang dilakukan Maminya adalah salah, tapi Ia sendiri tak akan rela jika ayahnya kembali pada Senja dan Ibunya. Ia sangat menyangi ayahnya itu.
Tak ingin membuat suasana semakin tak terkendali, Merry segera menarik mundur Papinya beberapa langkah. lalu meletakkan map di sebuah kursi yang tak jauh dari Senja.
"Aku tahu ibumu harus dioperasi, kalau kau membutuhkan uang, aku punya sebuah penawaran. Aku tahu kau tak mau dikasihani, atau diberi uang cuma-cuma. Maka dari itu, aku menawarkan kerja sama. Jika setuju, langsung hubungi nomer yang tertera di surat perjanjian itu dan segera kau tanda tangani. Aku akan segera membayar biayanya dan Ibumu akan segera dioperasi." Ucap Merry menjelaskan maksud kedatangannya.
Pak Retno hanya terdiam tak berdaya, Ia terjepit dua pilihan yang rumit. Yang pertama Ia tak setuju dengan penawaran yang ditawarkan Merry, Kedua Ia juga tak bisa membantah Istrinya atau memilih perusahaannya bangkrut.
Pak Retno menatap Senja dengan linangan air mata, air mata rindu, sedih dan salah.
Setelah mengatakan itu, Merry menarik tangan Ayahnya yang masih termangu di tempat, seperti ingin lama-lama menatap wajah anaknya. Sedangkan Senja, masih terdiam menatap map kuning yang ada dihadapannya dengan bimbang.
Pak Retno yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu Senja begitu haru, Anaknya sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik mirip ibunya.
Bahkan, saat mobil mulai berjalan Pak Retno masih menatap kearah taman.Tak melepas sedetikpun tatapannya pada Senja, sedangakan Senja masih berdiri disana.
Setelah mobil itu pergi, Senja perlahan melirik kearah map kuning yang tergeletak begitu saja.
Ia berniat meninggalkan map itu, tapi mengingat keadaan Ibunya, Ia terpaksa mempertimbangkan tindakannya itu. Dan dengan berat hati mengambilnya.
.
.
.
Keesokan paginya,
Sinar matahari merayap melewati celah kamar rumah sakit, Senja terbangun di sebuah sofa.
Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah Ibunya yang terbaring tak berdaya dengan beberapa peralatan medis ditubuhnya. Perlahan Senja mendekat dan menggenggam tangan ibunya dengan erat, "Ibu yang sabar ya, aku pasti segera dapat uang dan Ibu akan segera dioperasi."
Tak terasa air matanya menetes membasahi tangan ibunya, andai dapat ditukar. Ia lebih memilih menggantikan posisi ibunya, daripada harus melihat ibunya terbaring tak berdaya seperti itu.
Jam sudah menunjukkan delapan pagi, Ia ada perkuliahan hari ini jam sepuluh mendatang. Tak mau mengecewakan kak Rey sebagai mentornya, Senja akan berangkat kuliah setelah bebrapa hari absen.
"Bu, aku mau kuliah dulu ya. Doain Senja segera lulus dan dapat pekerjaan yang layak." Senja segera mencium tangan Ibunya, menatap Ibunya yang masih terpejam.
Setelah mencium kening ibunya, senja mulai meninggalkan ruangan tempat ibunya di rawat. Walau berat hati harus meninggalkan Ibunya sendirian, Ia tak punya sanak saudara untuk menemani Ibunya sehingga terpaksa meninggalkan Ibunya sendirian. Di sisi lain Ia harus tetap kuliah, agar IPK nya tetap bagus. Apalagi Rektor sudah menegurnya lewat Kak Rey. Akan sangat bermasalah kalau IPKnya turun, beasiswanya bisa di cabut.
.
.
.
Di rumah,
Senja langsung mandi.
Setelahnya, Ia menyempatkan memasak untuk bekal di kampus nanti, karena di kantin kampus makannya mahal-mahal. Akan sangat hemat jika Ia tidak jajan.
Setelah samua beres, Senja siap berangkat. Saat tiba-tiba notifikasi panggilan berdering. Saat tahu itu dari Rumah Sakit Senja segera mengangkatnya.
"Hallo, apakah benar ini dengan Ibu Senja?." Suara diseberang telepon.
"Iya, dengan saya sendiri."
"Keadaan Ibu Susi semakin memburuk, jika tidak dilakukan tindakan operasi saat ini juga akan beresiko sangat fatal. Apakah Ibu sudah ada dananya?,"
Senja hanya terdiam, Ia tak tahu apa yang harus Ia lakukan. Ia tak mungkin dapat uang dua ratus juta dalam lima menit.
"Hallo, buk. Apakah Ibu mendengar suara saya," Suara perawat yang panik itu terus berusaha terhubung dengan Senja.
Tiba-tiba Ia teringat tawaran Merry, Ia langsung mengambil Map kuning yang kemarin malam Ia letakkan diatas lemari kamarnya.
Tanpa pikir panjang, Ia segera menandatangani kontrak itu tanpa membacanya dan langsung menghubungi Merry.
"Hallo Mer, aku sudah menandatangani perjanjian itu," Ucap Senja mantap saat telponnya sudah terhubung dengan Merry.
"Diterima, kamu tenang aja. sekarang pergilah ke Rumah Sakit dan Ibumu akan langsung di operasi" Jawab Merry dengan angkuh, lalu memutus telponnya.
Senja langsung berlari ke jalan raya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
sabar sanza.
2023-03-16
0
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Mak k⃟ K⃠Adam🥀⃞
mampir ya kak
2023-03-05
0
Nefertari Atika
Aku suka cerita mu, mawar merah untukmu
2023-03-03
0