Chapter 5

.......

.......

.......

“Felix.”

Pria yang dipanggil Felix itu menggumam pelan.

“Felix, bangun!!”

Seseorang mengguncang-guncang tubuh Felix. Merasa terusik, akhirnya Felix membuka matanya.

“Jane?”

Felix mengusap matanya, memperjelas penglihatannya akan seseorang yang tengah mengusik tidurnya itu. Seorang gadis berpiyama ungu muda dengan surai cokelat terurai tampak di hadapannya. Gadis itu adalah Jane. “Ada apa, Jane?”

“Aiden.”

Mendengar nama Aiden, Felix langsung terduduk. “Ada apa dengan Aiden?”

“Aiden tidak mau berhenti menangis. Apa mungkin dia sakit?” ujar Jane dengan wajah cemas.

Saat itu juga Felix langsung bangkit dan berjalan dengan langkah lebar ke kamar Aiden, disusul oleh Jane di belakangnya. Begitu tiba, Felix langsung menyentuh kening Aiden.

Felix menghela napas lega. “Aiden tidak sakit. Mungkin dia hanya lapar. Dia tidak akan berhenti menangis kalau kamu tidak memberinya susu.”

“Lapar? Tapi ini baru jam tiga pagi,” tanya Jane. Ekspresi bingung tercetak jelas di parasnya.

“Hmm. Bayi berumur tiga bulan pasti akan terbangun tengah malam begini karena lapar. Ini hal yang biasa, kemarin-kemarin dia juga begitu,” terang Felix.

“Kemarin-kemarin juga?”

Oh, apakah Jane tidur terlalu lelap sampai-sampai tidak mendengar Aiden menangis selama beberapa malam ini? Tunggu, berarti selama tiga malam terakhir ini Felix juga terbangun pada jam segini karena Aiden menangis? Padahal kan dia pasti juga sama kelelahannya seperti dirinya.

Jane juga baru menyadari kalau ada sekaleng susu formula, botol susu dan termos di atas meja nakas di sebelah box bayi Aiden ketika Felix bilang dia akan membuatkannya susu. Sudah pasti Felix yang meletakkannya di sana, agar tidak perlu repot-repot turun ke dapur yang ada di lantai bawah jika ingin membuatkan susu untuk Aiden.

Urusan susu sudah ditangani Felix yang sekarang sedang membuatnya. Jane langsung menghampiri box bayi dan menenangkan Aiden yang tengah menangis. “Felix, bisa cepat sedikit? Aiden menangis kencang sekali, aku jadi khawatir.”

Felix yang sedang menuangkan air panas dari termos ke dalam botol susu yang sudah diisinya dengan seperempat bubuk susu menoleh sesaat. “Peluk dia, itu akan membuatnya lebih tenang,” jawab Felix sambil kembali mengalihkan pandangan pada botol susu di tangannya.

Diperintahkan seperti itu, Jane langsung mengangkat tubuh mungil Aiden dengan hati-hati dan memeluknya. Jane mengelus punggung Aiden perlahan, berusaha membuatnya lebih tenang.

“Dia pasti sudah sangat kelaparan sampai menangis sekencang itu,” ujar Felix lagi.

Tangis Aiden sudah tidak sekencang tadi, hal itu membuat Felix menoleh ke arah Jane. Jane menggerakkan tubuhnya perlahan sembari mengelus punggung Aiden di pelukannya. Tanpa sadar Felix tersenyum melihat pemandangan itu. Kalau sudah seperti ini sifat keibuan Jane akan terlihat.

Perlahan Felix menghampiri Jane. Dia mengisyaratkan Jane untuk melepas pelukannya pada Aiden. Kini dia meminumkan susu yang telah dibuatnya pada Aiden yang berada di gendongan Jane. Aiden terlihat tenang dan meminum susunya dengan lahap. Felix mengelus keningnya perlahan, “Aiden, kamu pasti sudah sangat kelaparan.”

...***...

Aiden sudah kembali terlelap setelah menghabiskan susunya. Kini tinggallah Felix dan Jane yang tidak bisa kembali tidur. Jane duduk di meja makan, menunggu Felix yang sedang membuatkan cappucinno untuknya. Aroma kopi menguar dari coffee maker. Jane jadi terpikirkan lagi, apa Felix benar-benar seorang barista?

Felix menyajikan segelas cappuccino hangat di hadapan Jane, sedangkan secangkir latte untuk dirinya sendiri. Felix langsung menyeruput latte itu sambil memperhatikan Jane yang duduk di seberangnya. Gadis itu hanya menatap kosong pada cangkir cappuccinonya.

“Ada apa denganmu?”

Ucapan Felix membuat Jane mengangkat wajahnya. “Apa?”

Felix menurunkan cangkir lattenya. “Di mobil tadi juga kamu melamun. Kamu sedang memikirkan sesuatu?” tanyanya lagi. Matanya menatap lurus pada Jane.

Jane hanya balas menggeleng dan mengangkat gelas cappuccino-nya.

“’Apa tentang aku seorang barista?”

Jane hampir saja tersedak, untungnya cairan kopi itu belum menuruni kerongkongannya. Jane menatap lurus kepada Felix. Posisi mereka yang saling menatap saat ini sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di restoran waktu itu.

Apa pria ini benar-benar bisa membaca pikirannya?

“Kamu kecewa karena aku seorang barista,” Felix berujar lagi, tapi kali ini dia tidak menatap Jane. Dia menunduk sambil telunjuknya menyentuh tepian cangkir lattenya.

Jane menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Tidak, aku hanya.... bingung.”

Felix mengangkat wajahnya. “Bingung? Kenapa?”

“Aku bingung kenapa Papa menjodohkanku pada seorang barista padahal sebelumnya dia selalu menjodohkanku pada.... ah, sudahlah. Kita tidak perlu membahasnya. Dan aku tidak kecewa karena kamu seorang barista, kok.”

Bibir Felix mengatup rapat dan matanya masih menatap lurus pada Jane.

“Dan cappuccino ini enak sekali. Terima kasih,” ujar Jane lagi sambil tersenyum manis pada Felix.

Saat itu lah Jane melihatnya.

Jane melihat dengan jelas bibir pria itu tertarik sedikit. Ya, Felix tersenyum sedikit tadi.

Jane mengangkat kedua tangannya ke atas. “Aahh.. aku tidak menyangka seorang bayi akan membangunkanku pukul tiga pagi.”

“Begitulah. Mulai sekarang kita akan sering bergadang.” Felix menyesap lattenya lagi. “Kapan kamu akan mulai masuk kerja?”

“Lusa aku akan mulai bekerja.”

...***...

“Jane, airnya sudah siap.”

“Tunggu sebentar.”

Jane masih melepaskan satu persatu kancing baju Aiden yang sedang terlentang di atas kasur kamar utama. Tinggal melepaskan popoknya dan Aiden siap untuk mandi. Jane menggendongnya menuju Felix yang sedang berada di dalam kamar mandi.

“Kamu yang akan memandikan Aiden?” tanya Felix saat Jane sedang mengukur panas air dengan tangannya.

“Iya, kenapa?” sahut Jane dan mulai mengangkat tubuh Aiden.

Jane baru saja akan meletakkan Aiden ke dalam bak mandi bayi berwarna putih itu saat tangan Felix menghalanginya.

“Tunggu, kamu yakin?” tanya Felix dengan raut wajah cemas.

“Tenang saja, Mama sudah mengajariku cara memandikan Aiden,” jawab Jane sambil tersenyum tipis pada Felix. Felix pun menarik kembali tangannya dan mengangguk pelan. Akhirnya separuh tubuh mungil Aiden terendam di air hangat.

“Hati-hati,” ujar Felix sekali lagi.

Jane mulai memandikan Aiden. Ia benar-benar telaten memandikannya. Tangan kirinya memegang Aiden erat sedangkan tangan kanannya membasuh tubuh Aiden. Ia mengisyaratkan Felix untuk menuangkan sabun mandi bayi pada tangannya, dan Felix bergegas mengambilkan sabun khusus bayi itu. Jane menyabuni seluruh tubuh Aiden dengan perlahan, lalu Felix membantu membilas busa-busa di tubuh Aiden. Mereka saling bekerja sama walaupun Felix lebih banyak menonton dan menyuruh Jane untuk berhati-hati.

Tak lama kemudian Aiden pun selesai mandi. Jane mengangkat tubuh Aiden dan Felix dengan sigap segera mengambil handuk. Jane menyerahkan Aiden pada Felix yang telah menyiapkan handuk di pelukannya. Dia menggendong Aiden keluar dari kamar mandi dan menidurkannya di atas kasur. Kali ini giliran Felix untuk memakaikan Aiden baju.

Gantian sekarang Jane yang memperhatikan Felix. Felix mengambil baby oil dan menuangkannya ke atas telapak tangannya. Dia menepuk-nepukkan kedua tangannya lalu mengusapkan minyak itu ke perut Aiden, dadanya lalu ke kedua tangan mungil Aiden. Dia menuangkan baby oil lagi dan mengulangi hal seperti tadi lalu mengusap kedua kaki Aiden dari paha sampai telapak kaki. Selanjutnya dia mengambil bedak bayi, membubuhkannya ke atas telapak tangannya dan melakukan hal yang sama seperti saat memakaikan baby oil tadi.

Setelah itu Felix memasangkan Aiden pampers, celana, lalu kaus dalamnya. Terakhir dia memakaikan baju lengan panjang berwarna baby blue. Felix amat berhati-hati saat hendak memasukkan tangan mungil Aiden ke dalam bagian lengan baju bayi tersebut. Tak lupa penampilan Aiden dipermanis dengan kaus kaki berwarna senada dengan bajunya di kedua tungkainya.

“Wah, anak Mama tampan sekali,” seru Jane begitu Felix selesai mendandani Aiden. Felix hanya tersenyum sambil memandangi Aiden yang juga sedang memandangi mereka berdua.

“Ah, iya. Aku belum memiliki foto Aiden di ponselku.” Jane berbalik dan berjalan ke arah meja rias untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di sana. Dengan cepat Jane kembali dan mengarahkan kameranya pada Aiden yang kini terlihat tersenyum seakan mengerti dirinya akan di foto. Felix mundur dan berdiri di belakang Jane, memperhatikan layar ponsel gadis itu dan tersenyum melihat hasil foto yang sangat lucu.

Setelah mengambil beberapa foto, Jane mendudukkan dirinya di ujung kasur dan langsung membuka akun sosial medianya. Ia langsung mengganti foto profilnya dengan foto Aiden. Jane tersenyum puas memandangi foto profil barunya itu. Ia merasa sangat senang layaknya seorang ibu yang bangga memiliki anak yang tampan. Jane mengalihkan fokus dari ponselnya dan ia melihat Felix yang sedang mengajak Aiden bermain di atas kasur.

Aiden terlihat sedang memperhatikan Felix dan tertawa kecil ketika Felix mendekatkan boneka singa kecil hingga mengenai hidung Aiden, membuat Jane ikut tersenyum melihatnya. Felix menggembungkan pipinya dan menutup wajahnya seakan dia sedang bermain petak umpet dengan Aiden. Jane sudah memperhatikannya sejak tinggal bersama, Felix hanya akan bertingkah konyol kalau sudah menyangkut Aiden. Aiden terdengar tertawa girang saat Felix membuka wajahnya, saking girangnya kakinya pun turut menendang-nendang.

“Oh? Apa barusan Aiden menendang?” ujar Jane tidak percaya.

“Iya, bayi berumur tiga bulan memang sudah bisa menendang. Dia juga sudah bisa meraih mainan yang ada di hadapannya,” Felix mengambil boneka kecil lain dan mendekatkan sambil menggoyang-goyangkannya di depan wajah Aiden. Jane terkejut saat tangan Aiden terulur dan berusaha memegang boneka tersebut.

“Wah, anak Mama hebat,” Jane mengulurkan tangannya dan mencubit pelan pipi gembulnya.

Jane lalu berdiri dan mengangkat Aiden dari kasur. Ia menggendongnya dan mengayun-ayunkan perlahan Aiden di gendongannya. Namun hal itu malah membuat Aiden mengantuk. Telunjuk Jane menutup mulut Aiden yang menguap. “Aiden Sayang, kamu kelelahan sehabis bermain dengan Papa, ya?”

Felix yang sudah bangkit dari kasur dan sedang berjalan ke arah kamar mandi untuk menggantung handuk langsung menoleh ketika mendengar perkataan Jane.

Papa?

Benar, sekarang dia adalah seorang ayah. Dia adalah papanya Aiden.

Jane bergerak mendekati kasur, Aiden sudah terlelap di gendongannya. Jane meletakkan Aiden di atas kasur dengan hati-hati, lalu ia meletakkan dua guling di samping kiri dan kanan bayi mungil itu.

“Yah, Aiden tidur lagi.” Jane menghampiri Felix yang baru keluar dari kamar mandi.

“Bayi memang banyak tidur. Dia bisa tidur sampai lima belas jam dalam sehari,” jawab Felix sambil tersenyum tipis.

...***...

Jane lelah sekali hari ini. Rasanya seluruh tubuhnya remuk saat ini. Mendekati akhir bulan memang waktu tersial karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Terpaksa ia harus lembur padahal hari ini adalah hari pertama ia bekerja setelah menikah.

Begitu masuk ke dalam apartemen, Jane langsung naik ke lantai dua menuju kamar Aiden. Tadi pagi-pagi sekali ia sudah meninggalkan rumah karena ada panggilan mendadak dari kantor untuk datang lebih cepat. Aiden bahkan masih tertidur saat itu.

Jane membuka pintu kamar dan heran saat menemukan kamar Aiden kosong. Biasanya Felix tidur di single bed yang ada di dalam kamar Aiden. Jane juga sudah memeriksa box bayi dan tidak menemukan Aiden di dalamnya.

Di mana mereka berdua?

Jane beralih pada kamar di seberangnya. Dan benar saja, ia menemukan kedua orang itu sedang terlelap di atas ranjang. Ia melihat Felix yang tidur dengan lengan kirinya memeluk Aiden erat padahal sudah ada guling di sekeliling Aiden agar dia tidak jatuh. Aiden juga terlihat memiringkan tubuhnya dan setengah memeluk Felix. Tangan mungilnya berada pada dada papanya itu. Keduanya tertidur dengan wajah yang damai. Jane membelai pelan kepala Aiden, ia sangat merindukan Aiden seharian ini.

Kemudian matanya mengamati sosok pria di samping Aiden. Wajahnya saat tertidur benar-benar seperti anak kecil. Jane tertawa pelan. Ya, pria ini tidak menyebalkan kalau seperti ini.

‘Dia pasti lelah menjaga Aiden seharian.’

Tanpa sadar tangan Jane terulur dan menyingkap rambut yang menutupi kening pria itu. Benar-benar seperti anak kecil. Tenang, damai dan menyejukkan. Juga sangat tampan.

Ah, apa sih yang dipikirkannya. Sepertinya Jane terlalu lelah sampai berpikiran macam-macam. Sudahlah sebaiknya ia membersihkan diri lalu tidur. Jane hendak bangkit saat tiba-tiba lengannya ditarik, membuatnya jatuh terduduk lagi di ranjang. Tapi fatalnya kini ia berhadapan dengan wajah pria itu.

Apa dia membangunkannya?

Apa yang akan dia lakukan?

...----------------...

...- Aiden - ...

Terpopuler

Comments

Veronica Lee

Veronica Lee

papa yang baik banget

2023-03-26

0

Veronica Lee

Veronica Lee

indahnya

2023-03-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!