Love, Maybe

Love, Maybe

Chapter 1

...Akhirnya, aku akan bertemu dengannya hari ini.......

.......

.......

.......

Seorang gadis cantik tampak sedang berdiri sambil menatap ke luar jendela kantornya yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang sangat tinggi.

Tangan kanannya memegang satu gelas iced coffee, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang menempel di telinganya.

“Jadi, bagaimana, pak pengacara? Apa semuanya sudah beres?”

Ia diam sesaat, mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya di telepon.

“Kalau begitu, aku bisa menjemputnya hari ini, kan?”

“Baiklah, terima kasih banyak pak.” Senyum mengembang terpatri jelas di wajahnya.

Bagaimana tidak? Ia telah menunggu cukup lama, dan akhirnya saat yang ditunggu-tunggunya itu datang juga. Sumber kebahagiaannya akan datang hari ini. Ia menyeruput habis iced coffee yang tersisa di gelas dan membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di dekat meja kerjanya. Ia meraih tas tangannya dan segera meninggalkan kantor menuju tempat parkir.

Ia membawa mobilnya meluncur ke kawasan Jakarta Timur. Setelah berkendara kurang lebih 2 jam, mobil Lexus putihnya berhenti di depan sebuah gedung berukuran sedang dengan papan nama besar bertuliskan ‘Panti Asuhan’ di depannya.

Ia turun dari mobil dan dengan penuh semangat melangkah cepat ke dalam panti asuhan tersebut. Setelah tiba di dalam, ia langsung mendekati meja penerima tamu.

“Permisi mbak, saya ke sini untuk menjemput anak yang akan saya adopsi.”

“Atas nama siapa?” tanya seorang wanita muda yang sedang bekerja di balik meja penerima tamu sambil tersenyum ramah.

“Atas nama Jane Chandra.”

“Baik, sebentar ya, akan saya periksa dulu.” Wanita itu lalu berdiri dan menghilang di balik ruang administrasi yang terletak di belakang meja penerima tamu. Tak butuh waktu lama, wanita itu kembali ke balik meja.

“Ibu Jane Chandra.”

“Iya.” Jane langsung menatap wanita itu dengan senyum di wajahnya.

Wanita itu membaca sebuah berkas yang ada di tangannya dan sedikit mengernyit sebelum akhirnya menatap Jane dan mengatakan, “Maaf, tapi bayinya telah di jemput tadi siang.”

Giliran Jane yang mengetnyitkan keningnya.

“Apa? Sudah dijemput? Siapa yang menjemputnya?”

...***...

Jane memarkirkan mobilnya dengan asal di halaman sebuah rumah yang cukup besar. Ia bergegas keluar dan agak sedikit membanting pintu mobil saat menutupnya. Dengan langkah lebar, Jane memasuki rumahnya dengan tidak sabar. Senyum mengembangnya sudah hilang, digantikan dengan wajah yang cemberut dan memerah menahan amarah.

Jane kembali ingat jawaban dari wanita muda di panti asuhan tadi.

“Seorang pria paruh baya yang menjemputnya. Pria itu mengaku sebagai ayah anda, namanya Benny Chandra. Dia juga membawa surat dari pengacara anda."

Wajah Jane semakin cemberut. Ia masuk dan langsung disambut oleh seorang wanita paruh baya yang langsung membungkukkan badan sopan padanya. Jane berhenti berjalan dan langsung menodongnya dengan pertanyaan, “Dimana Papa?”

"Bapak ada di ruang keluarga, Non," jawab wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu rumah tangga di rumah mereka. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Jane langsung berjalan ke ruang keluarga di mana papanya berada.

Jane sampai di depan sebuah pintu kayu tinggi yang dibaliknya ada sebuah ruangan yang biasa mereka sebut ruang keluarga. Ia mendorong pintu dengan cepat dan langsung melangkah masuk. Seorang pria paruh baya sedang duduk di atas sofa kulit berwarna hitam. Seperti biasa, menyanding buku ekonomi bisnis tebalnya. Dia adalah Papa Jane.

“Papa,” sapa Jane sambil berusaha terdengar sopan.

“Kamu sudah datang rupanya.”

Jane mendengus pelan. Pasti papanya sudah merencanakan ini semua.

“Kalau kamu mau marah, marah saja. Tidak perlu berpura-pura menyapa sopan begitu. Ini tidak seperti dirimu,” dia berucap ringan di balik kacamata tebalnya. “Biasanya kamu sangat kritis dan pemarah.”

“Bagaimana bisa Pa—”

“Papa tidak mempermasalahkan lagi perihal kamu ingin mengadopsi anak. Tapi Papa tidak mau kamu melajang seumur hidup dan mengurusi anak yang bukan anak kandungmu.”

“Apa?”

Buku tebal itu sudah tidak lagi berada di depan hidungnya. Buku itu sudah di hempaskannya ke atas meja yang di samping kirinya. Kedua pupilnya kini menatap Jane dengan tajam dan serius.

“Papa tahu persis apa yang ada di kepalamu. Kamu berencana untuk tidak menikah, kan?”

Jane mendecak kesal.

Selalu saja begini. Jane benci mengakui kalau papanya selalu berhasil membaca apa yang ada di pikirannya.

“Kamu pikir Papa akan membiarkannya? Tidak. Ingat Jane, kamu adalah satu-satunya anak Papa.” Kata Papa dengan suara tegas.

Ya, dirinya memang anak tunggal, dan itu adalah fakta yang membuat Jane semakin kesal. Karena ia adalah satu-satunya.

Kedua mata papanya tidak lagi menatap Jane dengan tajam. Dia melepas kacamatanya dan mengelap lensanya dengan santai. “Kamu boleh merawat bayi itu. Tapi dengan satu syarat."

Oh, tidak. Jangan katakan.

“Kamu harus menikah terlebih dahulu.”

Yup. Hari yang buruk. Semua ekspektasi Jane berubah menjadi realita yang sangat-sangat menyebalkan.

“Kalau harus menikah, untuk apa aku mengadopsi bayi?” protes Jane tidak terima. Bagaimana bisa rencana yang telah ia susun sedemikian rupa sejak lama dihancurkan begitu saja oleh papanya.

“Papa tidak mau tahu. Sebelum kamu menemukan calon suami, bayi itu akan tinggal di sini, dan kamu tidak boleh menemuinya.”

“Papa!”

“Dan satu lagi,” Papa langsung memotong ucapan Jane. "Ada apa dengan warna rambutmu?"

Jane langsung menoleh pada rambut ungunya yang tergerai di bahu, yang baru saja ia warnai minggu lalu.

"Cepat cat kembali rambutmu itu."

...***...

Tidak mudah mencari calon suami mengingat fakta bahwa Jane telah memiliki seorang anak.

Kenapa sulit?

Karena Jane tidak memberitahu mereka kalau anaknya itu adalah anak adopsi. Ia berbicara dan bertingkah seakan-akan dirinya adalah gadis berusia dua puluh lima tahun yang belum pernah menikah namun sudah memiliki satu orang anak. Tak jarang para laki-laki yang ditemuinya terkejut mendengarnya. Tapi Jane melakukan ini demi kebaikan anaknya. Ia ingin mendapatkan suami yang tulus menerima dirinya yang telah memiliki anak, sehingga mereka akan menyayangi anaknya itu seperti anak mereka sendiri. Karena Jane tahu tak sedikit laki-laki yang hanya berlaku manis di depan saja. Dan ia tidak mau jatuh ke tangan laki-laki semacam itu.

Hari demi hari berlalu, dan Jane semakin frustasi karena papanya mulai mencercahnhya dengan berbagai kata-kata, seperti:

“Batas waktunya akhir bulan ini, berarti minggu depan. Kalau tidak, Papa akan kembalikan lagi bayi itu ke panti asuhan.”

Atau.....

“Apa saja yang kamu lakukan, sih?”

Entahlah, mana mungkin Jane menceritakan semua yang ia katakan pada setiap calon suaminya itu kepada papanya. Bisa-bisa semua akan semakin runyam.

“Cepat ganti pakaianmu dan bersiap-siaplah.”

“Lagi?” Jane menatap papanya dengan tatapan malas.

“Ini untuk terakhir kalinya. Papa hanya ingin membantumu. Jangan kecewakan Papa lagi.” Jawab Papa tegas.

“Baik, aku mengerti.” Jane menunduk lemas dan berlalu untuk bersiap-siap. Ia menghela napas berat, entah laki-laki macam apa lagi yang harus dihadapinya kali ini.

...***...

Pukul empat sore, Jane telah berdiri di depan sebuah restoran besar di kawasan Jakarta Selatan. Restoran yang telah menjadi tempat yang rutin ia kunjungi seminggu sekali karena Papa selalu mengatur pertemuan dengan setiap laki-laki pilihannya di sini. Jane sampai bosan harus datang ke sini.

Sekali lagi Jane mengecek penampilannya pada pintu kaca yang ada di hadapannya. Saat ini ia mengenakan dress selutut berpotongan simple dengan warna broken white dipermanis dengan bolero berwarna hitam. Rambut panjangnya yang telah ia cat cokelat di gerai dengan elegan. Tak lupa ia melengkapi penampilannya dengan sepatu heels berwarna senada dan tas tangan hitam bermerek Dior.

Penampilannya sudah cukup menunjukkan kalau dirinya berasal dari kalangan berada. Karena semenjak kemarin setiap laki-laki yang diatur oleh papanya kebanyakan adalah seorang CEO atau pewaris perusahaan keluarga. Jane tidak punya pilihan lain selain menerimanya.

Semoga saja hari ini berhasil, walaupun tipis harapan laki-laki yang akan ditemuinya itu mau menerima dirinya.

Hanya satu motivasi yang membuat Jane tetap melakukan semua ini. Karena ia ingin cepat-cepat bertemu dengan bayi yang diadopsinya.

Jane menarik napas dalam sebelum akhirnya mendorong pintu dan memasuki restoran tersebut.

...----------------...

...- Jane -...

Terpopuler

Comments

Bintang Ray234🌸🌸

Bintang Ray234🌸🌸

Semangat terus buat kaka dan juga sukses buat karya karya kaka yang lainnya ya🙏🌸🌸

2023-03-20

1

Mei

Mei

Bagus ceritanya. Bahasa ringan mudah dimengerti. Semangat

2023-03-14

3

Lika Wibowo

Lika Wibowo

bagus banget ceritanya kak, yuk semangat yuk aku padamu kak thor 🤩

2023-03-09

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!