Hari minggu sore, Felix datang ke kediaman keluarga Jane untuk melihat anaknya sekaligus menemui kedua orangtua Jane dan membicarakan soal pernikahan mereka.
Papa terlihat begitu senang menyambut kedatangannya. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama akhirnya ada juga laki-laki yang melamar anaknya. Mereka mengobrol panjang lebar dan Papa tidak henti-hentinya tersenyum senang. Felix juga tidak sedingin saat pertama kali makan malam bersama Jane tiga hari yang lalu. Papa baru melepaskan Felix saat Jane mengatakan bahwa laki-laki itu ingin melihat anaknya.
Mereka pun naik ke lantai dua. Felix menunggu di ruang duduk lantai dua sementara Jane masuk ke kamar. Tidak lama kemudian Jane keluar sambil menggendong seorang bayi mungil yang dibalut selimut berwarna baby blue. Jane mendekat ke arah Felix dan duduk di sebelahnya.
“Ini anakku. Dia laki-laki, dan namanya Aiden,” ujar Jane sambil menunjukkan wajah Aiden kepada Felix. Felix tertegun sesaat.
“Boleh aku menggendongnya?” tanya Felix tanpa mengalihkan pandangannya dari Aiden.
“Iya, tentu.” Jane memberikan Aiden ke pelukan Felix.
Felix terus memandangi wajah tertidur Aiden lekat-lekat. Kemudian sebuah kurva tercipta di parasnya. Laki-laki yang Jane anggap sedikit dingin itu tersenyum. Ya, barusan dia tersenyum. Jane melebarkan matanya. Ini pertama kalinya dia melihat laki-laki itu tersenyum tulus sejak bertemu dengannya tiga hari.
‘Dia bisa tersenyum juga,‘ batin Jane.
Felix mencium kening Aiden dengan sangat hati-hati. Dan Jane tertegun sesaat. Kenapa pemandangan ini sangat… indah. Seakan-akan Felix adalah seorang ayah yang baru pertama kali bertemu dengan anaknya. Dan tanpa disadarinya, sebuah senyum tipis terbentuk di bibir Jane.
...***...
Jane bersedekap, menatap tiga gaun pengantin yang terpampang di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di butik untuk memilih gaun pernikahannya. Ia kemudian berjalan mengintari tiga gaun tersebut sambil memperhatikan setiap detail yang ada di gaun.
Jane berhenti di depan satu gaun berwarna broken white berlengan pendek dengan potongan kerah lebar dengan hiasan bunga-bunga putih di keselurahan bagian atas gaun tersebut.
“Sepertinya yang ini saja. Bagaimana menurut kalian?,” ujar Jane sambil menatap dua orang petugas wanita yang ada di hadapannya.
“Pilihan yang bagus, Nona Jane. Gaun ini pasti akan terlihat sangat cantik dipakai oleh Anda,” jawab salah satu petugas wanita itu sambil tersenyum ramah dan mengangguk.
Jane ikut tersenyum. "Oke, aku pilih yang ini saja."
Petugas wanita itu langsung mengambil gaun yang Jane pilih dan memberikannya kepada petugas yang satunya untuk dibawa ke ruang ganti.
"Anda bisa kembali ke ruang ganti dulu. Saya akan mempersiapkan dress ini untuk dicoba terlebih dahulu," kata petugas itu sopan. Jane mengangguk dan berjalan keluar dari ruang penyimpanan.
“Sudah dapat gaunnya?” Tanya Felix begitu melihat Jane keluar. Jane mengangguk dan mendudukkan dirinya di samping Felix yang sedari tadi menunggunya memilih dress di ruang ganti.
Tak lama kemudian petugas wanita yang tadi muncul dari balik tirai partisi berwarna cokelat tua yang ada di dalam ruang ganti ini. Jane langsung berdiri dan mengikuti petugas tersebut.
Tidak butuh waktu lama untuk mengenakan gaun tersebut, karena memang gaun yang dipilih Jane ini tidak memiliki desain yang rumit dan ternyata sangat pas di badannya, tidak terlalu sempit namun tidak kedodoran juga.
Setelah selesai dan memastikan gaunnya sudah terpakai dengan rapi di depan cermin satu badan hadapannya, Jane tersenyum puas.
Petugas tersebut langsung menekan satu tombol kecil yang ada di dekat cermin dan tirai langsung membuka secara otomatis, memperlihatkan Felix yang sedang duduk di sofa sambil membaca satu majalah fashion di tangannya.
Felix mendongakkan kepalanya dan dia tertegun sesaat. Felix menatap Jane yang ada di hadapannya tanpa berkedip, lalu satu senyuman muncul di wajahnya.
"Bagus sekali. Gaunnya sangat cocok denganmu," ujar Felix masih tersenyum.
Jane merasakan pipinya agak panas. Ia langsung menunduk, dan berpura-pura sibuk membetulkan bagian bawah gaunnya, berharap semoga saja wajahnya tidak memerah.
...***...
Felix mengendarai mobil BMW hitamnya keluar dari parkiran butik. Jane duduk di sebelahnya sambil menatapi satu buku catatan kecil yang ada di tangannya.
“Semuanya sudah, kan?” Felix melirik Jane sekilas lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Jane mengangguk sambil menutup bukunya. Seharian ini mereka sibuk mengurus segala hal untuk acara pernikahan mereka yang akan diadakan dua minggu lagi. Mereka sudah menyewa gedung, memilih tema pernikahan, warna bunga, hidangan yang akan disajikan serta gaun pengantinnya.
"Aku tidak menyangka kalau mempersiapkan pernikahan bisa semerepotkan ini," ujar Jane sambil mencebikkan bibirnya.
Felix tersenyum mendengar ucapan Jane. Dia melirik jam di dashboard mobilnya. Sudah pukul setengah tujuh sore.
“Bagaimana kalau kita makan malam dulu sebelum aku mengantarmu pulang kerumah?” Tanya Felix sambil melirik ke arah Jane.
"Boleh. Memilih gaun pengantin membuatku sangat lapar," jawab Jane sambil mengangguk setuju. Felix lagi-lagi tersenyum mendengar ucapan Jane.
...***...
Jane dan Felix jalan bersisian di sekitar kawasan Jalan Sudirman. Mereka sudah selesai makan malam dan memilih untuk berjalan-jalan sebentar sebelum kembali kerumah. Keduanya kelihatan lelah dan diliput kebisuan. Saking kelelahannya membuat Jane terus menunduk. Felix menariknya saat seorang pemuda nyaris saja menabraknya.
“Hati-hati.” Kata Felix pelan. Jane tersenyum kecil melihat perlakuannya.
“Felix, ada yang ingin aku tanyakan," kata Jane akhirnya. Pemuda jangkung itu berdeham menanggapinya.
“Kenapa kamu mau menikah denganku?”
Langkah Felix terhenti, begitu juga dengan Jane.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku hanya... ya... penasaran. Karena ini tidak seperti kita menikah karena saling mencintai.” Jawab Jane. Felix kembali berjalan, membuat Jane harus kembali menyesuaikan langkah.
“Karena... anakmu lucu?”
Jane menatap Felix heran. “Aiden bukan satu-satunya bayi yang lucu di dunia ini, kan? Apa mungkin kamu akan menikahi ibunya karena anaknya lucu?” cibir Jane. Felix tersenyum kecil menyadari jawaban bodohnya.
“Begini saja, anggap saja kita saling membutuhkan.”
Jane terdiam dan menatap ke arah Felix.
“Aku butuh pendamping dan kamu butuh seorang ayah untuk anakmu, dan juga karena papamu.” Felix melirik Jane dan tersenyum tipis.
Ah, begitu maksudnya. Tapi tetap saja, bagaimanapun juga mereka akan menikah sungguhan.
“Tapi,” Jane menggantung kalimatnya. Masih ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Apa lagi?” jawab Felix masih sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan gadis itu.
“Aku harus menyesuaikan diri dulu. Iya, kita akan menikah. Tapi aku belum bisa.....yah, kau tahu.”
Felix menghentikan langkahnya lagi, membuat gadis itu juga melakukan hal yang sama. Tangannya terangkat menyentuh pundak Jane, dibaliknya tubuh gadis itu menghadapnya. Matanya bertemu dengan mata cokelat gadis itu.
“Jane, hal itu bukanlah tujuanku menikah denganmu. Jadi aku tidak akan memaksamu. Lakukan saja apa yang membuatmu nyaman.”
Jane menatap Felix datar, lalu sebuah senyum merekah di bibirnya.
...***...
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga.
Hari ini, Jane telah resmi menjadi istri seorang Felix Setiawan. Mereka baru saja mengucap janji suci di hadapan pastur, kedua orangtua Jane serta puluhan tamu undangan lainnya.
Seorang gadis pembawa bunga membawakan sepasang cincin yang akan mereka kenakan. Felix hari ini tampak gagah, mengenakan setelan serba putih dengan dasi berwarna cokelat, serta sepatu hitam yang tampak mengkilap. Rambutnya disisir rapi, benar-benar terlihat sangat tampan. Jane melihat papa dan mamanya yang terus tersenyum sumringan. Mereka benar-benar senang mendapat menantu yang gagah seperti Felix. Felix memakaikan cincin berhias batu Swarovski itu pada jari manis Jane, begitu juga sebaliknya. Para hadirin bertepuk tangan seusai mereka saling bertukar cincin. Jane masih memasang senyum menawannya sampai sang pastur mengatakan.
“Sekarang kamu dapat mencium pengantinmu.”
Senyum Jane sontak luntur tergantikan ekspresi panik. Jane tidak memperkirakan hal ini. Felix memang baik, dan dia sekarang merupakan suaminya. Tapi berciuman? Jane belum siap.
Jane semakin panik saat Felix memajukan wajahnya.
“F-Felix,” lirihnya.
Felix hanya tersenyum, tak menanggapi kepanikan istrinya itu. Papa Jane masih bertepuk tangan senang di bangkunya. Tidak sabar melihat kedua pasang pengantin baru itu menunjukkan bukti cinta mereka.
Dan kini wajah mereka berdua hanya berjarak satu mili. Jane tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ia menutup matanya dan berharap semua secepatnya berakhir.
Para hadirin bersorak dan bertepuk tangan melihat pemandangan di hadapan mereka. Meninggalkan Jane yang mengerutkan keningnya kebingungan.
Sudut bibir.
Felix tidak mencium bibirnya, tapi hanya sudut bibirnya.
...***...
Sederetan acara pernikahan mereka sudah selesai. Jane dan Felix kini sudah berada di rumah baru mereka. Sebuah apartemen mewah yang terletak di Jakarta Selatan. Tidak hanya upacara pernikahan, resepsi pernikahan pun menguras tenaga mereka berdua. Jane masih ingat bagaimana tadi Felix meminta maaf karena telah menciumnya. Padahal pria itu juga sudah mengerti dengan tidak mencium bibirnya.
Setelah berganti pakaian, kini saatnya mereka akan beristirahat.
“Kamarnya hanya ada dua, satu untuk Aiden dan satu lagi untuk… kita,” ujar Felix sambil memperlihatkan dua kamar, kamar yang agak kecil untuk Aiden dan yang besar untuk…mereka berdua.
Sejenak mereka menatap canggung satu sama lain. Felix kemudian berdeham untuk menetralisir suasana.
“Kamu kelihatannya lelah, hari ini biar aku tidur bersama Aiden. Kamu tidur saja di kamar,” ujar Felix.
Di kamar Aiden terdapat sebuah single bed yang memang disediakan jika Jane harus tidur bersama Aiden atau untuk Aiden kalau sudah agak besar nanti. Jane mengangguk canggung. Kamar Aiden dan kamar utama terletak berhadapan.
“Selamat malam,” ucap Felix sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar Aiden.
“I-iya, selamat malam.”
...***...
Mentari bersinar terang, cahaya kekuningannya masuk ke celah-celah jendela kamar utama. Membuat suhu kamar menjadi hangat. Jane menggeliat di atas kasur king size nya. Ia lalu terduduk, masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Jane bangkit dan berjalan menuju kamar Aiden. Namun alangkah terkejutnya Jane saat menemukan box bayi di kamar itu dalam keadaan kosong.
Oh apakah dia ceroboh lagi? Dimana dia lupa meletakkan Aiden?
Jane segera menuruni tangga menuju lantai satu. Sepi. Tidak ada siapa pun di ruang tamu ataupun di dapur. Tapi kemudian Jane merasa ada yang aneh.
Dia ada dimana?
Sibuk berkecamuk dengan pikirannya membuat Jane tidak mendengar suara pintu luar terbuka. Felix masuk sambil mendorong kereta bayi.
“Kamu sudah bangun rupanya,” ujar Felix dan itu mengejutkan Jane.
Astaga, Jane baru ingat kalau sekarang dia tidak sendirian, dia sudah memiliki suami.
“K-kamu darimana?” tanya Jane sambil berusaha menutupi rasa kagetnya.
“Aku habis mengajak Aiden jalan-jalan pagi.” Felix menenteng beberapa kantong plastik ke arah dapur.
“Kamu mau sarapan apa?”
Jane mengikuti Felix ke dapur. “Kamu bisa memasak?”
“Iya, memangnya kenapa? Oh iya, tadi aku mampir ke minimarket dan membeli susu dan telur. Sepertinya omelette cukup untuk sarapan.”
Jane menatap Felix heran. Dia itu seorang suami atau pembantu sih? Pagi-pagi dia sudah membawa Aiden jalan-jalan dan sekarang dia akan membuat sarapan juga. Jane menggaruk lehernya yang tidak gatal.
Jane pun berjalan mendekat dan membantu Felix menyiapkan sarapan pagi. Sambil makan, mereka berencana untuk membeli kebutuhan Aiden dan beberapa perlengkapan rumah. Setelah selesai sarapan, mereka langsung bersiap-siap dan meninggalkan rumah menuju supermarket.
Mereka masuk ke supermarket dengan Jane yang menenteng satu tas berisi perlengkapan bayi dan mendorong kereta bayi, sementara Felix mendorong troli.
"Sini, berikan tasnya padaku," kata Felix sambil meraih tas yang ditenteng Jane. Dia kemudian meletakkan tas itu di dalam troli yang ia dorong. Mereka menyusuri setiap lorong dan memilih-milih apa yang akan mereka beli.
“Ini dia, di sini tempat pampersnya.”
Jane berdeham sambil mengamati satu-persatu merk pampers di hadapannya.
“Hmm, yang ini saja.” Jane mengangkat sekantung pampers dan menunjukkannya pada Felix yang mendorong troli di sebelahnya.
“Hei, Aiden itu baru saja lahir. Beli yang ukuran baru lahir atau S, bukan yang ini,” protes Felix di sebelahnya.
Jane merapatkan bibitnya dan kembali mengamati merk-merk pampers yang ada di rak. “Beli yang ukuran S… ” gumamnya.
“Ah, ini dia. Ukuran S.” Jane hendak mengambil pampers itu saat terdengar protes lagi dari Felix.
“Jangan beli yang itu.” Felix maju dan ikut mengamati rak. "Ini. Iya, beli yang ini. Pampers ini bahannya dua kali lebih lembut. Kita ambil yang isinya 100.” Felix mengambil pampers dengan merek yang berbeda dengan pilihan Jane.
“Selanjutnya, botol susu.” Jane tertarik dengan botol susu berwarnya biru muda dengan hiasan gajah di tutupnya.
“Jangan, yang ini saja. Karetnya lebih lembut untuk mulutnya.” Felix mengganti botol di tangan Jane dengan botol susu berwarna putih. Dengan terpaksa Jane meletakkan botol susu itu ke dalam troli mereka.
Selanjutnya mereka menuju bagian susu bayi.
“Susunya—”
“Iya, aku tahu. Beli susu untuk bayi baru lahir, kan?” ujar Jane menyela. Dia kesal disalahkan terus dari tadi. Jane mengamati merk susu itu satu-persatu. “Ah, ini dia. Kita ambil yang—”
“Tunggu dulu.”
Felix menyambar kaleng susu di tangan Jane. Dengan teliti dia membaca kandungan dari susu formula tersebut.
“Ah iya. Apa kamu sudah membawa Aiden ke dokter?” tanya Felix.
“Belum.”
“Kita harus memastikan apakah Aiden alergi protein susu sapi atau tidak.” Felix kembali membaca kandungan di label susu tersebut.
“Apa sebaiknya kita membeli susu kedelai saja?”
“Besok aku akan membawanya ke dok—”
“Tidak bisa begitu. Nanti kalau Aiden lapar bagaimana?”
“Felix, Aiden tidak alergi protein. Dia sudah tinggal di rumahku dan mamaku telah memberikannya susu formula. Pihak panti asuhan juga pasti akan memberitahukanku kalau Aiden memiliki alergi ataupun penyakit lainnya. Lagipula, kenapa daritadi kamu yang mengatur kebutuhan Aiden?”
Srek.
Sesuatu terjatuh dari tangan Felix. Dia menatap Jane dengan wajah datar. Jane langsung menunduk dan melihat ternyata yang jatuh adalah sebuah notes kecil. Tubuh Felix menegang saat Jane menunduk untuk mengambil notes itu.
Jane membaca deretan kata yang tertulis pada notes itu. Susu formula, pampers, botol susu, selimut…ini semua adalah kebutuhan bayi. Ini untuk Aiden?
“Kamu mencatat ini semua?” tanya Jane sambil mendongak menatap Felix tidak percaya.
“Kembalikan notes itu.” Felix berusaha merebut notes itu tapi Jane lebih pintar mengelak.
“Tunggu. Kamu mencari tahu dan menyiapkan daftar ini?” Jane masih memburunya dengan pertanyaan. “Mamaku kan sudah pernah berbelanja untuk Aiden. Harusnya kamu bertanya saja pada Mama—”
“Sudahlah, kita masih harus membeli pakaian bayi. Jangan membuang-buang waktu,” ujar Felix gusar dan berlalu mendorong trolinya meninggalkan Jane.
Jane tertawa kecil. Ia menunduk menatap Aiden yang sedang tertidur pulas di dalam kereta bayi.
"Aiden, sepertinya kamu mendapatkan seorang Papa yang perhatian," ujar Jane pelan. Ia lalu mendorong kereta bayinya dan berusaha mengejar Felix yang sudah menjauh.
...----------------...
...- Felix & Jane -...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
FT. Zira
cerita yang menarik. simpan sini dulu ya, bacanya nanti, ninggalin jejak dulu.
semangat berkarya kak😁
2023-04-09
1
Julia
wah ngebet x mrk nikahnya 2 minggu aja wkt persiapannya pasti kerepotan bgt tuh😁😁
2023-03-31
0
Debora Sianturi
nextt kak jng lupa mampir yaa
2023-03-20
1