Kicau burung menyapa pagi yang mendung. Menggugah semangat para penikmat lelap. Sudah pukul tujuh pagi, Adrian masih terjaga. Renata mengetuk pintu kamar putranya tersebut.
"Adrian? Hari ini kamu berangkat sekolah, kan?"
Tidak terdengar sahutan dari Adrian. Meski sayup-sayup Adrian mendengar suara mamanya, tapi ia enggan menyahut. Ia masih nyaman berada di bawah selimut tebal.
"Adrian? Nanti kamu terlambat ke sekolah, Nak?"
Adrian masih bergeming. Lagipula ia sudah berniat untuk membolos sekolah. Perasaan duka masih menyelubungi hatinya. Terpukul. Mungkin, rasa itu yang tepat untuk menggambarkan suasana hatinya.
"Oke, terserah. Mama cuma mau ingatkan lagi. Percuma kamu bersedih hati terus menerus. Orang yang sudah mati tidak akan kembali lagi, Adrian. Camkan itu!"
Renata beranjak menjauh dari kamar Adrian. Ia menuju meja makan. Suami dan putra bungsunya sudah menunggunya untuk sarapan pagi.
"Di mana Adrian, Ma?" tanya Rudi—suami Renata.
"Masih tidur," jawab Renata sembari duduk.
"Dasar anak pemalas!" gerutu Rudi kesal.
"Ya, sudah, mari kita sarapan. Ayo, Sayang, makanlah dulu. Biar di sekolah kamu tidak lemas." Renata mengelus rambut Reyhan—putra bungsunya—yang duduk di sebelahnya.
Reyhan baru berusia lima tahun, tapi dia sangat rajin dalam urusan bangun pagi dan belajar. Cowok manis yang tidak kalah ganteng seperti kakaknya itu terbilang cerdas. Ia baru menginjak lima tahun dan bersekolah di sebuah TK swasta favorit di kotanya. Sifat kedua putra itu sungguh berbeda jauh. Itulah sebabnya, Rudi seringkali membanding-bandingkan antara Adrian dengan Reyhan.
***
Jenny sudah siap berangkat ke sekolah diantar sopir pribadinya. Ia pun berpamitan kepada papa dan mamanya. Setelah itu, ia masuk ke mobil. Mobil pun segera melaju menuju sekolah tempat Jenny menimba ilmu.
Suasana pagi yang mendung, membuat Jenny berkali-kali menguap. Seandainya hari ini libur, tentu Jenny masih bisa bermanja-manja di bawah selimut. Gadis remaja imut itu menyandarkan kepalanya di jok mobil. Ia pejamkan matanya sejenak.
Ah, rasanya aku ngantuk banget.
Tak terasa Jenny benar-benar tertidur. Padahal baru lima menit mobil melaju. Hawa dingin menelusup masuk ke tubuhnya. Bersamaan dengan itu, terasa lehernya seperti ada yang meniupi. Jenny membuka kelopak mata, menoleh kaca mobil yang tertutup rapat.
Ia elus leher dan tengkuknya. Merasakan ada sesuatu yang aneh.
Tadi itu ... seperti ada yang meniup leherku. Apa perasaanku saja, ya?
"Ada apa, Non?" tanya Sapto yang memperhatikan Jenny dari spion tengah kabin.
"Apa Pak Sapto menghidupkan AC mobil?" tanya Jenny.
"Tidak, Non. Saya tidak menghidupkannya. Kenapa memangnya, Non?"
"Tidak apa-apa, Pak."
Aneh. Apa perasaanku saja, ya?
Entah mengapa Jenny sangat mengantuk. Kedua mata sipitnya kembali terpejam. Langit hitam seolah menghipnotis insan untuk terus menguap.
"Jenny ... Jenny ...." Suara lembut mendayu-dayu menyebut namanya.
Jenny terbelalak kaget melihat sesosok makhluk dengan wajah bersimbah darah sudah duduk di sebelahnya.
Jenny berteriak keras, tapi anehnya, mulut Jenny tak bersuara sedikit pun. Karena panik, ia pun menggerakkan tangannya untuk menyentuh pundak Pak Sapto. Akan tetapi, tangannya tiba-tiba terasa begitu berat. Dipanggilnya nama 'Pak Sapto', tetapi bibirnya tetap tak bersuara.
Sedangkan gadis berwajah penuh darah itu mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Jenny. Tatapan mata itu sangat mengerikan. Membuat keringat dingin Jenny bercucuran. Tubuh Jenny gemetar, ia tak dapat berkutik. Entah apa yang terjadi. Tubuhnya hanya mematung. Berkali-kali ia mencoba berteriak, tetapi gagal. Seperti ada yang menahan pita suaranya.
"Jenny ... ini aku ...." Sosok menakutkan itu menyentuh pundak Jenny.
Menjauhlah! Jangan sentuh aku!
"Jenny ... aku merindukanmu ...." Pelan-pelan makhluk itu mengusapkan jemarinya ke wajah Jenny.
Jangan sentuh aku! Pergi!!
Jenny hanya dapat berteriak di dalam hati. Perasaan takut menikam dirinya kuat-kuat. Hingga kemudian terasa pundaknya ditepuk-tepuk, baru ia tersadar.
"Jangan sentuh aku! Pergi!" Spontan Jenny membuka kedua kelopak matanya.
"Non, ini saya." Pak Sapto yang baru membukakan pintu, menatap keheranan.
Jenny menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. Jantungnya berdetak kencang. Ia usap keringat dingin di keningnya.
"Non, mimpi, ya?" Pak Sapto yang sudah berdiri di samping pintu mobil masih menatapnya bingung.
Ah, syukurlah. Hanya mimpi.
"Iya, Pak. Tadi itu Jenny mimpi buruk."
"Makanya, Non, kalau mau tidur itu berdoa dulu."
"Tadi itu rasanya mengantuk sekali, Pak."
Rintik-rintik hujan mulai turun. Langit semakin menggelap, diiringi suara petir yang menggelegar. Byur! Turunlah pasukan air semakin deras. Sopir pribadi tersebut segera mengambil payung dan memberikan kepada nona mudanya.
Jenny berjalan dengan payung yang menaungi tubuhnya. Sesampainya di koridor sekolah, ia letakkan payung tersebut, lalu kembali berjalan menuju kelas. Beberapa murid ada yang basah kuyup terkena hujan.
"Hei, gadis sok imut!" Seorang siswi menghadangnya di depan pintu kelas.
Jenny menghela napas kasar, enggan menanggapi Serena. "Minggir!"
"Wow, sombong sekali!" Serena berjalan maju dan mendorong bahu Jenny. Sehingga membuat Jenny sedikit terhuyung, tapi tidak jatuh.
"Apaan, sih, Ser? Enggak usah cari gara-gara, deh!" ucap Jenny kesal.
"Aku cuma mau bilang, sekarang, sudah tidak ada lagi Hanaya, si cewek sok kecantikan itu. Jadi, apa kita perlu mengadakan pesta?" ucap Serena dengan bibir menyeringai.
Jenny mulai emosi. "Kamu tega banget, sih, Ser. Apa enggak ada sedikit pun nurani dalam benakmu?"
"Hello, Jenjen. Kematian Hanaya itu bikin aku bahagia banget, tahu? Aku enggak perlu susah payah nyingkirin gadis miskin itu lagi. Sudah tidak ada saingan untuk mendekati Adrian, bukan?"
"Bisa-bisanya ada manusia sepicik kamu, Ser!"
Jenny balas mendorong Serena. Hingga Serena hampir terjatuh. Kemudian Jenny berjalan masuk ke kelas. Namun, tiba-tiba seorang siswi yang berdiri di dekat bangku Jenny, dengan sengaja menyandung kaki Jenny hingga terjatuh.
Suara tawa riuh menggema di kelas 11A. Jenny meringis kesakitan memegangi lututnya. Sedangkan gadis yang mengusilinya tadi menghampirinya sembari tersenyum puas.
"Itu belum seberapa. Aku masih ingin membalas perlakuanmu waktu itu!" ancam Rosi—sahabat karib Serena.
-- BERSAMBUNG --
_____________________________________________
Hai, Readers Kece ...?
Jangan lupa Like, Coment, Vote, And Kasih Bintang Lima, ya?
Pasti banyak pertanyaan kalian yang belum terjawab, ya?
Ini masih teka-teki. Di episode selanjutnya akan terkuak satu per satu misteri di balik kematian Hanaya.
Boleh menebak-nebak, kok?
Thank you ...!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
NurHafni
Msh blm bs nebak2 Thor...msh bingung...kok Sahabat sendiri di datengin sm Naya dgn wujud menyeramkn gt...psti takutlh si Jenny.
2020-12-11
3
Sumiyati
utk skr aku komen lanjut aj ya thor, blm da yg bkin aku bertanya" soalnya
2020-07-04
1
~Greentea~
Hai kaka aku mampir lagi nih kekaryamu yang luar biasa. Jangan lupa mampir dan Feedback balik ya. Like dan komennya ditunggu ya kaka...
2020-06-09
1