Malam yang dingin. Angin berembus lebih kencang daripada biasanya. Seakan tengah meniupkan kehidupan baru untuk kematian yang awal. Suara penghuni malam menambah sensasi mencekam. Mengirimkan aroma mistis ke dunia yang gelap gulita.
Sesosok kepala muncul dari bawah air sungai. Wajah bersimbah darah, dengan kepala pecah, dan mata mengerikan. Mata itu berisikan dendam. Pancaran aura yang terasa mematikan. Seolah ingin memangsa sesuatu. Perlahan tubuhnya naik. Mengekspos seragam sekolah putih abunya. Kaki itu berjalan di atas permukaan air.
***
Purwati tengah menangis di kamar yang biasa ditempati Hanaya. Entah sudah berapa banyak air yang ia tumpahkan dari kedua netra tuanya. Purwati masih belum bisa melepaskan putri tercintanya. Diraihnya sebuah foto berbingkai dari atas meja. Meski kedua matanya tidak mampu melihat begitu jelas, tapi ia masih dapat melihat Hanaya tersenyum ceria sambil menggendong Adelia. Sedangkan Randi merangkul Hanaya sembari tersenyum lebar. Ketiga buah hatinya itu adalah penyemangat hidup. Sayang, satu yang paling membuatnya banyak berharap telah pergi.
Saat Purwati mengusapkan jemarinya ke arah foto Hanaya, tiba-tiba saja wajah Hanaya berubah. Purwati kaget karena kedua matanya yang buram dapat melihat jelas sosok putrinya itu menangis, mengeluarkan darah dari kedua belah matanya.
Purwati segera mengucek matanya, seakan sedang mencari adakah yang salah dengan kedua matanya? Ia kerjapkan matanya beberapa kali. Gambar mata berdarah itu pun lenyap, kembali seperti semula.
Benar, kupikir kedua mataku yang tidak beres.
***
Sedangkan di kamar, Adrian masih mengurung diri. Ia tak mau makan apapun. Hingga mamanya menghampiri putra pertamanya itu sembari membawa makanan.
"Sayang, ayo makan dulu. Mama sudah buatkan makanan kesukaanmu." Renata—mamanya Adrian—duduk di tepi ranjang.
"Aku tidak lapar, Ma." Adrian tetap berbaring, tanpa menoleh makanan yang Renata bawakan.
"Adrian, mau sampai kapan kamu begini? Kamu akan sakit bila tidak makan. Bangunlah, dan makanlah ini," ucap Renata lembut.
Adrian tidak menjawab. Ia malah merubah posisi tubuhnya, membelakangi mamanya.
Renata menghela napas panjang. "Mungkin ini adalah takdir yang digariskan Tuhan untukmu, Adrian. Mama sudah pernah melarang kalian berhubungan, tetapi kamu tetap kekeuh. Akhirnya, dengan cara ini kalian bisa berhenti berhubungan," ucap Renata, kali ini dengan nada sedikit kesal.
Ya, Renata memang tidak pernah menyukai Hanaya. Baginya, gadis miskin itu tidak pantas berpacaran dengan putranya. Jadi, kematian Hanaya, justru membawakan angin segar bagi Renata.
"Mulai sekarang, berhentilah memikirkan gadis itu. Kamu masih punya kehidupan, Adrian. Masih banyak gadis cantik yang mengantri untuk menjadi pacarmu. Lagipula, tidak ada gunanya memikirkan orang yang sudah mati!"
Adrian tidak menanggapi. Ia hanya mengepalkan kedua tangan. Ia ingin sekali menjawab, tetapi suasana duka dalam hatinya lebih kuat dibandingkan kemarahannya.
"Ya sudah, kalau tidak mau makan. Terserah."
Renata beranjak meninggalkan kamar putranya, lalu menutup pintu kamar tersebut.
"Mama tidak suka kamu berhubungan dengan gadis miskin itu! Pokoknya kalian harus putus! Jika tidak, mama dan papa akan menjodohkan kamu dengan paksa! Memalukan. Seperti tidak ada gadis lain saja!"
Begitu kalimat paling memekakkan telinga Adrian, ketika ia ketahuan jalan berdua dengan Hanaya. Adrian menghela napas dalam, lalu pelan-pelan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, sesosok bayangan berkelebat. Membuat Adrian terkejut.
Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Adrian menatap seisi ruangan, kemudian mendudukkan tubuhnya. Angin di luar rumah seakan memaksa masuk menerobos lubang-lubang fentilasi. Mengantarkan hawa dingin, bersama sesosok gadis berambut panjang yang tengah berdiri di pojok kamar Adrian.
Tanpa Adrian sadari, sosok bersimbah darah itu tengah menatapnya dengan tatapan mengerikan.
***
Jenny tengah gelisah memikirkan sahabat karibnya yang telah mati bunuh diri. Ia tidak menyangka Hanaya bisa melakukannya. Ia pikir, Hanaya cukup cerdas untuk tidak melakukan perbuatan senekat itu.
Diambilnya ponsel dari nakas. Sembari bersandar di kepala ranjang, ia menghubungi sebuah nomor. Tersambung.
"Halo, Her."
"Ya, halo, Jen." Suara di seberang telepon.
"Kamu lagi ngapain?"
"Aku lagi ngerjain tugas."
"Kamu masih sempat mengerjakannya?"
"Lah, kenapa?"
Jenny menghela napas kasar. "Aku takut, Her."
Terdengar suara tawa di seberang telepon. "Takut apa? Takut hantu Hanaya menggentayangimu?"
"Ih, Her! Jangan sembarangan bicara! Kalau Hanaya benar-benar menjadi hantu bagaimana?"
"Yaelah, Jen. Hantu itu enggak ada. Yang ada hanya halusinasi. Titik! Sudah ya, aku mau menyelesaikan tugas sekolah. Tidur dan mimpilah yang indah, Jejen. Bye!"
Sambungan telepon terputus. Jenny menatap layar ponsel itu kesal, lalu meletakkan kembali di atas nakas. Ia pun berbaring. Perasaan gelisah terus menerus mengganggu ketenangan hatinya. Ia tidak bisa tidur. Terpaksa ia pejamkan mata, berharap rasa kantuk segera muncul.
Sesosok gadis dengan rambut terurai sudah duduk di tepi ranjang. Jenny tidak menyadari itu. Namun, sinyal mistis mengalir perlahan ke tubuhnya. Jenny merasakan ada hawa yang aneh menyelimuti tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri.
Dalam terpejam, Jenny meraba selimut untuk menutupi tubuh. Tangannya bergerak-gerak ke bawah, mencari-cari selimut tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba ia menyentuh tangan lain di sisi tubuhnya. Jenny sangat terkejut.
"Argh!!" Ia pun berteriak keras dengan kedua mata yang masih terpejam.
Tidak lama pintu kamar Jenny terbuka. Mamanya menghampiri Jenny dengan heran. "Ada apa, sih, Jen, teriak-teriak segala. Mama kaget tahu?"
Jenny menghela napas lega mendengar suara mamanya. Segera ia buka kelopak matanya dan bangun untuk memeluk tubuh mamanya itu. Anehnya, tiba-tiba saja tubuh mamanya itu terasa berbeda. Jenny terbelalak menyadari tubuh yang ia peluk berseragam SMA.
"Argh!!" Jenny kembali berteriak dan melepaskan pelukannya. Kemudian berbaring tengkurap, dengan bantal menutupi kepalanya.
Sebuah tangan menyentuh punggungnya.
"Pergi! Jangan mendekat! Jangan ganggu aku!"
"Jen, ini mama. Kamu kenapa, sih?" Suara mamanya kembali terdengar.
"Be-benar itu Mama?" Bibir Jenny berucap gemetaran. Sedangkan napasnya naik-turun tak teratur.
"Iyalah, ini mama. Siapa lagi?"
Akhirnya Jenny memberanikan diri untuk membuka bantal yang menutupi kepalanya. Matanya segera menangkap sosok mama tercintanya itu yang sudah duduk di tepi ranjang.
Anty—mamanya Jenny—mengelus punggung Jenny lembut. "Kalau mau tidur itu berdoa dulu, Jen. Jangan asal tidur. Supaya kamu tidak diganggu oleh hal-hal buruk."
Jenny mengubah posisi tidurnya. Ia memiringkan tubuh, lalu meraih tangan mamanya itu. "Mama jangan tinggalkan Jenny. Mama tidur di sini saja sama Jenny, ya, Ma?"
"Iya, Sayang ...."
-- BERSAMBUNG --
______________________________________________
Terkhusus Readers Kece Tersayang, pindahan dari Readers novel BUKAN PELAKOR. Jika kalian takut, Author Kece sarankan untuk tidak usah membaca novel yang ini, tidak apa-apa. Karena Author tidak ingin kalian yang takut malah jadi terganggu dengan kisah-kisah mistis dan mengerikan.
Namun, jika kalian memang berani untuk menantang diri mencoba sensasi baru, Author sarankan untuk mengikuti novel ini. Karena ini masih standar horor biasa. Lagipula ada, kok, nilai-nilai kehidupan yang Author tanamkan di dalamnya.
Usai novel ini TAMAT, akan terbit novel terbaru. Tentunya ROMANCE lagi.
Thanks ya, sudah mengikuti novel-novel Author Kece. 💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Nurulnuriaza
mati karena dibunuh.kalo bunuh diri kok kepala bagian belakang retak......kan aneh bunuhdiri jatuh kesungai kepala bisa pecah mata berdarah..
2020-12-23
0
Yhu Nitha
like3
2020-08-25
1
Dwi Oktaviani
prandang prinding.. tapi ga baca penasaran.. matinya knpa itu si hanaya..
2020-08-09
1