Dunia Yang Tidak Berpihak

Kini Zoya tengah berada di perjalanan pulang, tentu Elzard yang mengantarkannya pulang. Zoya nampak berpikir keras dengan keputusan yang dia ambil. Kenapa? Satu kata yang ada dalam benaknya, ini keputusan yang besar. Dia mengiyakan ajakan Elzard untuk menikah, itu berarti dia menyerahkan dirinya untuk dimiliki seorang pria yang di mana sudah tidak dia percayai lagi kebenarannya.

"Kamu masih memikirkan kenapa semua ini terjadi?" Tanya Elzard.

"Saya bingung kenapa saya mengiyakan ajakan kamu," ucap Zoya jujur.

"Karena kita sudah ditakdirkan, pertemuan seperti ini tidak mungkin tak berdasar, Tuhan punya caranya sendiri untuk menyatukan seseorang."

Zoya terkekeh lebih tepatnya dia heran, kenapa ada orang se-percaya diri membicarakan soal takdir dan masa depan yang belum dia ketahui pasti. Apa dia juga nantinya akan seperti pria di luaran sama juga dia tidak tau. Zoya benar-benar pusing memikirkan ini sejak tadi.

Tapi aneh, ada yang aneh. Kenapa dia nampak tidak asing dengan Elzard, kenapa dia merasa dekat sekali dengan pria itu padahal mereka baru saling mengenal. Kenapa Zoya bisa dengan mudah menerimanya masuk ke dalam kehidupannya?

"Di depan, kamu berhenti di sana aja," ucap Zoya seraya menunjuk sebuah gerbang berwarna hitam.

Elzard menganggukkan kepalanya lalu memberhentikan mobil di tempat yang Zoya maksud. "Jadi ini rumah kamu? Ayok, biar sekalian saya izin dengan orang tua kamu."

"I-izin? Izin apa?" Tanya Zoya tak mengerti.

"Izin menikahi kamu."

"Harus sekarang? Serius ini aja aku lagi menyadarkan diri sendiri tentang kenapa saya bisa iyain ajakan kamu. Jadi kasih saya waktu untuk itu."

Setelah mengucapkan itu Zoya keluar dari mobil Elzard dan memasuki gerbang rumahnya, perasaanya sudah kacau hari ini, ditambah dengan Elzard yang terlalu sat-set, itu membuat Zoya pusing kepala.

Dia lupa, belum mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Tapi ya sudahlah, malas juga kalau haru berbalik. Namun perlahan langkahnya melambat.

Ayah dan Ibu tirinya keluar dengan membawa koper miliknya. "Pa? Kenapa?"

Plak ...

Satu tamparan berhasil di layangkan pada pipi Zoya, membuat Zoya menatap sang Ayah dengan tajam. Maksudnya apa, dia baru pulang dan ayahnya sudah menamparnya tanpa aba-aba.

"Apasih, Pa? Kenapa Papa nampar aku kaya gini?! Jelasin, kalau aku salah itu bilang, jangan kaya gini!"

"Ada apa kamu bilang? Dasar anak tidak tau diuntung! Bikin malu keluarga saja kerjaannya, kamu jual berapa harga diri kamu?!" Bentak Yuda.

"Jual diri apa sih, Pa?!"

"Halah jangan berlagak sok polos, ini apa hah? Ini apa?! Hamil di luar nikah, dasar anak pembawa sial!" Dena melemparkan sebuah testpack ke arah Zoya.

Zoya dengan gemetar melihat benda itu, sumpah demi apapun kalau itu bukan miliknya. Dia tidak tau apa-apa soal ini. "Ini bukan punya aku, kenapa selalu aku yang dituduh di rumah ini. Di sini juga ada Tante, Ada Nadila! Kenapa–"

"Diam!! Jelas-jelas kalau benda ini ada di kamar kamu! Masih mau mengelak, kapan sih kamu bisa membanggakan Papa kamu, sudah dipecat, pacar begajulan dan sekarang hamil. Mau sebanyak apa kesialan yang kamu bawa ke rumah ini?!" Tanya Dena.

Zoya mengepalkan tangannya dia berusaha mati-matian agar tidak menangis. Dia benar-benar kalut sebenarnya sekarang, tatapannya tertuju pada adik tirinya yang tersenyum miring di belakang sana, sudah dia duga kalau ini perbuatan Nadila!

"Cukup ya, Tante. Tante bukan siapa-siapa dan Tante gak berhak nilai aku kaya gitu. Tante sadar gak kalau Tante cuma pelakor. Tante cuma orang gak punya hati, murahan dan–"

Plakk ..

"Anak kurang ajar, berani bicara begitu pada istri Papa?! Pergi kamu dari sini, pergi!!"

"YANG ANAK PAPA ITU AKU DAN PAPA BELAIN WANITA MURAHAN INI?!"

"DIAM, ZOYA!" Yuda mencengkram lengan putrinya, Zoya selalu saja membuatnya naik darah, andai saja mantan istrinya membawa dia pergi juga, pasti dia tidak akan repot mengurusi anaknya ini.

"Pergi dari rumah saya dan jangan panggil saya Papa lagi!" Yuda mendorong tubuh Zoya, namun saat dia akan terjatuh seseorang menopang tubuh Zoya dari belakang.

"Cukup, Om! Berhenti bertindak kasar pada calon istri saya!" Suara barithon itu menginstruksi Yuda dan menatapnya dengan gemetar.

"Pak Elzard, ada apa anda di sini?" Tanya Yuda.

Elzard menarik Zoya ke belakang dan berhadapan dengan Yuda. Tentu Yuda mengenalnya, memang siapa yang tak kenal dengan Elzard, pengusaha sukses yang sedang melejit namanya. Belum lagi dengan masa lalu beberapa tahun lalu.

"Jangan bersikap kasar lagi dengan calon istri saya atau perusahaan anda yang akan jadi korbannya."

"M-maksud anda apa, Pak?" Tanya Dena.

"Tidak peduli anda masih menganggap Zoya anak atau bukan. Setelah ini dia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sialnya anda ayah kandungnya, say hanya akan mengatakan kalau Zoya akan menikah dengan saya. Tolong restui dia, meskipun saya tidak butuh juga, karena anda tidak pantas di sebut sebagai ayah!"

Setelah mengatakan itu, tanpa basa-basi lagi Elzard menyeret koper milik Zoya dan menggenggam tangan gadis yang masih mematung di tempatnya. Semua ini terlalu abu-abu untuk Zoya pahami.

Tatapannya kosong, membuat Elzard menghela napasnya. Gadis itu terlalu banyak mengalami syok hari ini. Wajar juga kalau dia down sekarang. "Ikut saya dan saya akan memberikan kehidupan yang baik untuk kamu."

Zoya tidak menjawab, tapi dia mengikuti Elzard dan kembali memasuki mobilnya. Untung saja tadi dia tidak langsung pulang, kalau tidak bisa jadi dia meninggalkan Zoya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Saya gak punya tempat tujuan," ucap Zoya saat Elzard sudah melakukan mobilnya.

"Kamu ikut ke rumah saya," bala Elzard.

"Tapi saya gak bisa ikut kamu."

"Diam dan percaya saya, saya tidak akan berbuat aneh-aneh. Saya tau kamu bingung harus pergi kemana. Semalam ini memang kamu mau kemana?"

Zoya terdiam, dia memang tidak tau mau kemana. Dia sendiri juga bingung dengan keadaannya sekarang. Kenapa seolah tidak ada keadilan dalam hidupnya. Kenapa rasanya dia harus selalu di posisi seperti ini.

"Testpack itu bukan punya saya ... "

"Saya percaya kamu."

"Tapi mereka gak percaya sama saya." Akhirnya pertahanannya runtuh, Zoya menenggelamkan wajah di kedua telapak tangannya. Dia tidak bisa menahan bendungan air matanya lagi.

Ini terlalu berat, rasanya dia ingin menyerah saja dalam hidupnya. Dia tidak mau ada di sini lagi, dia sudah tidak punya siapa-siapa. "Saya gak kuat."

"Tidak apa-apa terlihat lemah saat ini, menangis saja. Saya juga tidak akan melarang kamu menangis. Menangis lah sampai kamu puas dan lega."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!