"Tuh ada yang nanyain. Ada apa sih?" Bu Windi risih juga belum tahu permasalahannya.
"Siapa sih? Orang mau tidur jam segini nanya-nanya?" sungut Darpin, seraya keluar kamar dan ke teras rumah.
Ternyata di sana sudah ada Rama, Wati, Warya, dan Anwar. Darpin hapal semuanya karena masih satu desa dan mereka tetangganya Wiwi.
Melihat kedatangan mereka, Darpin terkejut. Pun dengan Rama, sama terkejutnya.
"Kok si Darpin ada di rumah? Kalau begitu, siapa yang menculik Wiwi. Kata Wati yang menculik Wiwi empat orang?" gumam batin Rama bingung.
"Mau apa kalian?" sungut Darpin.
"Eu, emh, eu....gini Gan Darpin," Rama bicara agak terbata-bata, takut salah. Ia ingat nasihat bapaknya yang mewanti-wanti jangan sampai berbuat yang menyebabkan dia kehilangan pekerjaan gegara ada urusan dengan Darpin.
"Ngomong yang jelas, jangan mbalelo gitu kamu Rama!" bentak Darpin kesal.
"Wi, Wiwi, Wiwi...." kata Rama lagi.
"Wiwi hilang ada yang menculik!" kata Wati menjelaskan, kesal saja ingin segera melihat reaksi Darpin.
"Hah, Wiwi hilang? Lalu mengapa nanyain aku? Emang apa urusannya dengan aku?" kata Darpin makin marah, sejenak matanya melirik Warya yang tengah mengepal-ngepal tinju.
"Rasain lu Warya!" benak Darpin.
"Ya, barangkali aja Gan Darpin tahu," kata Rama.
"Maksudmu menuduh anakku menculik adikmu, hah?" kata Pak Danu dan plak, plak, plak menampar pipi Rama hingga terjengkang.
"Ya, apa lagi kalau bukan menuduhku Pak. Bajingan lu! Dari tadi juga gue di rumah!" ucap Darpin lagi seraya mau menambah Rama dengan tonjokan kerasnya, namun segera ditahan Rama.
"Ya, ya, udah kalau tidak tahu tak apa-apa. Kami permisi..." kata Rama lalu mengajak kawan-kawannya pergi.
Namun langkahnya terheti karena Kades Danu memanggilnya.
"Hai anak orang miskin! Bilang sama si Muslih dan Si Ratih, mulai besok tidak usah kerja lagi di ladangku. Dan utangnya sebesar lima juta harus dibayar besok juga, kalau tidak........jangan menyesal kamu!" ancam Pak Kades.
"Lho kenapa Pak Kades? Urusan kami tidak ada sangkut pautnya dengan orangtua kami. Mohon Pak Kades tidak melakukan itu...." Rama menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Tidak bisa! Kamu sudah membuat hatiku tersinggung! Harus diterima akibatnya. Sekali lagi awas utang orangtuamu harus dibayar besok!" kata Kades Danu lalu menutup pintu rumah dengan bunyi keras.
Rama dan kawan-kawan akhirnya meninggalkan rumah Kades Danu dengan hati kecewa.
Di tengah jalan Rama menyuruh Warya menghentikan sepeda motornya, diikuti oleh Anwar yang membonceng Wati.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang. Wiwi belum ketemu, Si Darpin ternyata ada di rumah. Lalu siapa yang menculik Wiwi. Kades Danu mengancam orangtuaku harus membayar lunas utang lima juta besok," lirih Rama benar-benar masalah yang tengah dihadapinya membuat sesak dadanya.
"Tenang Kak Rama. Jangan merasa sendiri, ada kami," kata Warya menguatkan hati calon kakak iparnya.
"Iya Kak, aku pun siap membantu meski harus bertaruh nyawa," kata Anwar membesarkan hati Rama.
"Oke, oke, terima kasih atas bantuannya War, dan kamu Anwar."
Hanya itu yang bisa diungkapkan Rama. Padahal ia ingin mendengar segera apa yang akan dilakukan Warya dan Anwar tentang masalah yang tengah dihadapinya yang begitu mendesak, mencari Wiwi dan menolong orangtuanya.
"Tentang utang Bapak kepada Kades Danu, jangan dipikirkan. Besok, aku akan bawa uang sejumlah yang diminta Kades Danu. Dan jika benar-benar memaksa, besok juga akan dibayar," kata Warya.
"Benarkah War?"
"Insyaallah. Ini demi menolong sesama, bukan semata-mata karena aku kekasih Wiwi Kak."
"Ya, ya, aku mengerti War. Insyaallah kalau aku ada rezeki kelak, uang itu akan kuganti," ujar Rama berkaca-kaca.
"Terima kasih Kak Warya," giliran Wati yang merasa terharu.
"Lalu, siapa yang menculik Wiwi dan ke mana kita harus mencari?"
"Menurut saya Kak Rama. Tetap yang berbuat ulah si Darpin. Bisa saja dia berada di rumah sengaja untuk membuat alibi sehingga orang tidak mencurigainya," kata Anwar.
"Benar Kak Rama, pasti itu akal-akalan si Darpin. Makanya kita jangan terkecoh dengan ulahnya."
"Benar katamu Wat. Lalu kamu ingat tidak mobil apa yang saat itu digunakan penculik?" tanya Rama mencari-cari celah penyelidikan kayak serse aja.
"Mobil apa ya? Kayaknya mobil jeep, Kak."
"Itu kan mobil yang suka dipakai si Darpin?"
"Ya, ya, sudah ada petunjuk. Kita akan terus lakukan penyelidikan sampai si Darpin mengaku," kata Rama lagi.
"Nah, sekarang sudah tengah malam. Ayo kita pullang aja. Besok kita begerak lagi dan kalau memang Dek Warya ada uang, dan Kades Danu datang ke rumahku, siap-siap aja ya!"
"Beres Kak Rama. Insyaallah Bapak saya akan membantu."
Lantas mereka meninggalkan tempat itu dengan menaiki sepeda motor. Semuanya tiba ke rumah Pak Muslih. Dari sana Warya dan Anwar pulang ke rumah masing-masing.
Ternyata Pak Muslih dan Bu Ratih belum pada tidur. Bu Ratih tampak menangis sambil meratapi Wiwi.
"Bagaimana? Apakah ketemu Wiwi?" Berondong Pak Muslih.
Rama geleng kepala. Maka Pecahlah tangis Bu Ratih. Lalu Wati mendekati sang ibu, sambil mengusap-usap punggungnya.
"Udahlah Bu istirahat aja dulu. Kali ini kami belum behasil mencari Kak Wiwi, besok akan dilanjutkan, mohon doanya saja," kata Wati menghibur hati sang ibu.
"Barusan dari mana saja kalian?" tanya Pak Muslih ingin tahu mengapa Wiwi belum ditemukan.
Maka, Rama pun menerangkan apa yang telah dikerjakannya ke rumah Kades Danu, termasuk ancaman Kades Danu bahwa mulai besok bapaknya harus berhenti bekerja dan melunasi utangnya Rp 5 juta.
Bukan apa-apa Rama bicara terus terang, agar bapaknya tahu lebih cepat dan harus menerima kenyataan yang terjadi.
"Bapak harus kerja di mana dan membayar utang besok dengan apa Ram? Bapak 'kan udah bilang kamu harus hati-hati. Kalau sudah begini ....." Pak Muslih tak melanjutkan kata-katanya, air matanya nyaris saja menetes.
"Pak, Bapak tidak sendiri. Ada Rama, ada Wati, ada Warya, ada Anwar yang siap membantu. Bapak jangan pikirkan lagi tentang pekerjaan, kalau disuruh berhenti ya berhentilah, mugkin bisa bekerja di orang lain. Kalau tidak bekerja pun insyaallah kami, anak-anak Bapak takkan membiarkan orangtuanya kelaparan!" ucap Rama panjang lebar agar orangtuanya tegar.
"Uang untuk membayar utang, Ram? Emang kamu punya?" tanya Pak Muslih lagi makin gusar.
"Aku sih enggak punya Pak. Tapi insyaallah Warya bersedia membantu," ucap Rama membuat hati Pak Muslih sedikit tenang.
"Uang pinjaman?" Pak Muslih ingin lebih jelas lagi.
"Tidak tahu Pak, entah mengasih entah meminjamkan. Tapi apa pun itu, tadi Rama udah bilang ke Warya kalau aku ada rezeki kapan-kapan uang itu akan dikembalikan..." kata Rama membuat hati Pak Muslih sedikit tenteram.
Dia pun berdoa semoga besok apa yang dikatakan anaknya itu menjadi kenyataan.
"Ya udah Pak, Bu, ayo tidur daripada sakit. Besok kami akan bergerak lagi," kata Rama.
Pak Muslih dan istrinya pun beranjak ke peraduan meski membawa hati gundah gulana mengingat nasib anak gadisnya belum diketahui nasibnya apakah masih hidup atau bagaimana.
Wati pun ngeloyor ke kamarnya. Seperti kedua orangtuanya, Wati pun masih memikirkan nasib sang kakak. Dia menyesal mengajak kakaknya ke warung malam-malam.
Hanya Rama yang masih duduk di atas kursi, dia belum ditegur kantuk terpengaruh kecamuk batin antara dendam kepada Darpin dan keadaan keluarganya yang harus menggantungkan nasib kepada Kades Danu yang ternyata anaknya membuat susah.
Rama bergegas ke ******. Bersih-bersih tubuh. Tadinya mau sekalian mandi, tetapi ingat kurang baik mandi malam-malam.
Dia pun mengambil air wudu saja, ia ingat belum salat isya. Sesudah wudu, Rama keluar dari ****** dan lalu ke kamarnya, mengambil sajadah, ganti pakaian , lalu salat isya dengan khusuknya menghadap Sang Khalik.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments