Wiwi dan Warya hanya diam. Warya sebenarnya ingin merobek mulut jahat si bajingan itu, namun ditahan dulu. Pun Wiwi ingin mengatakan sesuatu, namun dia ingat kepada kedua orangtuanya yang memang menggantungkan hidup di Kades Danu, ayahnya Darpin.
'Kasihan orangtuaku kalau tak punya pekerjaan,' bisik Wiwi.
"Sebaiknya kau putuskan percintaanmu, kalau tidak ingin orangtuamu celaka!" ancam Darpin tak segan-segan bicara.
"Darpin!" akhirnya Warya bicara juga.
Namun Darpin tak menanggapi dan langsung tancap gas meninggalkan mereka. Perkelahian tadi yang membuatnya malu, tak ingin terulang.
Hanya dalam angannya setumpuk rencana sudah tertampung untuk membuat perhitungan.
***
Malam baru menutup siang, ketika Darpin mondar-mandir di dalam kamar rumahnya yang besar. Musik cadas ia nyalakan untuk mengusir gundah gulana hatinya.
Namun tetap saja tak menolong. Musik dari galeri HP yang dihubungkan dengan speaker superngebas itu pun dimatikan. Terbayang lagi kejadian tadi siang. Begitu muak melihat pria penggoda Wiwi sang kekasihnya.
Dia ingat akan membuat perhitungan, baik kepada si Wiwi apalagi kepada si Warya. Dia begitu berharap bisa membangun rumah tangga dengan Wiwi, meski sebenarnya nafsunya bisa menclok seketika kepada wanita cantik plus seksi mana saja.
Akan tetapi apa yang harus dilakukan? Si bedebah Warya itu ternyata punya keahlian beladiri, nyaris saja dia tadi kalah kalau tak segera lari. Namun Darpin merasa puas telah melontarkan kata-kata ancaman.
Dia berharap ancaman itu bisa membuat keduanya kapok. Ya, Warya jera tak mendekati si Wiwi lagi dan Wiwi pun bersedia dijadikan pacar sekaligus bersedia dinikahinya.
Apalagi kedua orangtua Wiwi bekerja pada ayahnya. Perkiraannya bakal bisa dengan mudah mendekatinya.
Akan tetapi, benarkah mereka bakal kapok hanya dengan ancaman verbal? Darpin meragukannya. Gegas ia pungut HP. Melihat-lihat nomor kontak.
"Dom, Halo!" teriak Darpin menghubungi sahabatnya.
"Halo, Bos!" balas HP di seberang, Doma konco setia Darpin.
"Lagi ngapain lo? Bisa ke istana gue?"
"Biasa, lagi rebahan Bos. Ada proyek? Bisa, bisa. Kapan?"
"Dasar pemalas lo rebahan mulu. Ya, ada proyek gede. Kalau bisa ya sekarang, sekalian panggil tuh dua anak ingusan si Gonto dan si Benco!"
"Beres. Siap. Gua ke sana!"
"Cepet, ya!"
"Oke, Bos!"
Komunikasi HP diputus Darpin. Tersungging senyuman. Sebagian beban benaknya lumayan sedikit berkurang.
Setengah jam berlalu, di halaman rumah Darpin terdengar bunyi mesin motor digas meraung-raung.
"Hai monyet! Ngapain lo mesin motor dibunyikan kayak di hutan?"
Hardik yang punya rumah, ternyata Pak Danu, sang kades yang juga ayahnya Darpin.
"Ih, maaf, maaf Pak Kades. Kirain bapak gak ada di rumah. Kami disuruh datang sama Gan Darpin...," Doma segera turun dari motor dan menghampiri Pak Kades lalu sun tangan nyaris 10 kali, takut terus dimarahi gegara membunyikan mesin motor kayak di hutan.
"Gila lu, ayo masuk!"
Pak Kades menyuruh masuk walau kesal melihat ulah kawan-kawan kampungan Darpin ini. Namun, hatinya bangga karena kawan Darpin itu begitu tunduk dan hormat kepadanya. Pun dengan Gonto dan Benco megikuti langkah Doma menyalami Pak Kades.
Doma menuntun sepeda motor ke halaman rumah dekat teras. Dikunci. Lalu permisi ke Pak Kades untuk memasuki kamar Darpin.
Di tengah rumah tampak Bu Kades Windi tengah menonton TV. Doma hanya membungkuk hormat, tadinya mau sun tangan juga tapi takut dimarahi Pak Danu.
"Masuk!" Darpin mempersilakan kawan-kawannya masuk ke kamarnya.
Di sana sudah tersedia makanan goreng bakwan berikut kopi yang disediakan si Bibi. Keruan saja Doma, Gonto, dan Benco tak sabar ingin mencicipinya. Namun pribumi belum mempersilakannya.
'Padahal gue udah laper banget nih,' bisik hati Doma sambil menatap tajam bakwan segede-gede telapak tangan anak remaja yang masih mengepul. Enak banget kalau disantap langsung diiringi kopi panas, sayang tak terlihat rokok sebatang pun.
"Sayang belum dipersilakan, takut kualat gue," kesal hati Doma.
"Jadi begini," Darpin membuka wacana. Menarik napas dalam-dalam.
Ketiga temannya bukannya menatap wajah sang bos yang tengah gundah gulana menghadapi persoalan penting, malah mengerlingi jamuan bakwan dan kopi dengan saliva keluar masuk tenggorokan.
"Hai! Napa kalian? Lihat mata gue! Gue serius nih! Ngopi entar kalau pertemuan udah beres!"
"O, o, iya Bos. Maaf," Doma garuk-garuk kepala tak gatal.
"Tapi, tapi, kalau kelamaan nanti bisa dingin gak enak Bos," Doma akhirnya memberanikan diri bicara tentang hasrat perutnya yang sudah ingin terisi bakwan.
"Dasar, perut kampungan. Kalau begitu, ayo ngopi dulu! Tapi awas ya jangan banyak-banyak nanti ngantuk lo!"
"Siap, Bos!" ujar ketiga konco Darpin seraya mereka berebutan mencomot bakwan dan langsung pindah amblas ke perut mereka tanpa berlama-lama di genggaman tangannya.
"Okew, okew, silawkan Bhossss mo bicawara apa?" tanya Doma, bicara tak jelas karena sambil mengunyah bakwan dan kopi panas.
"Makan dulu lo!" Darpin menjitak kepada Doma yang dianggapnya tak sopan bicara sama bos dengan mulut lagi mengunyah.
"Iy, iy, iya.......Bos!" Doma cengengesan.
Hanya tinggal sebiji bakwan di piring. Kopi tinggal seperempat gelas. Darpin geleng-geleng kepala melihat ulah ketiga konconya ini.
Sejatinya dia tak ingin gaul sama ketiganya yang cuma lulusan SMP, itu pun entah tamat atau tidak. Sementara Darpin anak kuliahan yang masih betah di kampus meski sudah lima tahun karena banyak mata kuliah yang belum lulus. Kemungkinan besar bisa DO.
Namun, Darpin harus bergaul dengan ketiga pemuda ini untuk membantu segala keinginannya, termasuk merebut hati Wiwi dan menghajar pria yang mencoba-coba mendekatinya seperti Warya.
"Gue minta pendapat atau bantuan elo-elo. Gue makin sulit mendekati si Wiwi, daripada mau ama gue, dia lebih memilih si bedebah Warya," ujar Darpin dengan suara lirih berharap iba dari ketiga konconya.
"Setan!" teriak Doma
"Iblis!" koar Gonto.
"Kunyuk!" semprot Benco.
Darpin tahu ketiga temannya bersimpati kepadanya.
"Apa yang harus kami lakukan bos?" Doma kini tampak serius menanti komando. Boleh jadi karena bakwan dan kopi panas telah masuk di perutnya.
"Itulah mengapa aku panggil kalian. Ayolah ini saatnya kalian berpendapat. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Darpin memandangi wajah ketiga temannya.
Doma, Gonto, dan Benco, manggut-manggut, namun matanya menclok di bakwan yang tinggal satu lagi di piring, tanpa memberikan solusi seperti yang diminta Darpin.
Tampaknya ketiganya amat tergoda oleh sebiji lagi bakwan di piring. Akhirnya ketiganya secara bersamaan nekat mencomot bakwan itu.
Dan.....plak, ketiga tangan itu secara bersamaan bertemu di piring. Saking semangat dan tergesa-gesa. Beradulah ketiga jemari mereka.
"Aooooow....!" Ketiganya berteriak sambil mengibas-ibas jemari tangannya yang terasa sakit bekas beradu.
"Apa-apaan kalian? Ini serius, serius, eh malah berebut bakwan!" Darpin murka.
Sontak piring berisi bakwan yang gagal dicomot itu diambilnya, lalu Darpin meludahi bakwan tersebut.
"Ayo, siapa yag mau? Silakan ambil!" ujar Darpin membuat ketiga temannya terbengong-bengong.
Hening beberapa saat.
"Udah, jangan banyak ulah. Gue serius nih!" Darpin membuka kembali pembicaraan.
"Hehe....maaf, soal bakwan makan aja sendiri Bos. Udah diludahi....." Doma masih sempat-sepatnya bercanda.
"Namun soal si Wiwi dan si Warya. Ya kita beresin aja Bos. Jangan diambil pusing!"
"Iya itu udah gue pikirin ke sana, bego! Yang aku mau tanyain ke kamu-kamu bagaimana cara memberesinnya?"
kata Darpin dengan mata melotot tajam ke muka Doma.
Darpin mengambil sebungkus rokok dari saku jaketnya sekaligus koreknya.
Sebatang rokok dicabut, diselipkan ke bibirnya dan disulut, lalu diisapnya dalam-dalam serta matanya merem melek menikmati asap rokok.
Sekilat bungkus rokok dan koreknya dimasukkan lagi ke dalam saku jaketnya. (Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments