Doma, Gonto, dan Benco, cuma saling pandang. Di benaknya sama bergumam, 'Tega nian si bos merokok tanpa menawari anak buah'.
"Doma, kau bawa rokok?" tanya Darpin. Doma geleng kepala.
"Kau Gonto?" juga geleng.
"Kau Benco?" sami mawon.
"Tapi kan kalian ingin merokok?"
"Jelas dong, Bos."
"Makanya ayo segera beri solusi tentang beban pikiran gue untuk beresin si Wiwi dan si Warya. Mengapa tadi aku masukkan lagi bungkus rokok dan koreknya? Karena kalian belum juga memberikan solusi," dalih Darpin.
"Pelit mah plit aja, woy!" sindir Doma dalam hati.
"Tindakan macam apa kiranya yang perlu diberikan kepada si Wiwi, Bos?" tanya si Gonto.
"Pokoknya dia harus dibikin menyesal tidak mecintai gue, Gon. Tapi jangan sampai disakiti tubuhnya. Dia cantik, bodinya membuat gairah berahiku tak tertahankan," sahut Darpin dengan saliva naik turun.
"Kalau si Warya, Bos?" giliran Benco yang bertanya.
"Mati cepat lebih baik," ujar Darpin cepat dan tegas. Disangkanya menghilangkan nyawa orang sama dengan membunuh nyamuk.
"Beres!" timpal Benco.
"Ya udah kalau begitu kita culik saja si Wiwi, umpetin di tempat yang tidak mudah diketahui," usul Doma.
"Usul yang bagus Dom. Kita mulai beraksi," ujar Darpin.
"Kapan dimulai Bos?"
"Besok malam, saya suka lihat si Sarwi dan adeknya itu suka belanja ke warung malam-malam. Kita buntuti......lalu ambil Si Sarwi. Gue bakal bawa mobil," kata Darpin.
Setelah keempatnya sepakat atas rencana besok malam, barulah Darpin mengeluarkan bungkus rokok dan diperebutkan oleh ketiga konconya.
Mulut masam sedari tadi, nyaris saja sebungkus rokok itu hancur kalau tak segera diamankan sang pemilik. Sebatang demi sebatang lantas diberikan kepada ketiga temannya. Lalu diumpetin lagi ke saku jaketnya.
"Pelitnya minta ampun nih si Bos," gumam ketiga temannya dalam hati. Kalau berterus terang bicara, bisa-bisa rokok yang sudah pada disulut itu disita kembali.
Pertemuan pun bubar. Ketiganya pamit dan berjanji besok malam siap beraksi sesuai dengan rencana.
"Kalian mau pulang begitu saja?"
"Emang!" sahut Doma.
"Ya udah kalau begitu silakan pergi. Tadinya gue mau ngeganti uang bengsin ama lo," kata Darpin.
"Yaaaa....amplop. Gue lupa Bos. Ya, mana, makasih deh."
Darpin pun mengeluarkan uang Rp 50.000. Dikira Doma sejuta atau dua juta, ini cuma Rp 50.000, padahal misi yang akan dilakoni bukan kerjaan enteng-enteng. Taruhannya bisa nyawa. Tapi daripada tidak ya diterima sajalah.
Ketiganya pun pamit. Tak lama kemudian terdengar deru mesin sepeda motor, digas, dan tak terdengar lagi ditelan malam.
"Yessss!" Darpin mengepalkan jemari tangan, diacungkan ke atas, dan ditarik sekaligus ke bawah sambil berujar 'yes' sebagai tanda sukses membuat rencana.
"Rasain lu Sarwi, lu Warya," gumamnya, lalu 'terbang' ke atas rajang. Ambil HP. Klik membuka galeri, tampak sesosok wanita muda cantik yang selama ini jadi impiannya. Si Wiwi, dipandangi tiada henti, lalu layar HP itu didekatkan pada bibirnya pas pada bibir wanita di HP. Begitulah cara Darpin melepas rindu kepada sang kekasih yang menolak cintanya mentah-mentah.
***
Malam esoknya udara terasa dingin sehabis sore tadi diguyur hujan. Keadaan kampung tak seperti biasanya terasa sepi, hanya sesekali sepeda motor lewat di jalan raya kampung itu.
Dua orang wanita muda kakak beradik baru pulang dari warung membeli berbagai keperluan, mulai kebutuhan dapur hingga keperluan sehari-hari mereka berdua seperti odol dan sabun.
"Pelan-pelan dong Kak, jalannya!" kata sang adik kepada kakak wanitanya yang berjalan cepat seolah ada firasat buruk akan menimpa dirinya malam itu.
"Ayo cepat Wat, entar keburu malam, takut ada apa-apa lewat makam," kata sang kakak kepada sang adik bernama Wati.
Ya, ternyata wanita itu adalah Wiwi, dia baru pulang belanja di warung lumayan kumplit langganannya malam itu.
"Masa takut sama hantu? Hantu itu cuma omongan orang, buktinya kagak ada," timpal Wati tak mau percaya omongan kakaknya.
"Huh! jangan gegabah bicara Wat! Kalau ada yang dengar gimana?"
"Yang dengar siapa? Cuma kita berdua, kok!"
"Pokoknya ayo cepet! Lagian ini obat nyamuk mau segera dipakai!" kata Wiwi mengalihkan pembicaraan, tidak lagi menakut-nakuti adiknya dengan hantu tetapi dengan hal realistis, obat nyamuk.
"Iya, iya, iya!" akhirnya Wati menurut.
Keduanya berjalan berdampingan menempuh jalan kampung yang cuma diterangi cahaya lampu dari satu dua rumah. Lampu PJU belum begitu banyak.
Ketika keduanya akan memasuki kawasan yang ada permakaman umum, Wiwi dan Wati, terhenti sejenak.
Sepertinya di depan ada sesuatu yang mencurigakan. Tas belanjaan yang mereka bawa dipegang erat-erat takutnya ada orang jahat yang mau merampok.
"Wat, apa tuh di depan?" bisik Wiwi.
"Mana?"
"Tuh?"
"O iya sepertinya ada mobil, Kak. Ayo jalan ajalah, habis ke mana lagi tak ada jalan lain," ajak Wati.
Meski Wiwi amat ketakutan, dia pun menurut. Keduanya berjalan cepat ingin segera melewati mobil yang terparkir di pinggir jalan tanpa menyalakan lampu di dalamnya.
Ketika sudah mendekati dan melewati mobil itu sontak Wiwi dan Wati mempercepat langkahnya. Mobil sudah berhasil dilewati dan tidak ada siapa-siapa juga tak terjadi apa-apa.
Wiwi dan Wati merasa senang karena bisa lolos dari mobil yang semula diduga dinaiki orang yang akan berbuat jahat.
Akan tetapi, sekitar 20 langkah dari mobil, tiba-tiba tubuh Wiwi dicengkeram sesosok tubuh serasa kekar.
Sementara Wati pun sama, sekilas dia melihat ada 4 sosok tubuh pria yang mengganggu dia dan kakaknya. Ketiganya mengenakan kupluk penutup kepala. Seorang pria menyergap Wati lalu kepala Wati ditutupi karung kemudian diikat dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Sementara tubuh Wiwi dibopong dua orang pria dan dimasukkan ke dalam mobil.
Di dalam mobil tangan Wiwi ditarik ke bagian belakang tubuhnya lalu diikat tambang plastik kuat-kuat, sementara mulutnya disumpal saputangan besar sehingga praktis tak bisa berbuat apa-apa kecuali meronta-ronta ingin lepas dan menangis berurai air mata nestapa.
Lalu mobil itu bergerak meninggalkan lokasi permakaman dan Wati yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari karung yang menutupi kepala dan setengah tubuhnya berikut tali yang mengikatnya.
"Tolong-tolong, tolooooong.........!" Wati berteriak-teriak minta tolong.
Tak ada yang mendengar, maklum kawasan itu agak jauh dari rumah penduduk.
"Tolong-tolong, tolooooong.......!" Wati berteriak lebih keras lagi.
Tiba-tiba ada seseorang yang mendengar teriakan Wati. Dengan senter HP yang dibawanya pria muda itu segera lari menuju arah datangnya suara.
Semakin dekat bunyi yang minta tolong makin jelas. Ketika tersorot lampu senter HP, ia begitu terkejut.
"Ada apa, siapa kau nona?" kata si pria muda itu demi mendengar yang minta tolong itu sepertinya wanita muda.
"Tolong aku, aku Wati," timpal Wati.
"Wati?!" pria muda itu begitu terkejut.
Segera saja dia membuka jeratan tali pada tubuh Wati dan mencopot karung yang mentupi tubuhnya.
Setelah terbuka,
"Wati kenapa kau sayang?" tanya pemuda yang bernama Anwar itu.
"Tolong aku War, tolong, kakakku, kakakku....." Wati terbata-bata dan menangis lalu mendekap tubuh Anwar, kekasih hatinya.
"Kenapa dengan Kak Wiwi, Wat?"
"Dia hilang, hilang di sini!"
""Ya Allah......, ayo kita cari!" ajak Anwar.
"Di mana hilangnya?"
Dan Wati pun berceritera sepulangnya dari warung kemudian melihat ada sebuah mobil, dan 20 langkah kemudian dia dan kakaknya ada yang menyergap beberapa pria.
"Ini penculikan. Beruntung kamu tidak ikut diculik, ayo kita pulang, lapor kepada orangtuamu dan ke pihak berwajib," ajak Anwar.
Keduanya lantas pergi meninggalkan area permakaman umum dan bermaksud ke rumah orangtua Wati dan Wiwi. Beruntung tas belanjaan tak diembat penjahat. Anwar membantu membawa tas belanjaan tersebut.
Setibanya di rumah, Wati menangis sejadi-jadinya di depan Pak Muslih bapaknya dan Bu Ratih ibunya.
"Kenapa kamu menangis Wati? Mana kakakmu?" tanya Pak Muslih dan Bu Ratih hampir bersamaan
"Celaka Pak, Bu!"
"Celaka?" Pak Muslih dan Bu Ratih saling pandang. (Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
nath_e
wah rapi tulisannya, sy suka..lanjutkan, semangat suatu hari pasti rame kok🤗
2023-07-21
1