"Iya Pak celaka, Kak, Kak Wiwi......," Wati tak meneruskan omongannya. Isak tangisnya sudah tak tertahankan lagi.
"Apa sebenarnya yang terjadi Nak Anwar?" Pak Muslih menatap tajam Anwar yang masih termangu.
"Ketika tadi saya ke rumah Bapak dan menanyakan Wati lalu dikatakan Bapak bahwa Wati lagi ke warung sama Kak Wiwi, saya langsung menjemputnya karena kasihan sudah malam," kata Anwar yang memang tadi menemui orangtua Wati.
"Lalu?" Pak Muslih kian penasaran.
"Ya, saya menjemputnya hingga pemakaman umum itu. Tiba-tiba saya mendengar wanita berteriak-teriak, ternyata........." Anwar pun tak lanjut bicaranya, menarik napas dalam-dalam.
"Ada apa, ada apa, mengapa Wati menangis dan ke mana Wiwi?" tanya seorang pemuda tiba-tiba.
Dia adalah Rama, kakaknya Wati dan Wiwi atau anak sulung Pak Muslih.
"Celaka, Kak Rama," kata Anwar.
"Celaka kenapa War?"
Dengan lebih tenang Anwar menerangkan apa yang terjadi baik yang dialaminya sendiri maupun cerita dari Wati.
"Bedebah! Bangsat, brengsek!" Rama meninju telapak tangan kirinya, tulang rahangnya tampak menyembul di bagian bawah pipinya tanda dia sangat murka.
"Kita harus bikin perhitungan, War!"
"Siap, kak!" sahut Anwar kepada calon kakak iparnya itu.
"Tapi, tapi......siapa yang punya ulah Ram?" Pak Muslih menoleh dan menatap tajam anak sulungnya.
"Tidak akan salah, ini perbuatan si bedebah Darpin!"
"Gan Darpin?" Pak Muslih segan juga dengan nama itu karena dia adalah anak majikannya yaitu Kades Danu.
"Ya, si Darpin! Bapak tenang aja. Bapak bekerja seperti biasa. Tapi kalau Pak Kades macam-macam, misalnya mengancam Bapak, tak usah takut, bilang sama Rama!" kata Rama membuat gemetar hati Pak Muslih.
"Tapi, tapi Bapak tak punya pekerjaan lain Ram, lagian utang bapak begitu besar," kata Pak Muslih makin risih.
"Tenang aja Pak. Rama akan bereskan semuanya.......!" tukas Rama membuat hati bapak dan ibunya berbesar hati namun juga risih.
Ya, risih saja karena selama ini dia dan sang istri bekerja di sawah Pak Kades Danu, mengolah sawah, hasilnya dibagi dua. Namun karena hasilnya tak seberapa apalagi kalau diganggu hama, hasil panen sedikit sementara kebutuhan sehari-hari tak bisa ditawar-tawar, maka jalan satu-satunya adalah meminjam uang kepada Pak Kades Danu.
"Hati-hati saja Rama, Bapak dan Ibumu sangat tergantung kepada Kades Danu," pinta Pak Muslih kepada Rama yang tampak sangat marah.
"Bapak tenang saja. Bekerja seperti biasa. Kalau ada apa-apa, bilang Rama!" Rama sekali lagi mempertegas keputusannya.
"Baiklah kalau begitu. Lalu bagaimana dengan adikmu Wiwi?"
"Ya kita pikirkan sekarang. Aku akan mencari si bajingan itu. War, gimana kamu mau ikut?" tanya Rama kepada Anwar.
"Tentu Kak!" jawab Anwar tegas.
"Aku juga ikut, Kak Rama!" Wati tampak berdiri.
"Kamu jangan ikut-ikutan Wat, di rumah saja. Ibu khawatir jika terjadi apa-apa denganmu," Ratih, sang ibu tak setuju Wati ikut serta.
Rama mengambil HP, lihat-lihat nama kontak, lalu klik dan tersambung.
"Assalaamualaikum," kata Rama dengan suara terdengar oleh yang lain karena kontak telepon dibunyikan via loadspeaker HP.
"Waalaikumsalam, Kak Rama. Apa kabar?" jawab dari seberang. Yang mendengar sudah pada hapal, dia adalah Warya, kekasih Wiwi.
"Aku sih baik-baik saja War. Tapi Wiwi,"
"Wiwi kenapa Kak?""
"Ada yang menculik!"
"Siapa, brengsek!" terdengar Warya sangat emosi.
"Nanti dijelaskan di sini. Itu pun kalau Dek Warya tak lagi repot...."
"Tidak, tidak Kak Rama. Sekarang aku ke sana."
"Baik, ditunggu War. Hati-hati di jalan, asalaamualaikum,"
"Siap, waalaikum salam,"
Kontak pun diputus.
Malam itu di rumah Pak Muslih berkumpul orang-orang yang tengah gundah gulana. Mereka belum bisa bergerak mencari Wiwi karena belum ada persiapan secara matang. Baru ada rencana untuk mencari dan strateginya baru akan dibicarakan Rama dengan Warya pun Anwar dan Wati.
Sebelum melapor ke pihak berwajib Rama memutuskan akan bergerak sendiri dahulu dan berharap Wiwi tidak mengalami hal buruk.
Rama punya keyakinan kalau benar yang punya ulah si Darpin anak Kades Danu, Wiwi takkan diapa-apakan karena Darpin mencintai adiknya. Mustahil dilukai apalagi sampai dibunuh. Itulah yang membuat hati Rama sedikit tenang. Dan semoga hal itu benar adanya.
Tak lama kemudian Warya muncul. Dia disambut hangat keluarga Pak Muslih terutama Rama. Gegas Wati membuatkan kopi untuk para pria yang akan menunaikan rencana meyelamatkan sang kakak.
Rama mengajak Warya dan Anwar duduk di kamar tamu, asalnya di ruang tengah. Bukan apa-apa hanya agar lebih fokus dan punya rencana matang tanpa kekhawatiran kedua orangtuanya. Wati pun ikut bergabung.
"Kita sekarang langsung saja ke rumah si Darpin, oke?" ajak Rama.
"Lalu?" tanya Wati.
"Ya, kalau di sana si Darpin tidak ada, pasti dialah yang berbuat ulah. Tapi kalau dia ada, kita nanti bicarakan lagi," kata Rama.
"Saya yakin yang berbuat ulah Si Darpin Kak Rama. Dia kemarin mengancam saya dan Wiwi," kata Warya, lalu menerangkan peristiwa dia berkelahi dengan Darpin ketika hari Minggu berolahraga dan saat itu Darpin membuat gara-gara.
"Tapi bagaimanapun kita harus punya bukti War. Itulah sebabnya untuk tahap pertama, kita datangi dahulu rumah si Darpin seperti rencanaku."
"Baik Kak, kami mengikuti aja," timpal Warya.
"Wit, benar kamu mau ikut?" Rama menoleh adiknya.
"Iya, Kak. Kasihan Kak Wiwi," timpal Wati sambil melirik Anwar.
"Baik, aku akan bawa motor sama Wati," kata Anwar
"Siiip, Kak Rama bersama motorku," kata Warya.
Lalu keempatnya berpamitan kepada Pak Muslih dan Bu Ratih yang tampak gelisah dan bercucuran air mata mengingat nasib anaknya Wiwi.
"Hati-hati kalian, temukan Wiwi dengan selamat," kata Bu Ratih.
"Segala sesuatunya perhitungkan dengan matang Ram, jangan sembrono," tambah Pak Muslih sembari menatap Rama.
"Baik Pak, Bu. Jaga diri baik-baik di rumah, kami pemisi. Asalaamualaikum," kata Rama.
"Waalaikum salam," jawab Pak Muslih bersama istrinya seraya berdoa dalam hatinya semoga anak-anaknya selamat.
Lalu terdengar mesin sepeda motor dihidupkan, beberapa saat kemudian tak terdengar lagi oleh Pak Muslih dan Bu Ratih.
Di kegelapan malam, dua sepeda motor dilarikan agak sedikit kencang. Mereka akan ke rumah Kades Danu untuk mengetahui Darpin apakah ada di rumahnya atau tidak ada.
Setibanya, Rama megetuk pintu rumah. Masih wajar bertamu ke rumah orang sekitar jam sepuluh, apalagi ini ada urusan penting.
Tak ada yang menyahut dari dalam rumah. Namun Rama masih bersabar, ia mengetuk pintu berkali-kali sambil mengucapkan salam juga.
Baru ada yang membuka pintu, Pak Kades Danu langsung. Melihat yang datang keluarga Pak Muslih dan dua orang tetangganya, bukan main muramnya Pak Danu.
"Hai, mau ngapain kamu malam-malam ke rumahku?" tanya Pak Kades kepada Rama.
"Aduh maaf Pak Kades, bukannya kami tak sopan bertamu malam-malam, namun ini masalah penting."
"Masalah apa?" hardik Pak Kades tanpa mempersilakan mereka masuk dan duduk di kursi lazimnya ke tamu.
"Saya mau menemui Gan Darpin," kata Rama sedikit ramah.
"Mau apa ke si Darpin?"
"Iya ada apa dengan si Darpin, Rama?" tiba-tiba Bu Windi menghampiri.
"Ada yang mau ditanyakan," jawab Rama.
"Panggil Bu!" suruh Pak Kades kepada istrinya.
Lalu Bu Windi ngeloyor ke kamar Darpin.
"Pin, Pin, sini!"
"Ada apa Ma?" (Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments