"Jadi, kita mulailah pembicaraan ini ke tahap serius!" seloroh Bernard, situasi menegangkan mulai menghampiri.
"Iyalah, Lae! Langsung aja ke intinya, berapa sinamot yang kalian minta!" hardik Maruli, menatap dalam calon besannya.
Tawar-menawar sinamot pun mulai dilaksanakan. Keluarga memasang raut wajah yang sangat serius. Percakapn inti mengenai permintaan sinamot harus mencapai kesepakatan yang mufakat.
Tak ada yang ingin pembicaraan sinamot berakhir tanpa permintaan angka yang jelas. Suasana tiba-tiba semakin menegang, Bernard yang hendak membuka mulutnya, masih terpaku menatap putrinya.
Sebelumnya, mereka tak pernah memikirkan angka yang pantas untuk memberikan boru sasada pada suaminya kelak.
"Tunggu dulu, Lae!" kata Bernard sembari memikirkan angka sinamot tersebut.
Maruli mengangguk, jantungnya berdegub kencang, kala besannya mengucapkan angka tertinggi dalam prosesi marhata sinamot tersebut.
Meski keluarga Bernard memiliki putri yang cantik, tak ayal membuat keluarga Bernard lupa diri hingga mengucapkan angka yang fantastis untuk permintaan jumlah sinamot tersebut.
Tawar-menawar sinamot pun dimulai. Bernard mulai mengucapkan angka yang menurutnya sesuai dengan harga diri anak perempunnya.
"Saya ingin 5 milyar, Lae! Nantinya digunakan sesuai prosesi adat, diberikan untuk kerabat dan saudara, terutama bagian untuk tulang-tulangnya," jelas Bernard, memberi penekanan pada harga mahar tersebut.
Maruli berpikir sejenak, angka segitu sebenarnya bisa saja ia keluarkan. Jumlah itu, hanya secuil dari kekayaan yang ia miliki.
Namun, setelah anaknya menikah, dirinya juga masih memiliki tanggungjawab, memberikan rumah yang layak, serta kebutuhan lainnya. Terutama untuk pengeluaran acara tetap akan dipersiapkan oleh pihak keluarga laki-laki, pengeluarannya berbeda dari uang pemberian sinamot itu.
"Terlalu mahal itu, Lae! Turunkan lagilah!" tegas Maruli, mulai menego.
"Kalau menurutmu gimana, boru?" cecar Bernard, menatap lekat boru sasadanya.
Jesika menunduk malu, sesekali ia melirik pada Alex. Namun, Alex hanya tersenyum tipis saat calon istrinya menatap.
"Terserah bapak ajalah!" sahut Jesika, memberikan kesempatan negosiasi pada sang ayah.
"Gimana kalo 4 milyar, Lae! Tahu sendirikan, boru kami ini adalah boru sasada, pendidikannya tidak kaleng-kaleng! Predikat sarjana sudah diraih, penampilannya? Lihat sendiri, tidak diragukan lagi," imbuh Bernard, menegosiasi seolah-olah Jesika adalah sebuah barang yang hendak dibeli.
"Masih keberatan itu, Lae! Anak kami juga sudah menjadi seorang dokter! Tinggal di perantauan, tidak kalah hebatnya!" ucap Maruli, memberi pembelaan.
"Menurutmu gimana, Lex? Apa pantas harga 4 milyar untuk calon istrimu?" tampik Bernard, melayangkan pertanyaan untuk calon menantunya.
Alex terdiam lalu menggulum senyum diantara tetua yang ada di rumah itu. Tak lama, ia malah bertanya langsung pada Jesika.
"Kalau menurut adek bagaimana? Pantaskan harga yang dituturkan tulang untuk nilai pernikahan kita?" ucapnya penuh lemah lembut.
Jesika cukup terpaku, saat mendengar suara berat dari calon suaminya. Wajahnya sudah memikat hati Jesika sejak awal, apalagi dengan suaranya semakin meleleh hati Jesika, kala mendengar suara itu.
"Ehm ... kalau aku bagaimana keluarga saja. Intinya yang tidak memberatkan abang dan keluarga tetapi nominalnya tetap memuliakan keluarga kami," jawabnya dengan bijak.
Bernard yang ikut mendengarkan penjelasan Jesika pun mulai menurunkan gengsinya. Ia juga tidak mau memberatkan orang tua calon pengantin. Sebab, harta bukanlah yang terpenting baginya, selama anak satu-satunya yang mereka miliki bahagia.
"Ginilah, Lae, saya memutuskan untuk minta sinamot sebesar 2 milyar saja! Harga itu tidak terlalu murah dan tidak terlalu tinggi bagi pengusaha seperti kita. Ini harga terakhir yang kami minta, kalau Lae dan keluarga menolak, lebih baik kita batalkan perjodohan ini," ungkap Bernard, saling menatap dengan Maruli.
Ayah Alex langsung menelisik Jesika yang masih malu-malu. Namun, kemudian ia meneguhkan hati untuk mengiyakan permintaan nilai sinamot yang dilontarkan oleh keluarga Jesika.
"Baiklah! Sepakat kita, ya!" Maruli mengulurkan tangan, menjabat tangan Bernad dengan semangat.
Marhata sinamot terus berlanjut, sinamot itu kapan akan diserahkan pihak laki-laki pun menjadi pembahasan serius. Secara simbolis, sinamot akan diserahkan sebagian saja atau disebut sebagai bohi ni sinamot.
Oleh karena itu, pihak keluarga Alex akan mempersiapkan dua juta sebagai pemberian secara simbolis keesokannya.
"Besok, kami akan datang lagi ke sini, Lae. Mengantarkan sinamot yang kalian minta. Pemberian sesuai adat batak, kita serahkan hanya sebatas simbolis, untuk nominal lengkapnya akan kita kirimkan melaui tranfer," ucap Maruli, melanjutkan obrolan mengenai kesepakatan sinamot.
Bernard mengangguk patuh, itu hanyalah sebagai simbolis semata. Yang terpenting, anaknya akan sah menikah dengan calon pilihannya sendiri. Ia mengharapkan, Alex akan menjadi suami yang baik bagi Jesika.
"Kalau begitu, kami pamit dululah, Lae! Sudah sangat malam ternyata, esok kami akan kembali lagi. Siap-siaplah kalian menyambut kami."
Maruli beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Bernard yang ada di hadapan. Ia menjabat tangan itu, kemudian bergantian ke istri Bernard—Irma.
Tak hanya Maruli, semua keluarga mengekori pria tua itu. Sang istri, Ima juga beranjak, mencium pipi kanan dan kiri mamanya Jesika, hal yang sama juga ia lakukan saat berpamitan pada calon menantunya.
Sementara, Alex juga ikut berjabat tangan pada kedua calon mertuanya. Tak ketinggalan, ia menyempatkan waktu untuk bersalaman dengan Jesika. Keduanya masih sangat malu-malu, bahkan tak ada kata yang terucap sedikitpun.
****
Setelah keluarga Alexander Sidabutar meninggalkan kediaman Jesika, perempuan itu buru-buru berlari masuk ke dalam kamar. Ia melompat-lompat kegirangan di dalam kamar.
Tak menyangka, suami yang ia idamkan sudah ada di pelupuk mata. Tinggal selangkah lagi, ia akan menyandang status sebagai nyonya sidabutar.
"Asikk!! Kenapa nggak dari dulu bapak jodohkan aku sama laki-laki itu. Kalau calonnya begitu sih, aku suka kali!" kekeh Jesika, seraya melompat-lompat kegirangan.
***
Di kediaman Alexander, calon suami Jesika juga merasakan hal yang sama. Harga sinamot bukanlah hal yang sulit untuk dituntaskan. Ia menyerahkan sepenuhnya kuasa pada kedua orangtuanya yang akan menyiapkan sinamot sebesar 2 milyar tersebut.
"Kok ada wanita secantik itu! Tidak manusiawi! Hahh!" desah Alex, menghempaskan tubuhnya dengan keras ke atas ranjang, matanya menatap langit-langit sembari membayangkan wajah cantik Jesika.
Bahkan, Alex tak sabar untuk mengenal Jesika lebih dalam. Meski nantinya pengenalan itu harus dilakukan saat mereka sudah menikah nanti.
Sebab, pengenalan lanjutan sebelum pernikahan masih tabu. Apalagi, mencegah terjadinya pembatalan perjodohan, dikhawatirkan justru akan mempermalukan pihak masing-masing keluarga.
****
Jesika masih mengingat jelas, wajah tampan Alexander, bertubuh tegap dan gagah. Ia sampai menggelengkan kepala demi membuyarkan pikiran kotor yang masuk ke dalam otak.
Aneh tapi nyata, Jesika tengah membayangkan tidur berdua dengan Alex setelah sah menjadi pasangan suami istri.
"Ah! Aku jadi nggak sabar, semoga saja dia orang yang romantis! Sama seperti karakter wajahnya, yang menunjukkan kehangatan dan kelembutan. Sekilas sih, tampak baik dan santun," batin Jesika, membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Ia semakin tak sabar menunggu esok hari agar bisa melihat wajah tampan milik Alexander.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments