JATUH

Kafka terpesona dengan mata bulat dan besar gadis yang kini ada dihadapannya, wajah gadis itu memerah yang membuat Kafka yakin kalau gadis itu sangat malu.

"Aku...aku hanya, numpang ngaca donk kok dimobil kamu, maaf."

Setelah mengatakan hal itu Vero langsung ngacir meninggalkan Kafka, sumpah, tidak pernah seumur hidupnya Vero merasa sangat malu seperti ini.

"Duhhh, malu banget gue sumpah." Vero merutuk dirinya.

Sedangkan Kafka, dia hanya tersenyum melihat tingkah gadis tersebut sebelum dia juga melangkahkan kakinya memasuki gedung perusahaan yang menjulang tinggi dihadapannya.

Vero menoleh ke belakang, dan begitu melihat cowok barusan berada dibelakangnya, dia jadi geer, "Ehhh dia ngikutin gue lagi." batinnya, "Apa dia begitu sangat terpesonanya ya dengan kecantikan gue sampai ngikutin gue segala, tampangnya oke sieh, bisa dibawa ke kondangan, sayangnya saat ini fokus gue adalah menaklukkan sik batu bara itu, untuk saat ini gue gak berniat menjalin hubungan dengan cowok lain." ujarnya sambil tetap berjalan, "Atau mungkin saja dia tidak ngikutin gue kali ya, siapa tahu dia memang ada urusan dengan seseorang dikantor papa gue." Vero menandaskan praduganya.

"Selamat datang nona Veronica." sapa salah satu karyawan yang sudah mengenal Vero.

"Hmmm."

Beberapa karyawan yang melihat putri tunggal pemilik perusahaan tempat mereka bekerja langsung menatap Vero dengan tatapan memuja, gadis itu memang benar-benar memukau dan sering menjadi pusat perhatian dimanapun dia berada.

"Nona Vero tuh, cantik banget ya."

"Iya memang cantik, saking cantiknya sampai gak bisa dijangkau oleh pemilik wajah pas-pasan kayak kita, jadi jangan bermimpi deh untuk mendapatkannya, karna sudah pasti wanita cantik seperti nona Vero sukanya sama laki-laki yang tampan dan kaya."

"Kenyataan memang pahit."

Itu beberapa cletukan para karyawan yang mengagumi kecantikan putri boss mereka.

Vero memasuki lift, saat pintu lift akan tertutup, sebuah tangan kokoh menghentikan lift yang akan menutup tersebut, pemilik tangan itu adalah Kafka yang juga akan naik ke lantai atas.

Kafka tersenyum tipis sebelum masuk sebagai sebuah sopan santun kepada Vero yang tidak ditanggapi sama sekali oleh Vero.

"Ehhh, dia beneran ngikutin gue kayaknya."

Vero memencet tombol lantai yang akan dia tuju, saat melihat cowok yang juga ada didalam lift bersamanya hanya diam dan tidak memencet nomer lantai yang ingin dituju itu membuat keyakinan Vero semakin besar kalau memang cowok yang satu lift dengannya saat ini memang benar-benar mengikutinya.

"Apa, dia benar-benar mengikuti gue ternyata, kok gue jadi takut gini seih, kalau dia berniat jahat sama gue gimana, kamikan cuma berdua disini." fikiran negatif menguasai fikiran Vero, "Ya Tuhan, ternyata ada tidak enaknya juga ya jadi wanita cantik kayak gini, banyak yang suka dan menguntit, mana ini lift lama banget lagi sampainya."

Dari ekor matanya Vero melirik ke samping dimana laki-laki yang dia curigai berdiri dengan tenang, tidak ada tanda-tandanya laki-laki itu akan berniat buruk sama Vero.

"Oke Vero, lo tetap waspada, jangan terpedaya dengan sikap tenang yang cowok ini tunjukkan, sikap tenang yang dia tunjukkan hanya untuk mengelabui elo supaya lo tidak curiga, dan begitu lo lengah, dia bakalan langsung nyergap lo." Vero bermonolog dalam hati.

"Mmm, mbak apa..."

Vero langsung menyilangkan tangannya di dadanya dan nempel di dinding begitu mendengar laki-laki tersebut bersuara, "Jangan dekat-dekat lo, gue itu bisa ilmu bela diri, kalau lo berniat macam-macam sama gue, gue bisa menendang lo sampai laut mati."

Kafka hanya bisa melongo, sumpah dia sedikitpun tidak berniat jahat sama sekali seperti yang disangkakan oleh gadis tersebut, belum sempat dia menyangkal tuduhan Vero, lift terbuka dan Vero langsung ngacir begitu saja keluar lift, karna memang Kafka juga menuju lantai yang sama dengan Vero, makanya dia juga ikutan keluar.

"Sialan, dia masih ngikutin gue lagi, ternyata dia gak mempan dengan ancaman gue." Vero mempercepat langkahnya.

Kafka yang melihat gadis itu ketakutan karna dirinya hanya mengernyit, "Emang tampangku kayak orang jahat ya sampai dia ketakutan begitu."

"Mbak Sarah, papa adakan." tanya Vero pada sekertaris ayahnya itu.

"Nona Vero, iya nona, bapak ada didalam." Vero langsung berjalan setengah berlari menuju ruangan papanya, Vero langsung menutupnya begitu sudah berada didalam, nafasnya tersenggal-sengal.

Vero merasa aman setelah berada diruangan papanya, karna papanya itu pasti akan menjaganya sampai titik darah penghabisan.

Papa Amar yang melihat putrinya seperti orang yang baru melakukan lari marathon terheran-heran.

"Sayang, apa yang terjadi."

"Papa, ada orang jahat papa, dia ngikutin aku terus." lapornya sambil berjalan mendekati papanya.

"Orang jahat, mana ada orang jahat dikantor papa sayang."

"Ada papa, dia tadi ngikutin aku terus, aku jadi takut papa." Vero memeluk lengan papanya manja.

Saat pak Amar akan membuka bibirnya untuk membalas ucapan putrinya, pintu ruangannya diketuk oleh sekertarisnya.

"Masuk." perintahnya.

Terlihat Sarah berada diambang pintu, "Maaf pak Amar, bapak Kafka sudah datang." Sarah memberitahu.

"Ohhh Kafka, suruh dia masuk Sarah, saya sudah sejak dari tadi menunggunya."

"Baik pak."

"Silahkan pak Kafka, pak Amar sudah menunggu anda." ucap Sarah pada seseorang.

Laki-laki yang sejak tadi dicurigai oleh Vero muncul diambang pintu ruangan papanya.

"Hehhh, diaa, kok bisa kenal sama papa gue."

Begitu melihat Kafka, papa Amar langsung menyambutnya dengan hangat, "Selamat datang Kafka, selamat datang dikantor om, silahkan masuk Kafka."

Kafka tersenyum dan melangkahkan kakinya memasuki ruangan papa Amar, dia menoleh ke arah Vero yang terlihat kaget karna papanya ternyata mengenal laki-laki yang tadi mengikutinya, ralat Vero, bukan mengikuti lo, Kafka memang satu arah saja sama lo karna dia juga berniat menemui papa Amar.

"Pa, papa mengenal laki-laki itu." tunjuk Vero pada Kafka yang berjalan mendekat ke arahnya, lebih tepatnya sieh mendekati papa Amar.

"Kenal donk sayang, dia Kafka, anak almarhum sahabat papa sekaligus rekan bisnis papa." jelas papa Amar, dia merentangkan tangannya untuk memberi pelukan saat Kafka sudah berada didekatnya.

Kafka memeluk laki-laki yang kini ada didepannya, dua laki-laki berbeda zaman itu saling terkekeh dan menepuk punggung satu sama lain.

"Kafka Kafka, kamu sudah dewasa sekarang, terakhir kali om bertemu dengan kamu saat kamu masih SMA, dan sekarang, kamu sudah memimpin perusahaan almarhum papa kamu, benar-benar hebat kamu." papa Amar memuji.

"Om bisa saja, ohh ya, bagaimana keadaan om Amar."

"Seperti yang kamu lihat Kafka, om sungguh baik-baik saja, bagaimana keadaan mama kamu." yang dimaksud adalah mama tirinya Kafka.

"Mama baik om."

"Apa mamamu tidak berniat menikah setelah ditinggal oleh papa kamu."

"Memang om mau jadi calonnya mama."

Papa Amar tertawa mendengar serangan balik yang dilontarkan oleh Kafka, "Om yakin, om bukan tipe mamamu."

Kafka terkekeh, "Sepertinya memang begitu."

Vero hanya menatap intraksi antara papanya dan laki-laki asing yang sempat dia curigai barusan, ternyata laki-laki barusan kenal sama papanya, Vero jadi merasa bersalah sekaligus malu disaat bersamaan karna sempat berfikir macam-macam.

"Ohh iya Kafka, perkenalkan, Veronica Salim, putri kesayanganku." papa Amar memperkenalkan Vero.

Kafka langsung menoleh kepada gadis yang ada dibelakang papa Amar, dia tidak menyangka kalau gadis itu adalah putri dari rekan bisnisnya.

"Hai." sapa Kafka tersenyum simpul, "Bukannya tadi kita berada dilift yang sama."

Vero mengangguk malu.

Kafka menyodorkan tangannya untuk berkenalan secara resmi dengan putri tunggal dari Amar Salim tersebut, "Saya Kafka Prahadi."

"Vero." balas Vero menjabat tangan Kafka.

"Saya bukan orang jahat, jadi saya harap, jangan takut lagi sama saya." kelakar Kafka.

"Iya, maafkan saya karna telah berfikir yang gak-gak tentang kamu."

"It's okey."

"Ohhh, jadi kamu yang difikir oleh putriku orang jahat yang mengikutinya."

"Iya om."

"Astaga." papa Amar tertawa, "Kamu ada-ada saja sayang, emangnya Kafka ada tampang seperti orang jahat apa."

Kafka dan Vero saling lirik sebelum mereka juga ikut tertawa bersama dengan papa Amar.

****

Meja makan panjang yang bisa memuat sampai sepuluh orang itu hanya diisi oleh dua orang, yaitu Vero dan papanya, saat ini dua orang itu tengah menikamati makan malam bersama.

"Jadi sayang." papa Amar membuka obrolan, "Menurut kamu, Kafka itu bagaimana." papa Amar menanyai pendapat putrinya tentang Kafka.

"Mmmm, kak Kafka baik, sopan dan juga friendly orangnya." jawab Vero apa adanya.

"Papa setuju, papa menyukai anak almarhum Dimas itu, anaknya sopan dan baik, papa harap, hubungan bisnis yang kami lakukan bisa semakin berkembang ke depannya."

Vero tidak menanggapi kata-kata papanya barusan, dia hanya memilih untuk menghabiskan makananya agar bisa cepat kembali ke kamarnya.

"Pa, Vero ke kamar dulu, mau ngerjain tugas." bohongnya.

"Oke sayang, belajar yang rajin supaya kamu cepat lulus dan bisa mengambil alih perusahaan papa."

"Siap papa." Vero mencium pipi papanya sebelum berlalu meninggalkan papanya sendiri dimeja makan.

Setibanya dikamar, Vero meraih ponselnya dan membanting tubuhnya dikasur empuknya dan berniat untuk menghubungi Bara.

"Gue chat atau telpon ya." fikirnya, "Gue telpon saja deh."

Sambungan terhubung dan terjawab.

"Baraa, ini gue..."

"Iya, apa ada yang bisa saya bantu mbak, apa mbak membutuhkan jasa antar pesan makanan." bukannya suara Bara yang terdengar, melainkan suara seorang perempuan.

Vero sampai mengerutkan keningnya saat mendengar suara perempuan yang menjawab bukannya suara Bara, "Ini Barakan."

"Ohh bukan mbak, kami adalah penyedia jasa...."

Vero langsung mematikan sambungan begitu sadar kalau dia telah dikerjai oleh Bara, Vero membanting ponselnya dikasur, dan meninju-ninju bantal untuk menyalurkan kekesalannya, "Baraaa sialaaannnn, brengsek, gue benci sama lo, benci, sialan, berani-beraninya lo ngerjain gue kayak gini, awas lo ya, gue bikin lo bertekuk lutut baru tahu rasa lo." Vero semakin bernafsu meninju-ninju bantal dan membayangkan kalau itu adalah Bara, "Kesel kesel, ihhh dasar batu bara menyebalkan." jerit Vero.

****

Pagi itu, Vero sengaja menunggu Bara diparkiran, Vero tersemyum sinis begitu melihat motor Bara yang baru memasuki area parkir khusus untuk motor.

Untuk menaklukkan Bara, Vero benar-benar berdandan habis-habisan. Setelah melihat pantulan dirinya dikaca spion depan dan memastikan kalau penampilannya sempurna, Vero keluar dari mobil dan dengan penuh percaya diri dia berjalan menghampiri Bara.

"Pagi Bara." tidak lupa Vero menyetel senyuman super manis, yang sayangnya, senyuman itu sama sekali tidak berpengaruh membuat hati Bara kpincut.

Bara hanya menoleh sesaat dan kembali melanjutkan langkahnya tanpa membalas sapaan Vero.

"Ya Tuhann, bahkan setelah gue dandan fol-folan dan mengenakan baju terbaik dia masih saja tidak menoleh sama gue, ini gue yang tidak menarik sama sekali dimatanya atau dia gak doyan sama cewek, elahhh, bukan gue banget deh kalau harus ngejar-ngejar cowok gitu, tapi terpaksa harus gue lakukan." keluh Vero.

"Baraa, tunggu ihhh." Vero berusaha mengejar Bara, namun sayangnya, dia yang saat ini tengah mengenakan hak tinggi yang kurang lebih tingginya mencapai 12 cm itu terjatuh dilantai paping blok parkiran yang menyebabkan lututnya tergores.

"Awhhhh, sakittt." rengeknya memegang lututnya.

Namun Bara dengan cueknya tetap berjalan tanpa mengindahkan Vero sama sekali.

"Baraaaa." teriak Vero, sumpah rasanya dia ingin menangis, sudah jatuh, dicuekin lagi, seenggkanya Bara menolongnya kek, atau sekedar menoleh kek, ini cuek bebek.

"Baraaa, gue jatuh, jahat banget sieh lo gak mau nolongin gue, gue gak bisa berdiri lho."

"Baraaaa."

Tadi fikir Bara gadis itu pura-pura jatuh hanya untuk menarik perhatiannya, tapi saat di dengarnya suara gadis itu memelas dia membalikkan tubuhnya dan melihat Vero terduduk pasrah dilantai paping blok.

Bara berjalan mendekati Vero dan berjongkok.

"Gue jatuhhhh, lihat lutut gue terluka, sakit tahu." rengek Vero manja.

"Lebay banget sieh lo, luka seupritt saja merengek.".

"Sakit banget ini Bara, lo itu yah jadi orang gak ada simpatinya, benar-benar tidak berprikemanusiaan."

"Makanya kalau kuliah itu pakai pakaian yang layak dan sepatu yang normal, ini egrang lo pakai."

"Ishhhh, kenapa lo pakai ngomentarin gaya berpakaian gue segala sieh, mending bantuin gue."

"Hmmm." Bara memegang lengan Vero untuk membantunya untuk berdiri.

Vero berusaha untuk berdiri, sayangnya, baru saja dia menumpukan badannya pada kedua kakinya, dia kembali terduduk, "Gue gak bisa berdiri Bara, lutut gue rasanya sakit banget."

"Teruss, lo mau gue gimana."

Vero merentangkan tangannya, "Gendong." pintanya manja.

Bara memandang Vero seolah-olah Vero adalah manusia purba yang masih hidup dizaman modern ini, "Gue, gendong lo, ogah." tandas Bara.

"Lo kok gitu sieh, jahat banget gak mau nolongin, gue gak bisa berdiri lho ini, apalagi jalan."

Bara menarik nafas pelan dan menghembuskannya, sebelum melakukan apa yang dikatakan oleh Vero, "Baiklah, gue gendong lo." ucapnya terpaksa.

"Yesss, berhasil." Vero bersorak dalam hati karna rencananya berhasil.

Memang sieh lututnya beneran sakit, tapi tidak sesakit itu sampai menyebabkannya tidak bisa berdiri, itukan hanya akal-akalannya saja supaya dia dekat dengan Bara demi kelancaran misinya.

Bara mengangkat tubuh Vero dengan mudahnya seolah-olah tubuh Vero adalah guling yang isinya busa, Vero otomatis mengalungkan tangannya dileher Bara

Dari jarak sedekat ini, Vero bisa mencium aroma tubuh Bara yang maskulin, dan dia sangat suka dengan aroma parfum yang digunakan oleh Bara, belum lagi tangan Bara yang begitu kokoh mengangkat tubuhnya dan menempel langsung didada Bara yang keras, Vero benar-benar merasakan kenyamanan dalam gendongan Bara.

"Kok rasanya nyaman ya dalam gendongan nieh cowok."

Dan dari jarak sedekat ini juga Vero bisa melihat wajah Bara dengan jelas, bahkan Vero bisa melihat pori-pori diwajah Bara.

"Kok dia ganteng banget ya dilihat dari dekat kayak gini." puji Vero dalam hati sambil memandang Bara dengan lekat tanpa berkedip.

"Lo mau dibawa kemana." tanya Bara.

Pertanyaan itu berhasil mengalihkan perhatian Vero dari wajah Bara.

"Mmmm, bawa gue ke kelas lo aja deh biar gue nemenin lo agar semangat belajarnya." jawabnya ngaco.

Bara menatap Vero tajam, "Sekali lagi gue tanya, lo mau gue bawa kemana, kalau lo jawabnya ngaur, gue jatuhin nieh." ancam Bara dengan mimik serius.

"Ihhh, sadis amet deh abang Bara, gak ada lembut-lembutnya."

"Mau gue jatuhin beneran neih."

"Iya iya, bawa gue ke unit kesehatan kampus saja deh, gue istirahat disana, tapi temenin gue ya."

"Ogah."

Vero mendengus kesal mendengar jawaban Bara.

Dengan menggendong Vero, Bara berjalan menuju tempat yang disebutkan oleh Vero barusan.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!