Ikbal pulang kerja sekitar pukul lima sore. "Mas, mau aku buatin teh atau kopi?" tanya Arin.
"Nanti saja setelah aku mandi. Flora mana?" tanya Ikbal yang tidak melihat anaknya.
"Ada di dalam sedang menonton televisi," jawab sang istri.
"Oh ya, Mas. Apa kamu lihat KTP aku? Biasanya di dompet tapi aku cari nggak ada?"
"KTPmu aku pinjam," jawab Ikbal dengan nada dingin.
"Untuk apa? Kenapa nggak bilang dulu. Aku ada kok fotokopiannya kalau kamu mau," balas Arin.
Ikbal membawa Arin masuk ke dalam kamar. "Sebenarnya KTP kamu aku pinjam untuk mengurus jaminan di bank," ucap Ikbal memberi tahu.
"Hah, untuk apa? Apa kita mau bangun rumah sehingga kamu perlu banyak uang, Mas?" tanya Arin.
"Bukan, Mas Arif yang akan menggunakan uang itu untuk modal usaha istrinya." Arin tak bisa berpikir jernih bisa-bisanya sang suami mengambil keputusan tanpa bertanya pada istrinya lebih dulu.
"Mas, apa kamu sudah pikir matang-matang tentang keputusan kamu?"
"Kenapa? Dia cuma pinjam nama selebihnya dia yang bayar angsuran hutang per bulan."
Arin memejamkan matanya. Dia sedang menahan air matanya agar tidak meleleh. "Mas, aku saja tidak pernah berhutang. Kalau boleh aku jujur selama ini uang yang kamu kasih ke aku itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan kita. Aku selalu menambal kekurangan itu dengan tabungan yang aku punya. Tapi kenapa kamu malah dengan mudahnya mematahkan prinsip aku itu, Mas?"
Arin benar-benar kecewa dengan suaminya. Susah payah dia mengatur nafkah agar tidak terlilit hutang nyatanya suaminya dengan mudah berhutang untuk orang lain.
"Yang bayar itu Mas Arif bukan aku. Dia cuma pinjam nama saja!" tegas Ikbal.
"Kalaupun harus berhutang ya berhutanglah untuk diri sendiri. Ngapain untuk orang lain? Kita sendiri aja masih kekurangan Mas. Apa kamu nggak malu kita numpang hidup di rumah ibu seperti ini. Mau sampai kapan?"
Ikbal hanya diam. "Aku cuma takut kalau suatu hari dia tidak bisa membayar angsuran per bulan. Bukankah pihak bank akan menarik uang dari kita. Kenapa? Karena kita yang tercatat dalam dokumen mereka. Kamu paham konsepnya apa nggak sih, Mas?"
Arin benar-benar kesal. Ikbal tak mau disalahkan. Cuma karena membantu keluarganya dia malah bertengkar dengan istrinya. "Kamu ini bisa nggak sih lunak sedikit? Kita ini bantu saudaraku. Suatu saat pasti kita gantian yang dibantu sama mereka?"
"Oh ya? Lalu kenapa mereka tidak izin dulu sama aku? Kenapa mereka hanya bilang sama kamu? Bukankah kamu juga butuh KTP aku Mas?"
Kali ini Arin tak mau tinggal diam. Dia ingin tahu jawaban suaminya yang dengan bodohnya diperdaya saudara sekandungnya.
"Karena mereka tahu kamu pasti nolak."
"Ya berarti ini paksaan bukan? Mas mulai saat ini aku nggak mau mengeluarkan sepeser pun yang dari tabungan aku untuk menambal kekurangan biaya per bulan kita. Aku mau tahu bagaimana caramu mencari uang jika kita sedang kekurangan."
Arin keluar setelah mengatakan itu. Dadanya teramat sesak kala suaminya mengambil keputusan besar tanpa meminta izin darinya. Arin sangat kecewa dengan sikap sang suami yang tidak tegas.
Keesokan harinya, Ikbal meminta Arin ikut dengannya. "Mau apa?" tanya Arin ketus.
"Kita harus ke bank untuk tanda tangan. Pengajuannya sudah disetujui," kata Ikbal.
"Kamu aja yang pergi," jawab Arin ketus. Dia tidak sudi untuk meminjamkan namanya.
"Kamu juga harus ikut karena kamu harus tanda tangan," paksa Ikbal.
"Kalau aku nggak mau, kamu mau apa?" tantang Arin.
"Jangan membuat aku malu di hadapan keluargaku. Apa kamu ingin aku meninggalkan rumah ini?" ancam Ikbal.
Arin pun tak kuasa melawan. Dia takut dengan ancaman suaminya. Tak masalah jika dia menjadi janda. Namun, dia lebih memikirkan anaknya. Belum lagi hukuman yang akan di dapat dari keluarganya. Pastilah tetangga juga akan menghina dirinya. Banyak sekali yang harus dia hadapi jika dia harus berpisah dengan sang suami.
Hidup bukan seperti cerita novel yang kebanyakan saat wanita tersakiti maka dia memilih untuk berpindah haluan ke laki-laki yang lebih memperhatikan dia. Tapi realita sebenarnya adalah ketegaran dan seberapa besar upaya kita mempertahankan pernikahan ketika sedang dilanda masalah.
Angin tak selamanya bertiup pastilah akan ada waktunya untuk berhenti meski kita tidak tahu kapan angin itu akan berhenti. Kita hanya perlu mempertahankan kapal. Bukan membiarkannya tenggelam.
Arin terpaksa ikut ke bank bersama suaminya. Di sana sudah ada kakak ipar dan istrinya yang datang lebih dulu. Arin tak menyapa mereka karena dia kesal dengan ulah mereka.
"Pinjam uang sampai puluhan juta awas aja kalau nggak bisa bayar," gerutu Arin dalam hati. Dia lebih banyak diam.
Awalnya mereka diminta untuk membuat rekening baru. "Mau sekalian dibuatin mobile-banking apa tidak, Pak?" tanya customer servis tersebut.
"Yang, pakai hp kamu ya?" tanya Ikbal.
"Nggak, handphone aku nggak kuat memorinya udah penuh," jawab Arin dengan ketus.
"Ya sudah nggak usah mbak," kata Ikbal pada customer servis tersebut.
Setelah itu Ikbal kembali duduk di samping istrinya. Dia tahu kalau Arin sangat kesal. Sesaat kemudian Manager bank memanggil mereka ke ruangannya.
"Saudara Ikbal berserta istri silakan duduk di sini," sapa Manager bank tersebut dengan sopan. Dia yang akan menerangkan tentang tata cara peminjaman uang di bank.
Dia menjelaskan panjang lebar tapi Arin tak mendengarkan. Dia sengaja memainkan handphonenya."Jadi pengajuan pinjaman uang ini tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun ya Pak, Bu?"
"Cih, tidak ada paksaan apanya?" gerutu Arin dalam hatinya. Dia tidak mungkin mengatakan kalimat itu secara frontal di depan suaminya.
"Bu Arin apa ada yang ditanyakan?" tanya Manager tersebut.
"Misal tidak bisa membayar angsuran bagaimana?" tanya Arin.
"Jadi kami akan memberikan keringanan untuk menunda sampai bulan depan. Namun, jika hingga bulan berikutnya tidak bisa membayar angsuran maka akan dikenakan denda. Jadi ibu harus membayar angsuran plus denda di bulan berikutnya," terang Manager tersebut.
"Misal salah satu dari kami ada yang MA*TI atau BERCERAI apakah saya tidak menanggung hutang itu?" tanya Arin sambil menekankan dua kata tersebut seraya melirik suaminya.
"Tidak begitu konsepnya, Bu. Meskipun Anda bercerai dengan suami Anda tagihan tetap menjadi tanggung jawab kedua belah pihak yang bertanda tangan di berkas ini."
"CK, nggak ada enaknya sama sekali," gerutu Arin. Ikbal menahan malu di depan Manager tersebut.
"Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan bisa tolong tanda tangan di sebelah sini!" tunjuk Manager tersebut di bagian bawah kertas.
Setelah Ikbal dan Arin menandatangani berkas itu sebanyak tiga kali. Manager tersebut memberikan salinan surat perjanjian hutang. "Aku mau langsung pulang!"
Arin keluar lebih dulu dari bank itu dan menunggu Ikbal di parkiran motor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Sri Winda
ya.anak adalah faktor kita untuk selalu bertahan walaupun kadang ingin menyerah tp ketika ingat dgn kebahagiaan anak masih bs bertahan walaupun menderita
2023-04-11
1
Eril Athallah
😭 BENAR ,, mau hati pergi cukup membawa anak dan memulai kehidupan baru tak semudah itu ..apa lg anak yg tumbuh dengan kurang kasih sayang dari pigur ayah...akhhh kalau boleh memilih rasanya tak ingin berjumpa dengan pernikahan..
2023-03-29
1
🍌 ᷢ ͩ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 ~ Ꮢнιєz ~
resiko anak tetap ada..tapi Arin sudah bisa usaha sendiri selama berumah tangga..klo aq jadi Arin..lebih baik jadi janda..
dari pada menanggung hutang tapi bukan diri sendiri yang menikmati uang nya..suami egois lebih berpikir bantu sodara nya..tapi ga mikir yg bakal susah nanti istri juga anak nya..
2023-02-07
4