...Apa yang orang lain lihat belum tentu sesuai dengan pemikiran mereka. Terkadang kenyataan beda dari ekspektasi....
Sadar jika ucapannya menyinggung perasaan suaminya, Arin pun meminta maaf. "Mas maaf jika kata-kataku kasar." Arin ingin memegang tangan Ikbal tapi dia cepat-cepat berlalu meninggalkan istrinya.
Ikbal memilih keluar dan menonton televisi bersama anaknya, Flora. Arin merasa bersalah. "Seandainya saja aku ini tidak mudah mengeluh mungkin suamiku tidak akan marah," batin Arin merasa menyesal.
Ikbal memilih diam. Arin ikut diam karena dia tak mau membuat suaminya semakin marah. "Flo, bobok di dalam yuk!" ajak Arin. Flo menolak. Dia masih ingin main.
Tak lama kemudian ibunya mengajak Flora ke rumah saudaranya yang tak jauh dari rumahnya. "Flo mau diajak ke mana Bu malam-malam begini?" tanya Arin cemas.
"Mau ajak ke rumah Bu Lekmu," jawab Bu Nia.
"Tapi ini kan sudah malam, Bu," larang Arin. Sang ibu memicingkan mata.
"Cuma sebentar. Lagian kok nggak bosen sih di rumah aja. Ibu aja bosen karena tidak bisa menonton televisi. Ibu mau nonton televisi di sana," ucapnya dengan ketus.
Arin merasa sang ibu sedang menyindirnya. Tapi Ikbal orang yang tidak peka. Dia begitu cuek dan dingin. Arin hanya memejamkan mata mengingat perkataan sang ibu. "Kalau mau negur kenapa nggak sama orangnya langsung sih?"
Arin merasa selalu jadi pelampiasan kemarahan ibunya. Dia merasa tidak adil karena tidak pernah menegur Ikbal secara langsung. "Sabar Rin, sabar. Kamu hanya numpang di sini," gumamnya dalam hati.
Sampai pukul sembilan malam, Bu Nia bum juga pulang ke rumah. Arin merasa gelisah. "Mas apa aku susul saja ya Flora di rumah Bu Lek?" Arin meminta pendapat suaminya.
"Nanti juga pulang," jawabnya dengan ketus. Arin pun tak jadi menyusul anaknya. Dia masih menunggu ibu dan anaknya pulang ke rumah. Namun, hingga setengah jam kemudian Bu Nia tak juga membawa cucunya pulang.
Ikbal memilih masuk kamar karena matanya sudah mengantuk. Sedangkan Arin mondar mandir di depan rumahnya. Ketika dia ingin menyusul Bu Nia pulang menggendong anaknya. Arin segera menghampiri Flora. "Kenapa lama sekali Bu pulangnya?" tanya Arin pada Bu Nia.
"Filmnya baru selesai. Lagi pula Flora masih belum mengantuk. Iya akan Flo?" tanya ibunya pada anak kecil itu.
"Belum mengantuk bagaimana Bu. Mata Flora sudah satu begini?" gumam Arin yang menggerutu. Bu Nia sayup-sayup mendengar ucapan anaknya itu. Dia hanya mendengus kesal.
Setelah itu Arin membawa Flora ke dalam kamar. Dia menyusui anaknya yang terlihat mengantuk. Arin melihat suaminya tidur dengan menutup mata menggunakan lengannya. Arin hanya menghela nafas. Mungkinkah suaminya itu masih marah? Karena sedari tadi dia irit bicara, pikir Arin.
Keesokan harinya Ikbal pergi bekerja tanpa berpamitan pada Arin. Arin semakin menyalahkan dirinya sendiri. "Apa perkataanku belum bisa kamu maafkan, Mas?" gumam Arin yang menatap kepergian suaminya.
Setelah itu, Flora menangis. Dia memanggil ibunya karena berada dalam kamar sendirian. Arin segera menghampiri anaknya. "Jangan menangis ya sayang." Arin mencoba menenangkan anaknya.
"Kenapa sih Rin pagi-pagi sudah berisik?" tegur ibunya.
"Flora baru bangun, Bu," jawab Arin.
Tring
Arin menerima pesan dari pembeli yang ingin memesan barang padanya. Dia pun segera membalas pesan dari customernya itu. Bu Nia tidak suka ketika pagi-pagi anaknya memegang handphone. "Mandiin dulu Flora, kamar juga dibersihkan. Cucian kamu tuh di belakang masih numpuk," omel sang ibu padanya.
"Iya, iya." Arin mendengus kesal.
Setelah membalas sebentar, Arin memandikan Flora. Namun, handphonenya terus berbunyi karena menanyakan banyak hal mengenai barang yang akan dipesan. Arin bekerja sebagai dropshiper barang-barang fashion seperti baju, tas dan sepatu online yang dipasok dari produsen. Dia hanya memajang foto di media sosial lalu menjualnya. Jika ada yang memesan barulah dia ambil barang.
Usai memakaikan baju pada Flora, Arin kembali memegang handphonenya. Dia jadi lupa menyisir rambut Flora. "Arin, Arin. Kamu ini kalau main handphone terus yang ada kerjaan kamu tidak akan beres," gerutu ibunya. Bagaimana Arin bisa mengabaikan chat yang datang dari pembeli. Bukankah pembeli itu raja?
"Ini tuh ada yang mau beli barang Bu," terangnya mencoba menjelaskan pada ibunya.
"Kamu jualan apa sih? Jualan kok nggak ada barangnya?" omelnya.
"Ya memang Arin kirim langsung dari produsen ke pembeli. Arin ini hanya perantara istilahnya," terang Arin yang masih bersabar menghadapi ibunya.
"Lagian mana ada pembeli yang nggak bayar? Kamu nggak narik?" tanya Bu Nia yang tidak mengerti soal pembayaran melalui rekening.
"Aku jelaskan pada ibu pun percuma," jawab Arin sambil berlalu meninggalkan ibunya. Dia mengajak Flora duduk di luar rumahnya.
"Kita main di sini aja ya Flo. Di dalam rumah bikin ibu stres menghadapi nenekmu," ucapnya pada balita yang belum mengerti itu.
Arin kembali membalas pesan yang masuk. Ketika ada tetangga yang lewat mereka menegur Arin. "Enak ya Rin, kamu tinggal ngawasin anak suami kamu yang kerja. Bisa sambil main hp lagi," sindir ibu-ibu itu.
Arin tidak menganggap kalau itu sindiran. Dia hanya menganggap kalau itu sebagai sapaan ibu-ibu yang lewat. "Iya, Bu." Arin mengangguk membenarkan.
Tapi setelah ibu-ibu itu pergi mereka mencibirnya di belakang. "Jadi istri kok pemalas. Kalau saya mah ogah punya menantu seperti dia," ucapnya membicarakan Arin dari belakang.
Ketika sore menjelang petang, suaminya pulang ke rumah. Flora dan Arin menunggu Ikbal di teras rumah seperti biasanya. "Mas, mau aku buatkan teh hangat?" tanya Arin. Dia berharap suaminya tidak lagi merajuk.
"Hm," jawab Ikbal sekenanya.
"Aku ke belakang dulu ya, titip Flora sebentar," ucapnya sebelum berjalan ke dapur.
Entah apa yang dilakukan oleh Ikbal hingga Flora tiba-tiba jatuh. Suaranya terdengar lantang di telinga Arin. Arin pun berjalan dengan langkah cepat menuju ke teras rumahnya. "Mas, Flora jatuh ya? Kenapa bisa sampai jatuh begini sih? Ya ampun kasian sekali kamu nak. Lututmu sampai berdarah gini. Mas apa kamu tadi tidak mengawasi Flora dengan baik?" cecar Arin.
Taulah bagaimana seorang ibu yang khawatir kala melihat anaknya terluka. Begitu pula yang sedang dirasakan oleh Arin. Dia khawatir bukan main ketika melihat lutut anaknya berdarah.
"Dia yang jalan kurang hati-hati. Tadi mau turun dari tangga malah kakinya tidak sampai," terang Ikbal yang membela diri.
"Ya ampun, kok kamu biarin dia turun tangga sendiri sih Mas? Flora kan masih kecil. Dia juga baru bisa berjalan," protes Arin.
"Jangan terus menyalahkan aku. Aku ini baru pulang kerja capek. Kamu tidak ada pengertiannya sama sekali," balas Ikbal lalu menuju ke kamarnya.
"Ya Allah apa aku salah lagi kali ini?" gumam Arin di dalam hatinya seraya menggendong Flora yang masih menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Eril Athallah
ahahahahahah suami toxic.. keluarga pun toxic ..
2023-03-29
0
Bhebz
lanjut semangat
2023-02-04
1