Pinjam nama

Arin masih merenungi kesalahannya. "Semoga besok-besok aku tidak salah bicara lagi di depan suamiku," gumamnya sambil menidurkan Flora.

Ikbal tiba-tiba memakai jaket seperti hendak keluar rumah. "Mas, mau ke mana malam-malam begini?" tanya Arin.

"Ibuku meminta datang ke rumah," jawab Ikbal dengan ketus.

"Aku tidak bisa ikut, Mas. Flora baru saja tidur," kata Arin.

"Tidak perlu. Kamu di rumah saja." Ikbal melangkahkan kaki keluar kamar.

Arin tidak tahu apa yang akan dibicarakan mertuanya pada sang suami sehingga malam-malam begini memintanya datang.

Ikbal sampai setelah tiga puluh menit menempuh jarak dari rumah orang tua Arin ke rumah orang tuanya. "Assalamualaikum, Bu."

Sang ibu keluar. "Waalaikumsalam. Ayo masuk, kakakmu dan istrinya sudah menunggu di dalam," ucap sang ibu memberi tahu.

"Ada apa ini sebenarnya, Bu?" tanya Ikbal yang tak mengerti situasinya.

"Duduk, Bal," perintah sang ayah. Ikbal pun duduk di sebelah kakaknya.

"Kami mau minta tolong sama kamu."

"Apa yang perlu Ikbal bantu, Yah?" tanya Ikbal penasaran. Mereka terlihat serius.

"Kami ingin meminjam namamu untuk meminjam uang di bank," sahut Arif, sang kakak.

Ikbal terkejut dengan apa yang diucapkan oleh kakaknya. "Lalu kenapa harus meminjam namaku?" tanya Ikbal tak mengerti.

"Aku ingin memulai usaha mandiri dengan istriku apalagi ini mendekati lebaran, istriku ingin membuat usaha kue jadi aku butuh modal yang besar untuk memulai usaha," terang Arif.

"Kenapa tidak memakai namamu sendiri?" tanya Ikbal heran.

"Namaku sudah kupakai untuk meminjam uang di bank untuk membayar cicilan rumah, kami akan menjadikan tanah atas nama Ayah untuk dijadikan jaminan. Tapi kami minta kamu yang meminjam uang di bank. Kamu jangan khawatir uang itu aku yang akan bayar tagihannya tiap bulan. Kamu hanya perlu meminjamkan namamu saja," terang Arif panjang lebar.

"Sebaiknya kamu tidak usah bilang sama istrimu, dia pasti menolak kalau namamu dijadikan jaminan untuk meminjam uang," tutur sang ibu.

Ikbal berpikir ulang. "Jadi kamu hanya akan meminjam namaku saja bukan?" tanya Ikbal memastikan.

"Iya, hanya meminjam nama. Uang itu aku yang ambil jadi kamu tidak perlu membayar cicilan tiap bulannya. Aku yang akan bayar itu semua sampai selesai," tegas Arif.

Ikbal pun tak ragu setelah mendengar ucapan kakaknya. Setelah urusan dengan keluarganya selesai, Ikbal kembali ke rumah mertuanya. Memang dia masih menumpang di sana. Gajinya yang tak seberapa tak mampu untuk membangun rumah.

"Assalamualaikum," ucap Ikbal yang telah sampai di rumah.

"Mas, kok malam banget baru pulang?" tanya Arin.

"Iya," jawab Ikbal pendek. Dia melepas jaket kemudian merebahkan diri.

"Mas, apa kamu capek? Mau aku pijitin?" tanya Arin.

"Nggak usah, aku cuma pengen istirahat. Besok biar nggak kesiangan bangunnya," jawab Ikbal. Arin merasa aneh dengan sikap suaminya.

Arin pun memutuskan untuk tidur di sebelah Flora. Anak itu mencari-cari sumber ASInya ketika dia terjaga.

Keesokan harinya saat Arin akan membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi lanjutan, dia tak melihat KTPnya di dompet. "Lho perasaan aku taruh sini KTPku," gumamnya.

Dia pun mencari-cari KTPnya di tempat lain tak tak juga menemukannya. Arin pun menunda untuk mencarinya lagi sebab hari sudah mulai siang. Dia harus antri di puskesmas untuk mendapatkan imunisasi bagi buah hatinya.

Wanita itu pergi menggunakan sepeda motor miliknya. Flora ditaruh di bagian depan. Dia sengaja membeli boncengan khusus balita agar memudahkan dirinya untuk ke mana-mana saat mengajak Flo.

Ketika sampai di puskesmas, Arin ikut mengantri di ruangan ibu dan bayi. Sebelum diberi imunisasi anaknya ditimbang terlebih dulu. "Berat badannya kurang ya, Bu," kata Bidan tersebut mengingatkan.

"Iya, Bu. Padahal makannya banyak, apa gara-gara dia nggak mau minum susu formula ya?"

"Bukan begitu, Bu. Kalau ASI cukup dan makan makanan bergizi berat badan akan naik signifikan. Tinggi badan juga akan mengikuti perkembangan sesuai usia anak," terang Bu Bidan tersebut.

Setelah itu Bidan memberikan suntikan imunisasi. "Ini nanti panas nggak ya, Bu?" tanya Arin.

"Biasanya kalau imunisasi lanjutan nggak panas, Bu. Tapi misal anaknya panas jangan khawatir nanti akan saya kasih obat penurun panas untuk jaga-jaga."

"Baik, terima kasih, Bu."

Usai melakukan imunisasi, Arin membawa Flora pulang. Tapi dia mampir ke sebuah mini market untuk membeli popok sekali pakai untuk anaknya. "Healing emak-emak mah di sini aja ya Flo. Ngadem kita, nanti ibu beliin eskrim ya."

Benar saja setelah membayar di kasir, Arin mengajak anaknya duduk di depan minimarket tersebut. "Makan es krimnya di sini aja ya Flo. Tapi kita foto dulu nak," ajaknya pada bocah berusia kurang dari dua tahun itu.

Arin berfoto dengan Flora sambil memamerkan eskrim yang dia beli. "Siang-siang enaknya makan es krim," gumam Arin seraya menulis status di media sosialnya.

Sambil menunggu Flora yang makan es krim, Arin membaca beberapa status orang lain yang tersimpan di kontaknya. "Lihat teman-teman aku yang pada sukses udah bisa bangun rumah sendiri jadi iri. Kapan ya suamiku bisa bangun rumah sendiri. Mana orderan lagi sepi lagi," gumam Arin dengan wajah sendu.

Sesaat kemudian dia melirik Flora. Wajahnya sudah tak berbentuk. Arin tertawa melihat wajah anaknya yang penuh dengan sisa es krim. "Ya ampun anak ibu apa siapa ini kok cemong begini," ucap Arin sambil tertawa. Tangannya mengambil tisu basah yang selalu dia bawa ke manapun dia pergi.

Kebahagiaan seorang ibu itu sederhana. Ketika dia melihat anaknya tersenyum maka si ibu akan merasa dunianya bersinar. Namun, sebaliknya jika melihat anaknya menangis maka si ibu akan merasa dunianya suram. Maka tak jarang apapun dilakukan ibu untuk kebahagiaan anaknya.

Arin mengajak Flora pulang ketika selesai makan es krim. Jarak mini market ke rumah orang tuanya cukup dekat. "Kita turun ya, Dek." Arin menggendong anaknya hingga masuk ke dalam.

"Flora mau tidur?" tanya Arin. Flora menggeleng dia menunjuk televisi sebagai tanda agar ibunya menyalakan televisi itu.

"Ow, Flora pengen nonton si gundul ya?" Arin pun menyalakan televisi. Flora tertawa senang melihat tingkah gundul kembar yang dia sukai.

Lama menonton televisi Flora pun mulai mengantuk. Arin menggendong Flora yang mengantuk lalu membawanya ke kamar. Saat itu Arin lupa mematikan televisi Bu Nia pun marah-marah.

"Kamu ini kebiasaan ya Rin. Tagihan listrik jadi membengkak gara-gara kamu sering lupa matiin televisi," omelnya.

Arin tak menjawab dia pura-pura tak mendengar padahal dia mendengar suara ibunya yang lantang itu. "Ya Allah berilah hamba rejeki yang melimpah agar hamba segera pindah rumah," batin Arin berdoa dalam hati.

Terpopuler

Comments

🍌 ᷢ ͩ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 ~ Ꮢнιєz ~

🍌 ᷢ ͩ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦 ~ Ꮢнιєz ~

duuhh Ikbal nih..sama istri bisa tegas..sama sodara ga ada tegas2 nya..bodoh nya kebangetan..
data pribadi dipinjam utk pinjol kok mau aja..big stupid 😤

2023-02-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!