Bab 4

Bab 4

Luna meninggalkan Marie di tepi jalan. “Siala*, Luna ninggalin gue!” Marie menjerit marah. “Gue benci lo!”

Tidak, Marie tidak membencinya. Dia juga tidak membenci Marie. Dia hanya marah dengan hidupnya yang selalu di bully waktu kecil, tidak mendapatkan kebahagian yang ada dibayangannya. Teman-teman sekolahnya tidak menyukai dirinya. Mengata-ngatai dirinya penjilat guru di sekolah karena kepintarannya. Hanya saja Luna tidak berani untuk speak up, bahkan menceritakan kejadian ini kepada orang tuanya. Marie tahu dia menderita. Marie hanya berharap tidak melampiaskannya kepadanya. Bukan salahnya dia di benci di kelasnya, di benci oleh teman-temannya yang nyatanya iri pada kepintarannya. Dan dia meminati bidang fashion. Tetapi Ayah tidak pernah setuju saat dia ingin menjadi modeling.

Bunyi dencitan ban terdengar di sebelah Marie dan ia refleks meloncat ke tepi jalan. Luna memandang Marie dari balik jendela mobilnya. Dia menyuruh Marie masuk dengan isyarat dagu.

Marie merangkak masuk ke kursi depan. Setidaknya dia menurunkan atap mobilnya hari ini. Kadang-kadang dia mengendarai mobil dengan atap terbuka di pagi hari buta. Mereka berkendara dengan kesunyian, Marie berusaha mengembalikan sirkulasi darah ke jari-jarinya, Luna menatap kosong ke depan.

“Luna, turunin gue,” kata Marie yang mulai panik. “Gue harus masuk sekolah hari ini. Ada ujian di jam pertama, dan ada makalah yang gue harus kumpul di kelas sejarah.” Belum termasuk kimia. “Luna!”

“Gue gak bisa lakuin ini,” gumamnya menerobos tanda berhenti. “Gue pengin bunuh dia!”

“Siapa? Ayah? Gue bakal bantu lo, tapi jangan sekarang, oke?”

Luna berkemudi mengubah jalur, melaju menuju jalan layang. Dia bisa bolos kapan saja dan masih bisa mendapat nilai A di semua mata pelajaran. Nilai-nilai ujian akhirnya membuat banyak kampus merekrutnya. Marie bolos satu hari dan terancam dikeluarkan dari sekolah. Satu-satunya kampus yang tertarik padanya hanya Universitas biasa saja.

“Luna...”

“Bukan, bukan Ayah,” kata Luna sambil bergabung dnegan keramaian lalu lintas. “Gue. Gue pengin bunuh diri gue.”

Marie mendesah lelah.

Marie benci kalau sudah begini. Perasaan depresi yang dirasakan Luna, ingin bunuh diri. Luka di hatinya begitu kentara, membuat Marie ikut sakit melihatnya. Marie berusaha menerima kalau dia akan mengulang tahun keduanya di SMA.

Luna melajukan mobilnya menuju Starbucks. Setelah sampai di halaman gerai kopi terkenal itu, tak ada satu pun dari Marie maupun Luna keluar dari mobil. Mereka berdua terdiam sejenak.

Marie pun mencoba membuka suaranya untuk memulai percakapan. “Ngapain kita di sini?”

Luna hanya diam membisu.

Marie menunjuk tanda di pintu dan melihat ada lowongan kerja. “Ada lowongan.”

Mungkin itu suatu petunjuk. Apa Marie harus menjadi barista? Mungkin itu satu-satunya pekerjaan yang bisa di dapat setelah dikeluarkan dari sekolahnya.

Luna tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh Marie. Luna bergerak mencabut kunci, mengayunkan kaki jenjangnya keluar dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam gerai itu. Seolah sudah memiliki program menjadi robot penurut, Marie pun mengikutinya.

Luna memesan latte dan Marie meminta mocha. Karena Luna yang membayar, Marie juga memesan roti blackberry. Mereka pun duduk di konter dekat jendela, menyesap minuman dan memandangi orang yang berlalu lalang di luar. Marie masih memikirkan sekolahnya. Marie harus mengikuti ujian Kimia hari ini. Dia hanya bisa mengembuskan napasnya berat.

Seperti kapal yang karam, Luna menyandarkan kepalanya ke bahu Marie.

“Gue harus gimana, Mar? Gue sekarat. Gue mau keluar dari sekolah itu.”

Marie merangkul punggung kurusnya, dan memegang kepalanya. “Semuanya akan baik-baik saja.”

“Gak. Semua gak akan baik-baik saja.”

“Luna...”

Dia tetap menutup mulutnya.

Pria berpakaian lusuh di ujung konter, yang sedang mengetik di laptop, berhenti dan memandang ke arah mereka. Marie menatapnya dan melebarkan mata, seolah berkata, Apa? Ada masalah?

Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya dan kembali ke arah laptop melanjutkan pekerjaannya.

Luna mengangkat kepalanya dan duduk di kursi. “Setiap hari, hal-hal yang sama. Bersembunyi, berbohong, menyimpan di dalam. Ini sungguh berat. Gue gak bisa melakukan ini.”

Please, jangan menangis. Marie berteriak di dalam hatinya.

“Saat orang-orang melihat gue, mereka seperti melihat hantu. Melihat orang yang gak layak buat jadi temen mereka. Mereka gak lihat diri gue yang sebenarnya.” Luna menyapukan tangan menuruni dadanya.

Marie bingung harus mengatakan apa terhadap permasalahan yang di alami oleh Luna. Sudah berapa sering Marie mendengarkan aduan ini?

“Gue suka kaos yang lo pake,” cetus Marie akhirnya, berusaha membuat suasana lebih ringan. “Baru?”

Luna menatap Marie dengan jengkel.

“Sorry.”

“Gak akan ada yang tahu pribadi dalam diriku. Yang mereka lihat cuma ini.” Menunjuk kepalanya.

“Tentu saja lo berarti,” sergah Marie. “Kau itu manusia. Kau itu mempunyai kelebihan yang orang lain gak tahu. Lo harus buktiin itu!”

Luna tertawa singkat. “Siapa?”

“Lupakan Ayah,” kata Marie. “Apa urusannya dengan dia? Lo gak harus jadi atlet seperti keingingan Ayah!”

Luna memejamkan matanya, dan menunduk dalam-dalam.

“Gue harus berubah. Gue harus merubah semua yang ada di gue.”

“Lo pasti bisa!”

Luna mengamati wajah Marie dari dekat, menyelidiki matanya. Marie merasakan kegelisahan ditatap seperti itu. Marie mematahkan pinggiran roti, dan menggigitnya pelan. “Mau?” Marie menyodorkan roti itu pada Luna.

Luna berkata, “Mami benar, lo tahu. Lo itu kelihatan seperti zombie. Sedikit menghitam dibawah mata lo.”

“Tutup mulut.” Marie sontak memukul lengan Luna. “Lo yang buat sampai gue punya kantong mata.”

“Eh, lo suka kan wig pirang yang gue coba pagi tadi?” Luna sedikit lebih ceria. “Serasi dengan warna merah, menurut gue, tapi warnanya agak norak. Terlalu keperakan gak, sih? Dan terlalu berani buat dikenakan dengan celana casual. Gu ekira wig ikal cokelat lebih ok buat pakaian casual. Iya, kan?”

Sekali Luna mulai berbicara rambut dan pakaian, mereka akan berada di sini selamanya. “Gue harus ke sekolah, Luna.” Marie melihat arlojinya. 9.45. Kalau mereka ngebut, Marie masih bisa ikut kelas sejarah. Artinya Marie hanya perlu mengulang setengah tahun.

Luna hanya mendesah. Adiknya ini banyak sekali menuntut dirinya.

“Lo terlalu narsis dan banyak menuntut.”

“Lo sendiri gimana?” Marie bingung.

Luna mengerjap-ngerjapkan matanya sehingga bulu matanya pun ikut mengerjap, dan menunjuk dada dengan jari. “Gue?”

“Lo gak ada kelas?” tanya Marie sambil membungkus sisa rotinya dalam tisu untuk dibuang.

“Seminar Senior,” jawabnya. “Gak wajib hadir.” Luna meneguk habis sisa latte-nya, meluncur turun dari bangku dan menambahkan, “Mau gak lo ke Wal-Mart dulu. Beliin gue beberapa pakaian? Punya gue sedikit kusam sudah.”

Marie mengikutinya menuju pintu. “Lo harus pakai pemutih untuk yang warna putih.”

“Begitulah gue,” katanya dari balik pundak. “Gue hanya cewek biasa, bukan dewi rumah seperti lo.”

Marie menyikut tulang belikatnya. Kalau begini terus mereka bisa-bisa sampai sekolah di siang hari. Marie tidak akan keberatan membelikan celana dalamm dan yang lainnya.

Luna mengorek dompetnya, dan mengulurkan uang dua ratus ribu kepada Marie.

“Belikan gue Maidenform potongan higg-cut warna cream, kalau ada. Putih kalau gak ada. Ukuran S.”

“Ukuran S,” ejek Marie. Luna tersenyum lebar saat Marie menyambar uang dari kepitan jarinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!