BAB 3
“Aku akan memasak untuk malam ini, Mami.” Luna meloncat menyelamatkan Marie.
Mami mendesah letih. “Mami tidak mau berdebat atas hal ini. Mami akan jadwalkan ulang untuk acara salon itu.”
“Siapa yang berdebat?” tukas Marie. “Kalau Luna bersedia....”
“Tak perlu mengatur jadwal ulang. Marie lebih dari senang untuk membantumu, Sayang.” Perintah Ayah pada Mami dan mengabaikan Marie.
“Yah, aku sudah bilang, kalau aku harus kerja. Apa yang kau inginkan dariku, berhenti bekerja dan aku bisa tinggal di rumah dan memasak makan malammu? Membersihkan rumahmu? Sampai mencuci seluruh pakaianmu?”
Marie berhenti mengoceh. Dia terlihat ngos-ngosan untuk mengucapkan hal itu. Mami dan Ayah memberengut menatap ke arah Marie, menghindari kontak mata satu sama lain.
Mami memasukkan agenda ke tasnya. “Rambut Mami tidak harus ditata hari ini. Mami bisa menjadwalkan ulang.”
Terlihat kilatan dari mata ayah seakan ingin membakar wajah Marie.
Saat melewati Marie untuk mengambil mapnya dari konter dapur, Mami meletakkan sebelah tangannya dipundak Marie. Marie tersentak kaget. “Ada apa dengan mu, Marie? Mami lihat kamu sangat tegang, tidak tidur. Apa kamu butuh sesuatu untuk membantumu agar bisa tidur?”
“Tidak. Aku baik-baik saja.” Marie segera memutarkan tubuhnya dan melepaskan cengkraman tangan Mami. Lemari obat yang dimiliki sang Mami penuh dengan obat penenang, obat tidur dan obat penyeimbang mood. Marie pikir, Mami nya sedang melalui perubahan masa, dan Marie berharap Mami mengunci lemarinya itu.
Mami belum beranjak dari tempatnya berdiri, tepat di belakang Marie, menangkap pandangan Marie di pintu kaca ke teras belakang. Kelihatan benar-benar cemas.
“Aku baik-baik saja,” ulang Marie menoleh ke arah Mami. “Hanya ada beberapa ujian minggu ini,” Lanjutnya lagi. Sebenarnya Marie tidak mencemaskan ujian-ujian itu.
Mami meneruskan misinya, menyambar map dan berjalan menuju pintu sambil memutar-mutar kunci. “Semoga harimu menyenangkan,” kata Mami pada udara.
Luna membalasnya, “Mami juga.”
Ayah bangkit berdiri untuk ke kamar kecil sebelum pergi ke tempat pekerjaannya. Tempat dia akan melakukan pekerjaannya dan membagi kebahagiaan mendempul.
Marie dan Luna menghabiskan sisa sarapan yang tersedia di atas meja dalam keadaan sunyi.
Ayah yang keluar dari toilet menandakan Marie dan Luna harus bergegas untuk mengemasi barang-barang mereka. Ayah berhenti di lorong, dan menarik resleting pada jaketnya. “Jangan minum pil, sayang,” katanya kepada Marie. “Tidur saja lebih awal.” Dia pun menunjuk Luna. “Temui Indri sepulang sekolah.”
Luna hanya mengangguk mengiyakan.
Pintu terbuka dan tertutup kembali dengan cepat. Marie menjulingkan matanya ke arah Luna, yang tidak melihat karena sedang berjalan dengan cepat ke arah luar.
Marie menyambar tas ransel dan jaketnya, berjalan cepat menyusul Luna. Tapi begitu Marie selesai mengunci pintu depan, Luna sudah memundurkan mobil ke jalan. “Luna, tunggu!” Marie seaakn terbang melintasi halaman rumahnya.
Luna menginjak gas dan dengan kasar mengarahkan mobil ke jalan. Marie pun menarik pegangan pintu. Perlahan Luna menoleh dengan tatapan kuat di wajahnya yang membuatku memundurkan langkah dengan tangan terkulai.
Flash back
Mereka sedang berada di pekarangan rumah keluarga Mayer. Saat itu acara ulang tahun Luna yang ke sembilan. Hari itu cukup hangat untuk mengadakan pesta di luar ruangan.
Mereka sedang merayakan ulang tahun Luna dan Alyson bersama. Alyson adalah sahabat baiknya Luna sejak TK. Orangtua mereka dan orangtua Alyson sudah berteman selama bertahun-tahun. Mereka melakukan banyak kegiatan bersama, seperti bersama-sama merayakan ulang tahun.
Tapi itu adalah tahun terakhir bagi mereka merayakan pesta ulang tahun bersama. Luna dan Alyson meloncat-loncat berkeliling, kegirangan karena akan membuka kado bersama. Mereka mengundang sekumpulan teman sekolah mereka ke pesta ini. Mami membawa cake ulang tahun ke depan dan menusukkan lilin di atas cake itu. Ayah menggesek korek api dan mulai menyalakan lilin. Marie kecil masih menghitung dalam hati berapa jumlah lilin itu.
“Ayah, aku boleh mematikannya, gak?” ucap Marie kecil.
Ayah tersentak, sepertinya terkejut melihat kehadiran Marie di sana. “Hei, Marie kecilku, ayo ke sini dan matikan apinya.” Dia tersenyum dan mengulurkan korek api kepada Marie.
Marie meloncat turun dari bangku tinggi yang dinaikinya, dan berlari mendekat, membasahi jari dengan ludah seperti yang diajarkan Ayah. Dan menjepit batang korek api. Marie menjerit ketika korek api itu mendesis, meskipun sebenarnya tidak sakit.
Ayah langsung menciumi jari Marie. Kemudian dia memeluk Marie kecil dengan tangannya yang besar dan mengangkat Marie ke atas kepalanya. Sambil menjaga keseimbangan dengan menempelkan perut Marie ke kepalanya. Ayah memutar-mutar Marie sampai berteriak kesenangan sampai Ayah pusing.
Marie melihat Luna berdiri di depan pintu. Dia menatap Marie dan ayah, memandangi Marie yang berputar. Akhirnya Ayah menurunkan Marie. Mereka tertawa bersama dan berjalan sempoyongan. Marie sekali lagi melihat Luna menatapnya dan dia memberikan pandangan itu.
Flash back off
Kebencian.
Ya, itulah pandangan itu. Dia membenci Marie.
Kenapa? Karena cara Ayah dulu memperlakukan Marie yang berbeda dengannya. Ayah tidak pernah pilih kasih. Luna merayakan ulang tahun di bulan Maret dan ulang tahun Marie seminggu setelah Natal. Luna selalu mendapatkan lebih banyak kado daripada Marie. Apa yang diinginkan Luna, main putar-putar di pundak ayah?
Kenyataan itulah yang menghantam kepala Marie seperti palu. Tentu saja, itu yang diinginkan Luna. Karena Luna tidak pernah melakukan permainan itu sejak dia kecil. Dia merasa dikucilkan dalam keluarga sendiri. Begitu melihat perlakuan Ayah terhadap Marie.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments