Setelah kepergian Erik, Linda bangkit lalu berjalan ke kamarnya. Dia membuka lemari pakaiannya kemudian mengambil salah satu pakaian yang terlipat rapi di dalamnya. Linda mengambil dompet kecil dari dalam saku pakaian itu lalu mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya.
"Satu juta," gumam Linda setelah selesai menghitung uang di tangannya. Sebenarnya Linda ragu untuk memberikan uang ini kepada Erik. Tinggal ini simpanannya satu-satunya. Tabungannya dari hasil menjahit yang dia sisihkan sedikit demi sedikit.
Linda sempat berfikir untuk meminjam dari kakaknya, Sari. Tetapi dia ingat dia dua bulan sebelumnya dia sudah meminjam kepadanya dan sampai saat ini belum bisa dia kembalikan. Jadi terpaksa Linda menggunakan uang simpanannya ini agar Erik tidak marah kepadanya.
Selang dua jam kemudian Erik kembali ke rumah.
"Gimana? Kamu sudah dapat uangnya?" tanya Erik tanpa basa-basi. Linda hanya mengangguk pasrah.
"Mana?" Erik menodongkan tangannya.
Dengan berat hati Linda memberikan uang tadi kepada Erik.
Erik menghitung kembali uang pemberian Linda. Matanya langsung membulat begitu selesai menghitung dan mengetahui jumlahnya genap satu juta.
"Makasih ya sayang ... Kamu benar-benar bisa diandalkan," ucap Erik sambil mengecup kening Risma. Sikapnya kepada Linda pun langsung berubah. "Ternyata aku tidak salah memilih kamu menjadi istriku," ucap Erik sambil mencolek dagu Risma.
Linda menyunggingkan senyum di bibirnya. Hanya diperlakukan seperti ini saja hati Linda langsung berbunga-bunga dan dalam sekejap dia lupa bagaimana sikap Erik kepadanya sebelumnya.
Erik bahkan tidak menanyakan darimana Linda mendapatkan uang itu. Dia tidak peduli. Yang dia tahu sekarang uang itu ada di depan matanya.
Erik lalu menyimpan uang itu ke dalam dompetnya.
"Tapi Mas ... Aku tidak punya uang untuk membeli lauk dan sayuran."
Wajah Erik langsung berubah masam mendengar kata-kata Linda. Dengan kesal dia membuka lagi dompetnya dan mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan.
"Ini ... !" Erik memberikan uang itu kepada Linda dengan wajah masam. "Bukankah waktu itu aku sudah memberimu seratus ribu?!" gerutu Erik.
"Itu sudah seminggu yang lalu Mas."
Erik hanya memberi jatah seratus ribu untuk seminggu. Dia tidak peduli uang itu cukup atau tidak, Erik tidak mau tahu. Dia hanya tahu setiap pulang ke rumah harus ada makanan di meja makan.
"Ini juga sudah waktunya bayar uang sekolah Aruna," imbuh Linda. Tetapi Erik sama sekali tidak menghiraukannya.
"Bayar pakai uangmu bisa kan? Uang hasil dari menjahit itu kamu gunakan buat apa? Masa dari dulu sampai sekarang menjahit nggak ada hasilnya?!" Erik benar-benar tidak mau tahu urusan keuangan rumah tangganya.
Selama ini uang hasil menjahit Linda dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena uang seratus ribu dari Erik tidak cukup untuk seminggu. Jangankan seminggu, cukup untuk tiga hari saja sudah luar biasa.
"Biasanya juga pakai uangku kan Mas? Sekarang aku sudah tidak punya uang lagi." Risma memberanikan diri menjawab.
"Nanti aku carikan. Aku harus pergi sekarang!" Erik pamit kepada Linda. Tetapi bukannya keluar rumah, Erik justru masuk ke dalam kamar.
Beberapa saat kemudian Erik keluar dari kamar dan sudah mengganti pakaiannya. Erik terlihat sangat rapi dan tampan. Dia lebih terlihat seperti anak muda yang akan nongkrong dibanding sopir taksi online.
"Kamu mau kemana Mas?" tanya Linda dengan sedikit takut.
"Mau setor cicilan setelah itu cari orderan. Kenapa?!" ketus Erik.
Linda tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Dia hanya memandangi Erik yang akhir-akhir ini sering membeli baju baru. Bagaimana Erik bisa membeli baju-baju itu jika dia tidak pernah punya cukup uang untuk membayar angsuran mobil?
Sedangkan jika Linda menginginkan baju baru, dia akan membeli kain yang paling murah di pasar lalu menjahitnya sendiri, itupun tidak mesti satu tahun sekali.
Demikian juga Aruna, putri semata wayangnya dengan Erik. Jarang sekali Linda membelikan baju baru untuk anaknya itu. Linda sering membuatkan baju dari sisa kain jahitan yang sengaja ditinggalkan oleh pelanggannya. Beruntungnya Aruna adalah anak yang penurut seperti dirinya. Dia tidak pernah protes dengan baju buatan Linda yang seadanya.
Pukul sebelas malam Erik baru pulang ke rumah. Linda belum tidur karena masih harus menyelesaikan jahitan.
"Kamu sudah pulang Mas?" sambut Linda. Erik hanya mengangguk dan berjalan melewatinya.
"Kamu mau makan dulu?"
"Aku sudah makan tadi," jawab Erik acuh.
"Mas, apa kamu sudah mendapatkan uang untuk membayar uang sekolah Aruna?"
Erik menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menatap Linda sinis. Begitu saja sudah membuat Linda ketakutan.
"Aku benar-benar sudah tidak punya uang Mas," ucap Linda lirih tanpa berani menatap balik Erik.
"Kamu bisa lihat tidak aku baru pulang?! Aku ingin istirahat, bukan malah di suruh mikir bagaimana caranya mendapatkan uang?!"
"Tapi Mas ... bukankah seharian tadi kamu bekerja? Apa kamu tidak dapat penumpang sama sekali?" Linda memberanikan dirinya. Dia benar-benar terdesak. Seandainya saja dia masih mempunyai uang simpanan, dia tidak akan berani bertanya seperti ini. Dia lebih memilih menggunakan uangnya sendiri daripada harus mendapatkan kemarahan Erik.
"Aku kan sudah bilang, pakai uangmu dulu?! Kamu punya uang kan?!"
"Uangku sudah aku gunakan untuk menutupi kekurangan cicilan mobil tadi siang. Itu uang tabunganku Mas." Erik tidak jadi marah mendengar penjelasan Risma.
"Ya sudah ... " Erik mengeluarkan dompetnya. "Berapa?"
Linda dapat melihat uang di dalam dompet Erik. Sebenarnya Erik mempunyai uang, tetapi dia hanya mau menggunakan uangnya untuk dirinya sendiri.
"Seratus ribu," jawab Risma sambil terus melihat isi dompet Erik.
Erik memberikan uang seratus ribu kepada Risma. "Kamu sudah menghabiskan dua ratus ribu seharian ini saja!" gerutu Erik sambil berlalu meninggalkan Linda.
Linda hanya terdiam. Kata-kata Erik cukup menyinggung perasaannya, seolah uang dua ratus ribu itu Linda gunakan untuk keperluannya sendiri. Kenapa Erik seperti tidak rela mengeluarkan uang seratus ribu untuk anaknya sedangkan Linda rela memberikan satu juta untuk cicilan mobilnya?
Linda kembali duduk di depan mesin jahitnya. Matanya berkaca-kaca karena memikirkan sikap Erik kepadanya.
Dulu ketika orang tua Erik masih hidup semuanya terasa mudah. Meskipun Erik sudah berkeluarga, mereka selalu memberi apa yang Erik butuhkan termasuk uang. Mereka sangat memanjakan Erik dan tidak pernah menyuruhnya untuk bekerja. Kebutuhan Erik dan Linda mereka penuhi semuanya.
Keadaan menjadi sulit setelah usaha keluarga Erik mengalami kebangkrutan dan ayah Erik meninggal. Erik harus menerima kenyataan jika ayahnya meninggalkan banyak hutang dan membuat dia harus menjual harta peninggalan sang ayah untuk melunasi hutang. Ibunya pun meninggal tidak lama kemudian karena tidak bisa menerima kenyataan lalu sakit-sakitan.
Sejak itulah sikap Erik berubah. Dia menjadi gampang marah dan uring-uringan. Erik tidak pernah bekerja seumur hidupnya. Dia tidak terbiasa hidup susah, dia tidak siap jika harus membanting tulang untuk menghidupi anak istrinya. Dia tidak rela jika uang yang dia hasilkan harus dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, meskipun itu anak dan istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Tri Soen
Dasar Erik suami gak tau diri 🙄
2023-02-03
0