Ponsel Lita berbunyi untuk kelima kalinya. Penelepon adalah klinik kesehatan jantung tempat ia bekerja hampir setahun ini. Lita pilih klinik itu sebagai tempat praktek lebih karena dekat rumah. Kelengkapan sarana dan alat-alat kesehatan yang cukup modern. Bagi Lita klinik tempat kerjanya telah dirasa memadai dalam lakukan tes kesehatan bagi para atlet.
Jika saja pasien yang meminta Lita datang bukanlah Alen, tentunya ia akan bergegas. Lita teringat peristiwa satu setengah tahun yang lalu Alen putuskan untuk tinggalkan dirinya. Alen lebih memilih untuk menikahi Fiorentina, putri pemilik klub bola tempat mereka bernaung.
Lita sendiri bergabung dengan klub sejak mahasiswa kedokteran tahun keempat. Ia diminta oleh Alen, pengumpan sekaligus penyerang lubang bagi klub. Kala itu Alen dianggap bintang muda yang sedang naik daun. Setiap permintaannya selalu dituruti oleh pihak manajemen klub.
"Dokter Lita kok lama sekali sih, Itu Pak Alen sudah dari tadi uring-uringan," protes Sari seorang petugas resepsionis klinik ketika Lita datang.
"Sar, saya tadi ke kampus dulu ada urusan penting," jawab Lita
"Tumben Dokter Lita akhir-akhir ini kok jadi rajin ke kampus," ujar Sari sembari berikan hasil tes ekg dan rekam jantung pasien.
"Terima kasih Sari," Lita berikan senyum dan ulurkan tangan kanannya untuk terima berkas pemeriksaan dari Sari, "Ini urusan penting! Masalah mahasiswa yang dituduh penggelapan dana!"
Sari langsung dapat menerima penjelasan Lita. Terbukti sari tidak ajukan pertanyaan lanjutan, dan kembali larut dalam aktivitas pekerjaannya. Agaknya penggelapan dana oleh oknum mahasiswa bagi Sari suatu hal yang tidak layak untuk dibahas.
"Tadi siapa yang lakukan asistensi pada Pak Alen?" tanya Lita pada Sari.
"Mas Ratno Dok!"
"Bagus lah kalau gitu!" ujar Lita, "saya ke ruangan dulu ya Sari, kalau ada yang tanya!"
"Baik Dok," Sekilas Sari melihat kearah Lita, lalu melanjutkan kerjaan administrasi seperti biasanya.
Lita masuk ke area dalam bangunan klinik, tinggalkan meja resepsionis yang berada di depan bagian klinik. Pada area bagian dalam terdapat lima kamar periksa dan konsultasi pasien. Oleh pihak manajemen Lita diberi ruang praktik yang paling ujung.
Tak lama kemudian Alen masuk ke dalam ruang praktik dengan ditemani Ratno. Alen tampak masih kenakan kimono khusus pasien yang ikuti program tes kesehatan. Ratno tinggalkan ruangan setelah berikan kelengkapan hasil tes lainnya.
"Kok lama betul datangnya!" protes Alen dengan nada yang dibuat sedikit manja. "habis waktu saya diladeni batangan!"
"Sorry, ada perlu dadakan tadi di kampus," ujar Lita meminta maaf pada Alen berikut berikan alasan terlambat, Lita tidak ingin tanggapi ungkapan terakhir Alen yang menurutnya tidak relevan.
"Kan saya saya sudah sampaikan agenda ini dari dua minggu lalu," Alen tunjukkan rasa kesalnya pada Lita.
"Maaf saya di Qatar waktu itu, jadi kurang koordinasi dengan pihak klinik," jawab Lita.
Sengaja Lita menjawab seperti itu. Ia ingin tegaskan bahwa hubungan mereka hanya tak lebih antara pasien dan dokter. Alen adalah pasien dan klien dari klinik. Lita posisikan dirinya sebagai profesional yang bekerja di klinik kesehatan itu.
"Oke, tapi kamu kan seharusnya ngerti kalau saya datang dari jauh," jawab Alen, "ngatur jadwal ke sini tuh nggak mudah!"
"Yang nyuruh kamu jauh-jauh kesini itu siapa? Jangan-jangan Fio malah nggak tahu?" ujar Lita yang tidak mau disalahkan di belakang hari oleh Fiorentina, istri Alen.
"Tahulah dia, masak saya nggak kasih tahu," jawab Alen santai coba yakinkan pada Lita bahwa istrinya percaya penuh pada dirinya, "kan kamu sudah kami anggap kayak kakak sendiri."
Begitulah Alen, selalu jadikan faktor usia dan kedewasaan untuk menekan dirinya. Lita hapal betul akan gaya klasik dari Alen. Selalu menuntut kedewasaan Lita, dimana yang lebih tua sudah seharusnya mengerti pada orang yang lebih muda. Alasan yang sama juga Alen gunakan sebagai senjata pamungkas untuk tinggalkan Lita.
Layaknya gadis pintar dan berpandangan luas, Lita tak ingin larut dalam kesedihan. Saat ini Lita fokus untuk kembangkan tata kelola kebugaran atlet yang akan ia jual. Jika telah siap maka paket program atlet itu akan ia tawarkan pada mitra bisnisnya kelak.
Tak ada rasa sesal di hatinya, walau harus diakui Lita telah banyak habiskan waktu untuk Alen. Pengorbanan Lita amat banyak, ia harus mengubah rencana dari spesialis kandungan hingga seperti saat ini. Hanya demi kukuhkan karir dan cita-cita pasangannya. Alen sempat punya rencana menjadi pelatih sepak bola setelah pensiun nanti. Setidaknya hal ini masih dapat ia perjuangkan bersama Levy kelak.
Kalau gua mau, gua juga bisa jadi pelatih bola juga kalau Levy datang. Langsung belajar dari pelatih standar FIFA, bisa jadi malah jadi presiden klub, ujar Lita sembari tersenyum sendiri dan tertawa dalam hati.
"Lit, Lita kok malah bengong sih," goda Alen merasa menang karena ucapannya tadi dirasa telah berhasil sakiti hati Lita.
"Kenapa kamu nggak pakai dokter klub aja sih Len?" tanya Lita coba alihkan perhatian Alen. Lita khawatir jika Alen sempat perhatikan dirinya menghayal tadi menjadi mitra Levy dalam kepelatihan. Tidak sedikitpun ia ambil hati pernyataan Alen tadi.
"Payah, nggak ada dokter yang bisa kasih resume yang jujur," tukas Alen tegaskan bahwa sebagai putra mahkota klub ia amat disegani dan sebagai pemegang kendali di klub sepak bola milik mertuanya.
"Tinggal diminta bicara yang benar saja masak sih nggak mau?"
"Payah dokter sekarang mah, Sama kayak kamu gini, nggak mau layani pasien dengan tulus!"
"Hei! Jangan sembarangan ya! Kalau saya menolak untuk bacakan hasil tes, baru kamu bisa bilang begitu! Asal kamu tahu kalau sekedar temani lakukan tes, saya memang tidak wajib! Dan memang sudah jadi tugas perawat," jawab Lita dengan suara meninggi, tak terima atas tuduhan Alen.
"Ya, Iya maaf?"
Walau keadaan telah memanas, Lita tetap bacakan report pemeriksaan Alen. Tak ada kendala berarti pada kesehatan Alen. Pada kesimpulan akhir Lita tuliskan bahwa Alen dapat bermain hingga umur 35 tahun bahkan lebih.
Selain Alen, Lita juga kedatangan pasien seorang eksekutif muda calon pimpinan cabang bank swasta. Praktis hanya dua pasien pada hari itu yang Lita hasilkan. Tidak banyak, namun secara nominal telah berikan kontribusi bagi klinik, mengingat ia baru bergabung selama enam bulan.
Mobil yang dikendarai Lita baru saja keluar area rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Lita memang ada temu janji untuk awal percakapan. Lita bermaksud lakukan penjajakan peluang kerja di sana. Ia merasa rugi jika izin praktiknya hanya digunakan di dua tempat. Lita berharap izin praktik ketiga miliknya di sebuah instansi milik pemerintah.
Beruntung Jam pulang kantor telah lewat. Lita memacu mobilnya lebih kencang dari biasanya. Baru saja ia terima pesan singkat dari Heru, jika pelatih yang Lita janjikan telah hadir di ruang kerjanya. Lita was-was jika Levy harus jalani proses perkenalan oleh Heru tanpa dirinya.
"Malam Pak Heru," sapa Lita ramah tidak.seperti biasanya, "maaf langsung masuk soalnya Rosa sudah tidak ada."
"Tidak apa-apa Dokter Lita," jawab Heru, "silahkan Dokter Levy, untuk dokumennya agar bisa disiapkan!"
Ada dua hal yang membuat Lita terkejut. Pertama panggilan akrab Heru terhadap Levy, artinya obrolan antara mereka telah cukup lama. Kedua, permintaan dokumen oleh Heru pada Levy. Lita bisa rasakan ada suatu hal yang tidak benar di sana.
Lita menyaksikan Levy berdiri dan terlihat seperti meminta izin pada Heru. Kemudian Levy berbalik menghadap Lita. Wajah Lita yang tadinya tegang, tiba-tiba berubah penuh senyum. Orang yang selalu hadir dalam mimpinya kini nyata telah berada di hadapannya.
"Tenang Lita, Tolong keluarkan kotak dokumen Hello Kitty," Terdengar pelan suara Levy ketika posisi mereka telah berhadap-hadapan.
Lita buka tas selempang kulit miliknya lalu serahkan sebuah kotak plastik transparan bergambar Hello Kitty itu pada Levy, "Semua ada di dalam."
"Terima kasih!"
"Tidak masalah!" Lita tiba-tiba terlihat seperti mengantuk.
"Kamu duduk disana ya!"
"Baiklah Levy!"
Dari sofa panjang itu, Lita dapat saksikan Levy perlihatkan sebuah sertifikat warna hijau pupus pada Heru. Lita yakin benar sertifikat yang diperlihatkan Levy adalah ijazah program spesialis miliknya. Adapun Heru terlihat mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Kejadian yang sama ketika Levy tunjukkan sertifikat kedua warna merah muda. Wajah Heru kembali tersenyum, bahkan terlihat sangat senang. Lita yang melihat kejadian itu mencubit paha kanannya sendiri. Lita ingin pastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.
Lita beranikan diri maju mendekat ke arah dua pria itu. Sedangkan Levy kedapatan tengah masukkan kembali berkas milik Lita kedalam kotak dokumen. Ketika Lita tiba di sekitar mereka, keduanya telah berdiri tepat di depan kursi masing-masing.
"Oke Dokter Levy, kami berharap banyak anda dapat kembangkan klub sepak bola kami," ujar Heru
"Kalau saya sifatnya hanya membantu Pak Heru, Dokter Lita yang akan dominan di tim," jawab Levy seraya pulangkan kotak dokumen itu pada Lita.
"Pokoknya saya yakin kalau Dokter Lita dan Dokter Levy akan mampu bangkitkan tim sepak bola kampus," ujar Heru optimis.
"Terima kasih atas kepercayaannya Pak!" jawab Levy. "ayo Lita kita pamit!"
Lita berikan anggukan dan ikuti Levy keluar ruangan. Lita belum bisa percaya atas semua kejadian yang disaksikannya. Heru yang terkenal kritis, hanya mampu mengangguk sebagai tanda setuju dan mengiyakan atas segala perkataan Levy. Bahkan Heru seperti tak mampu bedakan dokumen. Sungguh mengherankan.
...☘️☘️☘️ ~ bersambung ~ ☘️☘️☘️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments