Coach Kami, Mr. Drac
Tak sampai satu jam sejak Lita tinggalkan Stadion Losail, mobil bus dengan bagian atap terbuka melintasinya. Mobil bus itu memang disediakan khusus oleh panitia piala dunia Qatar 2022 untuk arak-arakan kemenangan timnas Argentina.
Akhirnya bus kemenangan itu tiba tepat di depan hotel tempat Lita menginap. Walau telah saksikan seluruh partai final hingga sesi penyerahan piala tak membuat Lita harus sia-siakan kesempatan itu. Penuh sukacita Lita ingin sekali turut serta dalam iring-iringan pesta kemenangan Tim Tango.
Lita ingin dekati tim juara, yang sejak awal kompetisi telah banyak dijagokan pecinta sepak bola. Terutama bintang utamanya, Lionel Messi. Lita ingin dapat menyentuh tangan salah satu dari tim juara.
Namun, apa yang diinginkannya harus ia urungkan. Gelombang manusia yang terus berdatangan. Selain itu juga berusaha ikuti laju bus dari bagian samping bus. Akhirnya arus manusia itu tiba juga pada Lita. Sesuai dengan perkiraannya, Lita pun terpental dari posisi tunggunya semula..
"Aduh, duh, duh," Terdengar pekikan Lita saat dirinya ikut terdorong gelombang manusia itu.
"I hold you! .. I can hold you!" kata seorang pria berbaju hitam sambil pegangi kedua bagian lengan atas Lita dari arah belakang tanpa kesulitan sedikitpun.
Kuatnya dorongan dari banyak manusia itu membuat Lita terhuyung ke belakang. Bahkan sampai-sampai kaki kanan Lita menginjak kaki kanan penolongnya itu. Injakan kaki tadi menjadi gerakan terhuyung terakhir bagi Lita. Bahkan pria itu kini telah membalikkan badan untuk melindungi Lita dari dorongan arus gelombang manusia yang sangat kuat itu.
"Maaf, maaf tidak sengaja!" Keluar ucapan dari Lita dengan cepat, sejenak ia lupa bahwa tidak sedang berada di tanah air.
"No problem Mam!" jawab pria bule itu sopan.
Lita bersyukur karena pria bertubuh tinggi kurus dapat menahan tubuhnya, maka ia dapat terhindar dari luka akibat jatuh. Trotoar hotel yang kasar sangat bisa sebabkan luka pada dirinya. Bahkan jika ia jatuh dengan dua telapak tangan sebagai tempat tumpuan.
Bisa saja ada tambahan luka pada lutut jika tumpuan tangannya tidak kuat. Akan lebih bahaya jika sempat jatuh dan tersungkur. Bisa saja ia dapat terinjak-injak para oleh suporter lain yang relatif bertubuh besar dibandingkan dirinya. Tak sanggup Lita membayangkannya jika hal itu harus terjadi.
Selain mengucap rasa syukur dalam hati berulang kali, Lita juga merasa heran pada pria itu. Bagaimana bule berwajah pucat itu bisa mengerti perkataannya tadi. Penuh keisengan Lita coba buat sebuah obrolan untuk pastikan dugaannya.
Lita ucapkan lagi rasa terima kasihnya pada bule yang terkesan kaku itu, "Terima kasih sudah menolong."
"It's okay Mam!" jawabnya, "bahasa?"
"Ya, Indonesia!" balas Lita semakin yakin bahwa bule itu memang mengerti ucapan yang ia katakan. Ia juga bersyukur bahwa penolong itu tak sekaku penampilannya.
"Ya, Indonesia, saya tahu Indonesia! Bahasa Indonesia rights?" ujar bule itu ramah sambil bergerak ke pinggir arah kaca lobi hotel guna hindari orang yang lalu lalang.
"Good!" jawab Lita dengan ceria seraya tunjukkan jempol kanan di depan wajah sembari ikuti arah bule itu bergerak.
"Lita!" ujar Lita sembari ulurkan tangan kanannya.
"Zhelev Hristov," jawab bule itu membalas uluran tangan Lita hingga mereka lakukan gerakan bersalaman.
"Jelep, who?" tanya Lita kurang yakin akan pendengarannya serta lidah yang kaku jika ucapkan huruf Z dan V.
"Zhelev Hristov!" ulang pria itu dengan nada lebih dipanjangkan, tapi tetap saja seperti suara iklan batuk berdahak bagi pendengaran Lita.
"May I call you with Levy," ujar Lita yang mendadak teringat nama kucing berjenis Persia peliharaannya ketika kecil, "just Levy!"
"Levy.. why not?" jawab Levy sambil buka senyuman yang lebar, "Lita Levy.. mmh.. sounds good!"
Merah mendadak pipi Lita. Kulit putih pada pipi itu memang jadi idaman bagi para gadis. Pipi Lita dapat mudah memerah karena kulitnya dapat dibilang sangat putih untuk ukuran manusia Indonesia.
Lita pun sempat syok beberapa saat. Niat awalnya ia hanya ingin mempermudah dalam menyebut nama itu. Tak ada maksud yang lain.
Namun, Lita yakin tidak ada maksud pria itu tak bermaksud kurang ajar padanya. Apa yang diucapkan oleh Levy hanya spontanitas belaka. Untuk kesekian kali Lita terdiam tak berani menatap wajah pria itu. Ia hanya tundukkan kepala dan melihat ujung sepatu kets-nya.
Entah apa isi kepala Lita saat itu hingga tanpa ragu ia berkenalan dengan bule itu. Lita merasa tidak asing dengan Levy. Dari hasil perkenalan yang baru saja ia lakukan diketahui bahwa teman barunya itu asal negara Bulgaria.
"Great moment huh?" ujar Levy sambil menatap iring iringan yang mulai menjauhi mereka.
"I agree," jawab Lita singkat
"So what next!" tanya Levy, "minum kopi.. shisha?"
"Apa?" tanya Lita karena kurang mengerti akan tawaran kedua dari Levy.
"Coffee shop in front of us!" ujar Levy sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah kafe yang ada di seberang jalan.
"Oh, oke!" jawab Lita tanpa sadar bahwa baru saja ia telah menerima tawaran orang asing yang baru saja dikenalnya.
Spontan jadwal pulang pesawat yang baru besok malam Lita jadikan sebagai alasan. Setidaknya hal itu cukup logis dijadikan sebagai pembenar untuk terima tawaran Levy. Harus diakui saat itu Lita memang butuh sesuatu yang segar atau hangat. Benda dengan sifat seperti itu yang dibutuhkan dalam proses relaksasi saluran napas bagian atas miliknya.
Bayangkan, tenggorokan itu ia pakai untuk berteriak hampir tiga jam lamanya. Bahkan terkadang histeris. Mengingat keseruan partai final yang baru ia saksikan.
Mereka kini duduk pada sebuah meja kecil bundar beralaskan taplak meja warna merah. Sambil tunggu pesanan kopi hitam dan shisha rasa mint permintaan Lita, Levy membuat sebuah pengakuan. Bahwa ia bukanlah fans Argentina. Ia lebih pilih Kroasia untuk dijagokan.
"Apa karena sesama negara Balkan?" tukas Lita.
"Benar itu!" jawab Levy spontan.
"Final, tidak jagokan French?" tanya Lita, "kan sama-sama Eropa."
"Perancis sudah pada piala dunia lalu," jawab Levy, "jadi sekarang lebih pantas Argentina kan!"
Untuk sesaat obrolan mereka terganggu, pesanan kopi dan alat shisha mereka tiba. Pelayan yang sepertinya berasal dari Filipina itu, juga bawakan paket roti manis dan manisan khas Arab. Sungguh penganan yang cocok menjelang tengah malam.
Mengganti kata French menjadi Perancis membuat Lita semakin yakin bahwa lawan bicaranya sangat paham bahasa yang ia gunakan. Lalu Lita buat keputusan hanya akan pakai bahasa Indonesia. Terkadang campuran bahasa akibatkan beberapa arti dan makna menjadi hilang dan kerap timbulkan persepsi yang berbeda.
"Apa yang kamu lakukan Lita?" tanya Levy dengan bahasa yang sangat baku.
"Emh, saya dokter olahraga," jawab Lita setelah sempat sepersekian detik untuk renungkan pertanyaan itu, "juga dosen bidang olahraga."
"Di Indonesia?" tanya Levy.
"Ya, bahkan saya tidak pernah berniat bekerja di luar negeri," jawab Lita, "kalau kamu?"
"Saya petani Raspberry, teruskan usaha keluarga," ujar Levy merendah, "juga ada bisnis agensi pemain sepak bola."
"Ah, yang bener!" ujar Lita mendadak antusias pada profesi kedua Levy, "pelaku bisnis sepak bola juga rupanya ya?"
"Begitulah, kami mencari bakat muda dari negara negara Balkan."
"Bisakah kamu ceritakan bisnis sepak bola itu pada saya?"
Tanpa canggung Levy terangkan bisnis agensi pemain yang ia lakukan. Lita menyimak uraian Levy dengan serius. Lita berharap akan dapat suatu masukkan atau pencerahan dari penjelasan Levy.
Harapan Lita, sebagian penjelasan Levy mengandung solusi atas problemnya saat itu. Sebelum berangkat ke Qatar, Lita telah menyanggupi menjadi penanggung jawab program sepak bola kampus. Suatu hal yang tidak ia kuasai.
"Selain sebagai pemilik, kamu lakukan hal apa di bisnis itu?" Lita merasa heran ada kaitan apa antara Raspberry dan agensi pemain bola.
"Saya seorang psikiater atlet," jawab Levy kalem, "Saya terbitkan assessment terkait emosi dan proyeksi tumbuh kembang pemain untuk bermain di liga Eropa."
"Oh seperti itu, saya tadi sempat berpikir jika pekerjaan anda benar-benar ada hubungan dengan sepak bola," ujar Lita pelan seperti ada rasa kecewa disana.
"Ya memang, bahkan sebelumnya saya sempat sekolah pelatih sepak bola," jawab Levy dengan tenang sambil menghirup kopi hitamnya.
"Hebat ... hebat!" pekik Lita campur tertawa, lalu tepukan kedua telapak tangan hingga timbul bunyi lumayan keras, "terima kasih Tuhan sudah pertemukan orang yang tepat."
Melihat kelakuan Lita yang sedikit norak, Levy hanya tersenyum. Dengan gerakan tenang ia mengambil manisan dari piring kecil serta mengunyahnya dengan pelan. Lita sadar bahwa ia telah jadi perhatian orang-orang akibat bunyi tepuk tangannya tadi. Lita abaikan orang-orang itu dengan cara menghisap shisha rasa mint itu dalam-dalam.
"Jika kamu benar-benar pernah jadi pelatih tim sepak bola, apakah kamu mau berbagi pengalaman dengan saya?" Lita bertanya sesopan mungkin pada Levy, setelah mereka hanya diam untuk beberapa saat
"Ya ... tentu saja!" ucap Levy masih dengan wajah tersenyum walau terkesan dingin bagi orang yang belum mengenalnya, "tapi apa perlunya kamu tentang teknik melatih sepak bola."
Ditanya seperti itu terbersit dalam kepala Lita untuk memberi tahu masalah yang menderanya, "Serius mau dengar cerita saya?"
"Silahkan," jawab Levy singkat.
Serasa dapat angin untuk lepaskan segala unek-uneknya, Lita pun berkata, "Saya memang pernah jadi bagian tim sepak bola, tapi hanya sebagai bagian medis. Saya sama sekali tidak tahu cara melatih sepak bola. Kemarin saya diminta oleh anak didik saya yang terancam ...."
"Whoa ... whoa ... whoa ... please take it slow miss, waktu kita masih panjang," ujar Levy khawatir tidak dapat mencerna perkataan Lita dengan baik, terdengar lebih mirip dengan omelan.
"Aish ... maaf ya," ucap Lita sambil menarik cangkir kopinya lagi.
"Oke Lita, silahkan dilanjut ceritanya," pinta Levy dengan sopan agar Lita dapat teruskan bercerita.
Begitulah pada malam itu Lita tumpahkan segala keluhannya pada Levy terkait sepak bola. Mulai dari awal hingga akhir. Namun, mereka tak hanya cerita tentang sepak bola. Ada kalanya tentang pribadi mereka yang bersifat umum.
Tak terasa waktu telah mendekati sepertiga malam. Lita telah kenyang bercerita juga banyak terima masukan malam itu. Lita pikir sudah saatnya untuk akhiri percakapan mereka.
Lita tak lagi sanggup menahan kantuknya. Ia pun terpaksa undur diri tak lama berselang dari ia menguap untuk kali ketiga. Lita ucapkan terima kasih dan mohon undur diri.
Lita pun pergi tinggalkan Levy. Kembali ke hotel tempat ia menginap. Lita telah berada di hotel itu sejak partai ketiga babak penyisihan piala dunia Qatar 2022. Praktis tak sekalipun ia berpindah dari hotel itu selama pesta bola dunia Qatar berlangsung.
...☘️☘️☘️ ~ Bersambung ~ ☘️☘️☘️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
francess
lanjut thor
2023-02-11
0