BAB 02 ~ Laib, Dimanakah Pengirimmu? ~

Lita hempaskan pantatnya pada kursi kayu itu. Lita baru saja selesai berikan materi kuliah tentang kram, cara pencegahan dan  penanganannya. Materi itu telah acap kali ia bawakan di perkuliahan, simposium ataupun pelatihan bagi para praktisi olahraga.

Tapi ada yang berbeda kali ini. Lita terlihat tidak begitu lepas saat sampaikan materi itu. Sepertinya tekanan Heru, wakil rektor tiga bidang kemahasiswaan semakin dirasakan Lita.

Tepatnya sejak Lita beri janji bahwa akan ada orang yang bersedia jadi asisten pelatih di klub sepak bola kampus. Sejak itu hampir setiap kali bertemu Heru kerap kali bertanya tentang kepastiannya. Lita merasa bosan jika terus ditanyakan.

"Bu Lita jadi menghadap ke Pak Heru lagi?" tanya Dito yang tiba-tiba telah berdiri di sisi samping meja saat Lita mulai terhanyut dalam lamunan.

"Eh kamu Dit, kok belum keluar?" tanya Lita seraya masukkan peralatan mengajar ke dalam tas selempang yang terbuat dari bahan kulit, "nggak punya kelas yang lain lagi apa?"

"Agak siangan Bu, Apa Ibu jadi mau temui Pak Heru lagi?"

"Ya jadilah Dit, masak iya harus mundur!"

Begitu keras hati Lita. Telah tiga kali ia temui Heru, wakil rektor bidang kemahasiswaan itu. Tiga kali pula ia ditolak dengan argumen yang terkesan tak masuk akal. Tapi bukan Lita namanya jika gampang menyerah. Jangankan menyerah, tanda-tandanya pun tak pernah ada terlihat. Lita tidak akan pernah terima jika klub sepak bola kampus harus bubar.

"Justru itu Bu, kalau memang berat ya.. nggak usah kesana lagi aja Bu," pinta Dito.

"Tanggung Dit, Kok kamu jadi lembek gini sih?"

"Maaf ya Bu, Tapi saya dengar-dengar dari orang tentang Pak Heru," Dito seperti ragu dalam mengutarakan gosip yang beredar.

"Emangnya kenapa dia!"

"Sebenarnya ini cerita tentang Ibu dengan Dia!"

Lita terdiam untuk sesaat. Memang ia sempat dengar gosip itu. Yang bikin heran mengapa bisa cerita yang beredar justru tidak sama dengan yang ia alami.

Heru sempat meminta agar dirinya bersedia untuk hubungan yang lebih dekat. Lebih dari sekedar hubungan rekan kerja. Setidaknya telah dua kali Heru memohon agar Lita bisa membuka hatinya bagi seorang duda yang ditinggal mati. 

Oh ... rupanya itu toh pandangan Dito dan anggota tim sepak bola yang lain. Cukup pantas jika ia berjuang untuk mereka pikir Lita dalam hati.

"Oh, kalau tentang itu mah biarin aja Dit, yang penting kan saya-nya, Kalau saya nggak mau bisa apa dia, ya kan?" Lita terkesan gede rasa.

"Masalahnya Bu yang kami dengar bukan seperti itu,"

"Maksudnya?"

"Malah kebalikannya Bu,"

Waduh apa lagi ini, salah tanggap artinya gua. sialan si Heru. Bisa aja dia ganti cerita, Lita membatin.

"Apa benar Bu Lita yang pernah ajak makan malam Pak Heru!"

"Apa alasan saya harus seperti itu?"

"Supaya tim kami tetap ada dalam agenda kemahasiswaan."

"Apa? Kamu percaya dengan cerita itu?"

"Nggak!"

"Lha terus?"

"Kalau memang berat kondisinya, nggak usah lagi Ibu bicara ke Pak Heru!"

"Gimana sih kamu!"

"Pokoknya saya pastikan anak-anak juga udah ikhlas kok kalau memang harus bubar," jawab Dito yang telah ikhlas bila Lita tak mampu pertahankan keberadaan klub sepak bola kampus.

Plak ... terdengar keras bunyi gerakan salam pendekar kung fu. Dimana tinju dan telapak tangan Lita diadu. Lita tunjukkan rasa gemas terhadap Heru dengan berkata,"Kurang ajar nih sih Heru!"

"Kok Bu Lita marah nyampe segitunya, Artinya kejadian itu nggak bener ya Bu," tukas Dito.

"Ya nggak lah,* potong Lita dengan cepat, "biar nanti saya tanyakan langsung sama Pak Heru."

"Lebih baik jangan Bu, jangan-jangan ada orang lain yang jadi kompor!'

"Bisa jadi sih?"

Lita lalu berpikir tentang kemungkinan itu. Dalam tempo singkat Lita telah berhasil mengetahui siapa yang hembuskan kabar bohong itu. Pikiran waras Lita dapat dengan mudah menduga orang itu adalah sekretaris Heru. 

Dugaannya pun semakin kuat. Ia pernah saksikan wajah tidak menyenangkan dari Rosa. Saat dirinya menemui wakil rektor bidang kemahasiswaan itu.

"Oke Dit, Saya harus ke ruangan dosen sekarang," ujar Lita, "apa masih ada lagi yang mau kita bicarakan?" 

"Nggak ada lagi Bu," jawab Dito, "cuma mau kasih gambaran aja, kalau memang harus gagal kami nggak akan nyalahin Ibu!"

"Oke, saya sudah paham itu, Terima kasih," jawab Lita. "tapi saya akan tetap mencoba sebisa saya."

"Terima kasih Bu," Terdengar ucapan Dito mengakhiri percakapan itu.

Lita segera berlalu tinggalkan ruang kelas. Pikirannya campur aduk antara geram dan kecewa atas gosip yang beredar. Namun, beruntung Lita masih dapat menahan emosinya. Tak ada untungnya jika ia melabrak sekretaris Heru itu. Hanya akan merendahkan derajat dirinya saja.

Lita berjalan menuju ruangan wakil rektor bidang kemahasiswaan. Tak terelakkan lagi bahwa hari ini ia harus kembali ke ruangan itu. Berita adanya anggaran yang tidak sesuai penggunaan di klub sepak bola, mewajibkan Lita untuk cari tahu kebenarannya.

"Oh, rupanya Bu Dokter Lita yang datang," ujar sekretaris Heru yang Lita sangkakan telah menyebar isu tentang dirinya.

"Iya, saya ada perlu dengan Pak Heru, Bisa ketemu?" tanya Lita tanpa basa-basi.

"Baik Bu dokter saya tanyakan dulu," ucap Rosa sambil mengangkat gagang telepon.

Gerakan Rosa dalam mengangkat telepon serta menekan tombol interkom membuat Lita ingin tertawa. Nyata sekali gerakan itu dibuat-buat. Agaknya Rosa ingin tunjukkan sikap wanita ayu dalam dirinya pada Lita.

"Silahkan Bu Dokter, Pak Heru-nya sudah menunggu di dalam!" ucap Rosa seraya bukakan pintu dan menahan laju pintu itu agar tidak tertutup kembali.

"Oh ya, terima kasih," ujar Lita yang tanpa ragu melangkah lewati Rosa yang berdiri di depan pintu. 

Pintu ruangan itu segera tertutup kembali ketika Rosa lepas pegangannya. Tanpa ragu Lita menuju kursi dihadapan Heru. Lita ingin menghindari duduk di kursi tamu yang disediakan. Bagi Lita duduk di sana hanya buat dirinya semakin lama berada diruangan itu.

"Silahkan Dokter Lita!" ucap Heru sambil  berdiri sebagai tanda menghormati Lita.

"Terima kasih Pak!" jawab Lita sekenanya.

Lita memang agak kesal pada sesuatu hal dengan informasi tidak secara lengkap, atau setengah-setengah. Termasuk dalam hal adanya dugaan penyelewengan dana keuangan klub sepak bola kampus yang tengah ia perjuangkan. Permasalahan pelatih belum selesai, tambah lagi dengan masalah laporan keuangan.

"Bagaimana, sehat saja Dokter Lita?" sapa Heru setelah persilakan Lita duduk.

"Baik saja Pak!  Saya kemari karena ada kabar bahwa ada masalah keuangan di klub bola kampus," Lita katakan maksud tujuannya secara langsung untuk bertemu Heru.

"Dokter Lita dengar dari mana?"

"Dari salah satu dosen yang tidak bisa saya sebutkan namanya," Lita tanpa basa-basi, "apa itu benar?"

"Benar sekali Dokter Lita, Mohon maaf saya juga baru tahu tadi pagi dari bagian keuangan," ujar Heru sambil coba dapatkan pengertian dari Lita.

"Pak Heru baru tahu juga rupanya,"

"Begitulah adanya Bu Dokter,"

"Oh begitu ya Pak, kalau begitu biar saya ke bagian keuangan saja,"

"Nanti dulu Dokter Lita! Ada baiknya kita sambung percakapan kita kemarin dulu!" Heru setengah memaksa agar Lita bisa tinggal lebih lama.

Lita tak percaya jika Heru tak mengetahui ada peristiwa audit pada klub sepak bola yang akan dibubarkan itu. Terlebih dengan jabatan yang Heru miliki. Lita sama sekali tidak ingin cari tahu dari Heru. Lebih baik ia lakukan konfirmasi pada pihak keuangan langsung.

Begitu juga Lita tidak sedang ingin bahas tentang Levy. Lita kesal karena Levy tak jua kunjung tiba. Levy adalah calon pelatih yang Lita pernah sampaikan pada Heru dan jajaran pejabat kampus lainnya. 

Pada hari keenam sejak mereka bertemu di Qatar, Levy pernah berkirim surat, sebagai tindak lanjut hubungan telepon yang mereka lakukan. Isi surat itu berupa  pernyataan siap menjadi pelatih tim sepak bola kampus. Surat itu terselip dalam paket bingkisan berupa cinderamata piala dunia Qatar 2022.

Bisa saja Lita bersikeras untuk tinggalkan tempat itu dengan dalih ada kepentingan mendadak. Namun, ia lebih tidak suka jika dianggap sebagai pembohong. Dengan berat hati Lita harus lebih lama berada di ruangan itu.

"Bagaimana Dokter Lita, apa sudah ada kepastian dari kandidat Ibu?" tanya Heru.

"Kalau tentang itu saya masih menunggu Pak," jawab Lita, "selama belum ada info lanjutan, saya masih menunggu Pak!"

"Saya beneran nggak nyangka lho, kalau Dokter Lita bisa sabar juga ternyata," ujar Heru coba.menyindir dan membandingkan sikap Lita terhadap dirinya.

"Ya mau gimana lagi Pak? Sekarang ini cuma dia yang bisa bantu saya dapatkan persetujuan kelangsungan klub Pak!" jawab Lita lantang.

"Padahal saya juga bisa lho, kalau memang diberi kesempatan," ujar Heru tersenyum kecut.

Terlihat sekali Heru coba menyindir Lita yang begitu sabar terhadap orang lain. Tapi bukan pada dirinya. Heru coba meminta Lita dapat mengerti perasaannya.

Lita dengan cepat mengerti akan kemana arah bicara Heru. Tidak akan jauh berbeda dengan pembicaraan sebelumnya. Heru seharusnya sadar jika perkataan itu takkan akan pernah bisa mengubah pendirian Lita. Seorang wanita dewasa yang pernah rasakan dikecewakan cinta. 

"Baik Pak Heru sebaiknya saya ke biro keuangan saja dulu untuk cari tahu hasilnya," ujar Lita.

"Lebih baik besok saja Dok, pasti butuh waktu lebih untuk laporan resminya," Heru berusaha coba membujuk Lita agar lebih lama berada di ruangannya.

"Kalau begitu terima kasih Pak Heru, Saya mau permisi dulu!"

"Baiklah Dokter Lita," Heru dengan berat hati izinkan Lita pergi.

Sesuai dugaan Heru, biro keuangan belum bisa terbitkan hasil akhir laporan. Lita pun segera tinggalkan area bangunan menuju parkiran. Lita pilih untuk segera pulang, karena memang tak ada lagi yang dapat ia lakukan di sana. 

Sesudah putuskan arah tujuan Lita pun menyalakan mesin mobilnya. Beberapa saat Lita hanya duduk termenung di belakang setir. Lalu tersenyum kecil saat melihat maskot berupa topi yang terpasang pada bagian penyangga kepala kursi di sisi kirinya.

Baru kali ini Lita rasakan ada desakan rasa kangen dari dalam dirinya. Sepertinya ia harus percaya lagi pada seorang pria. Levy yang dikenalnya hanya dalam hitungan jam. 

Sebenarnya bisa saja Lita segera lupakan dan hapus ingatannya saat berkenalan  dengan Levy. Namun, mimpi berkali-kali tentang kedatangan Levy terlalu nyata bagi Lita. Seolah-olah mimpi-mimpi itu memang dikirim oleh Levy untuknya.

Hai Laib! dimanakah pengirim-mu saat ini pekik Lita dalam hati penuh rasa kangen.

...☘️☘️☘️ ~ bersambung ~ ☘️☘️☘️...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!