Tidak sesuai dengan namanya, Balai Roh Pelindung sama sekali tidak memiliki citra sebaik namanya.
Alih-alih melindungi secara spiritual, para tetua mereka justru menindas rakyat untuk mendapat pengakuan dengan cara keji. Kekuatan spiritual yang mereka miliki hanya digunakan untuk membuat pertunjukan, menggertak khalayak dan memanipulasi hukum dengan alasan spiritual.
Tentu saja hal itu tidak dapat dibuktikan secara hukum untuk menyeret mereka ke meja persidangan. Tapi tidak diragukan bahwa hal itu sangat efektif untuk menjerat para jemaat menjadi budak.
"Di mana altarmu? Di mana batu sucimu?" Ma Tuoli mempertanyakan iman khalayak yang secara otomatis ditanggapi rasa bersalah oleh semua orang yang sadar dirinya tak pernah sembahyang. "Ibadah dari mana? Empat puluh lima tahun… kalian sudah melupakan cara lama. Kalian sudah mengkhianati dewa-dewa kalian. Untuk itu dia membayar harganya."
Semua orang langsung terdiam.
"Selalu ada harga mahal untuk di bayar," Ma Tuoli melanjutkan sambil berjalan pelan ke tengah kerumunan, kemudian memutari sekeliling lingkaran dengan langkah-langkah lambat. Kedua tangannya terlipat di belakang tubuhnya, memandangi wajah semua orang dan menghampirinya satu per satu untuk memperlihatkan bahwa dirinya tidak tinggi hati untuk berbaur dengan rakyat jelata, sebagai bukti bahwa dirinya seorang tetua yang diurapi secara spiritual.
Setiap orang yang didatanginya langsung tertunduk, tidak berani mengangkat wajah untuk memandang wajah tetua.
"Kelaparan hanyalah hukuman ringan karena kurangnya iman kalian," kata Tuoli sambil membungkuk mencondongkan tubuhnya ke arah seorang pria paruh baya yang lebih cocok disebut tetua desa. Pilihan yang tepat untuk mencela secara tidak langsung bahwa pria setua itu bahkan tak lebih beriman dari dirinya yang jauh lebih muda beberapa tahun.
Ma Tuoli baru berusia tiga puluh tahun, tapi sudah terkenal karena kebijakannya dan tentu saja sedikit sihir. Di usianya yang tergolong muda, memiliki kekuatan spiritual adalah prestasi yang luar biasa yang patut diacungi jempol.
Bila perlu disembah!
Tentu saja hal itu tak hanya membuat dirinya congkak secara diam-diam, tapi juga menghantarkan Ma Tuoli pada kedudukan tinggi di Balai Roh Pelindung.
"Kami mengikuti dewa roh agung, Tetua Ma," sanggah seseorang. Seorang pria berkepribadian tenang yang raut wajahnya memancarkan ketabahannya.
Ma Tuoli spontan memalingkan wajah, melontarkan tatapan tajam pada pria itu. "Kalau begitu kau harus menenangkan dia!" katanya. "Dan…" ia memalingkan wajahnya lagi ke arah lain, mengedar pandang ke sekeliling. "Hanya ada satu cara yang bisa memuaskan para dewa sekarang," ia memberitahu. Kemudian menambahkan, "Pengorbanan."
Semua orang serentak menahan napas dengan mata dan mulut membulat. Seluruh warna terkuras dari wajah mereka.
Para wanita membekap mulutnya, sementara para pria bertukar pandang satu sama lain dengan tatapan gelisah.
Beberapa mulai mengerang dan berbisik-bisik.
Siapa yang tidak tahu arti 'pengorbanan' yang dimaksud Tuoli?
Itu adalah pembunuhan---tidak---bukan, lebih tepat dikatakan pembantaian karena lebih dari sepuluh orang akan dieksekusi mati untuk dihisap jiwanya sebagai persembahan bagi dewa roh agung---dewa mereka yang baru selepas penyembahan dewa-dewa cahaya dihapuskan di negeri ini.
Dewa yang sangat mengerikan!
Makanannya adalah daya spiritual.
Dewa macam apa sebenarnya yang secara paksa harus mereka ikuti?
Para guru spiritual dari Balai Roh Pelindung mengajarkan pada mereka dalam setiap pertemuan ibadah mengenai karakter dewa yang satu ini tak bisa dihindari karena siapa pun yang menyangkalnya akan mendapat tulah. Bahkan jika mereka menyangkal dalam hatinya.
Tak jarang dua-tiga orang meregang nyawa dalam kuil saat pertemuan ibadah berlangsung, yang kerap diselenggarakan setiap waktu tertentu. Terutama saat hari raya.
Para tetua dari Balai Roh Pelindung yang mengemban tugas sebagai pendeta dalam setiap ibadah akan mengatakan hal yang sama ketika semua orang mempertanyakan kenapa orang-orang itu meregang nyawa.
"Mereka tidak taat!"
"Mungkin mereka menyangkal dewa roh agung dalam hatinya!"
Tentu saja hal itu membuat semua orang menjadi tidak berani lagi menyangkal dewa yang satu ini. Bahkan di dalam hatinya.
Meski sebagian orang secara terselubung masih memuja dewa cahaya, mereka tetap tidak berani menyangkal dewa roh agung mereka yang kemudian mereka imani sebagai dewa tertinggi di atas para dewa cahaya.
"Salah satu dari kalian berhutang pada dewa roh agung!" imbuh Tuoli akhirnya.
Pengorbanan pun tak terhindarkan.
Sejak awal An Nio sudah menduga hal ini akan terjadi, itulah sebabnya kenapa ia memaksa Hua Zu menjauh dan bersembunyi. Tapi siapa sangka anak laki-laki itu malah bersembunyi di tengah-tengah kerumunan, bergabung dalam bahaya ini?
Anak laki-laki itu sekarang sedang mengintip melewati punggung semua orang yang sedang bergumam tegang seperti dengung lebah yang sedang gelisah.
An Nio masih belum menyadarinya.
Sampai…
Seseorang berkata, "Setiap kehidupan sangat berharga."
"Siapa yang bicara?" Tuoli menyentakkan kepalanya ke samping, lalu mengedar pandang ke segala arah dengan tatapan mencari-cari yang tajam.
Semua orang membeku dalam kengerian.
Siapa yang cari mati?
"Semuanya," kata suara itu lagi. "Semua kehidupan sama berharganya. Itulah yang diajarkan dewa agung kepada kami!"
Lalu seorang anak laki-laki menyelinap keluar dari belakang kerumunan, dan berhenti di depan barisan semua orang. Dan seketika semua orang tersentak menatap ke arahnya.
Terutama karena anak laki-laki itu memiliki rambut berwarna emas.
Lim Shin Wu nyaris tersedak air liurnya sendiri begitu menyadari siapa yang maju.
Anak laki-laki—yang tak lain adalah Hua Zu itu menatap wajah Tuoli dengan ekspresi dingin. Meski nada bicaranya terkesan lemah, kemarahan tersirat di wajah polosnya.
An Nio mengerutkan keningnya, merasa familier dengan suara itu. Ia mencoba mengintip ke tengah alun-alun melalui bahu semua orang, menyelinap sedikit demi sedikit untuk mencapai barisan depan.
"Apa kau mengikuti ibadah setiap Xingqiwu?" Tuoli bertanya tajam dengan tatapan berkilat-kilat.
Xingqiwu artinya hari Jumat. Hari keenam yang diyakini semua orang sebagai hari berkat di mana dewa agung menyelesaikan proses penciptaan alam semesta dan memberkatinya.
"Aku membaca kitab suci," jawab Hua Zu.
"Kitab suci?" Tuoli mengerutkan keningnya, sedikit lebih waspada.
Pada masa itu, kitab suci hanya bisa dimiliki orang-orang tertentu—para tetua, pendeta dan aristokrat.
Rakyat jelata tak mungkin memilikinya.
Kakek Zhu---kakek Hua Zu, dulunya adalah seorang tetua desa. Tentu saja ia memiliki kitab suci di rumahnya. Tapi kitab itu disembunyikan oleh ibunya karena sudah tidak berlaku.
Pemerintah telah menarik semua kitab suci itu dan menukarnya dengan kitab suci cetakan baru yang telah dialihbahasakan ke dalam versi Luoji sesuai bahasa asli Kaisar Tio Bing, namun tentunya juga telah banyak dibumbui menurut kesukaan bangsa Luoji dan menghapuskan sebagian besar ajaran dewa-dewa cahaya.
Tapi ketika itu terjadi, kakek Hua Zu telah meninggal dunia sehingga penerimaan kitab suci itu diambil alih oleh tetua desa yang baru.
Pada saat itulah ibu Hua Zu menyembunyikan kitab yang lama.
Menilik sekilas penampilan Hua Zu—pakaian kusam berbahan murahan, ditambah rambut berwarna emas, Tuoli akhirnya bisa menyimpulkan, "Kau berbicara tentang ras dewa yang mati!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
KidOO
Satu vote untuk Author. Semangat!
2023-02-10
1
Antasena~
intinya dewa roh agung, balai roh pelindung, pen jadi dewa, gitu aja
2023-02-09
0
Neng ickha
kek nya gue butuh kuaci ama ampar nih buat baca ...
2023-02-07
0