Tangisan seorang bayi membahana memecahkan keheningan malam. Disusul suara-suara perempuan yang menggumam tegang.
Zhu Lian Ze, pria paruh baya berambut abu-abu sebahu, mengenakan jubah longgar semata kaki dengan tudung kepala berwarna cokelat pudar, melangkah pelan ke dalam bilik kumuh berbau apak, tempat di mana putrinya yang hamil tanpa suami baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, disambut tatapan gelisah sejumlah wanita yang membantu proses kelahiran cucunya.
Apa yang terjadi? Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa mereka terlihat cemas?
Matahari pagi menyelinap masuk dari jendela-jendela kecil, menyisipkan cahaya ke dalam ruangan.
Zhu Lian Ze mendekat ke pembaringan kayu tanpa alas tidur di dekat jendela, menatap bayi berbungkus kain lampin dalam pangkuan putrinya Zhu An Nio.
Para wanita menyisi dan menyelinap keluar satu per satu, ketika pria itu berdeham untuk membersihkan tenggorokannya.
Lian Ze melipat kedua tangannya di belakang tubuhnya, bertanya dengan suara rendah yang sedikit parau, "Apakah dia baik-baik saja?"
"Tidak kurang suatu apapun," jawab An Nio tanpa berani mengangkat wajahnya.
Lian Ze membungkuk dan menurunkan penutup kepala sang bayi untuk mengusap puncak kepalanya dan memberkati bayi laki-laki yang baru dilahirkan itu. Tapi lalu tersentak mendapati rambutnya berwarna emas. "Apa yang terjadi? Sebuah tanda dari Ilojim?" pekiknya terkejut.
Dalam kepercayaan mereka, para dewa cahaya memiliki rambut berwarna terang yang bukan hitam.
Setiap orang terlahir dengan rambut berwarna hitam kecuali mereka yang lahir dari perkawinan silang antara pria dari ras dewa yang jatuh ke bumi yang menikahi wanita dari ras manusia.
Lian Ze mencengkeram kedua bahu putrinya sambil menggeram, "Katakan siapa ayahnya?"
"Sudah kukatakan dia tidak diperanakkan dari daging atau hubungan intim, dia diperanakkan dari cahaya!"
"Masih bicara omong kosong apa?" Lian Ze mengguncang bahu putrinya.
Akhirnya An Nio mengangkat wajah. "Aku berani bersumpah atas nama Ilojim, aku tak pernah berhubungan dengan seorang pria!" tukasnya bersikeras. "Dia datang padaku seperti namanya… dalam mimpi yang penuh harapan! Ini adalah karunia dari mereka. Tidak lebih!"
Lian Ze melontarkan tatapan tajam pada putrinya, tapi tangisan bayi dalam gendongannya membuat ia mengerjap dan melepaskan cengkeramannya.
"Aku tak peduli orang lain menganggapku pembual, tapi kau ayahku!" desis An Nio sambil tertunduk menenangkan bayinya. "Kau yang mengajariku iman dan kebenaran tentang Ilojim."
Lian Ze menelan ludah dan tercenung dengan muram. Sebagai salah satu tetua bangsa Yuoji, Lian Ze masih memegang teguh keyakinan nenek moyang mereka meski bangsa penjajah telah menghancurkan kuil Jian dan Jiyou dan melarang penyembahan dewa cahaya. Itulah sebabnya ia berada di sini, di Liuwang, sebagai orang buangan.
Pulau Liuwang adalah kota suci bangsa Yuoji pada masa kejayaannya. Jauh waktu sebelum bangsa Luoji merebut wilayah Zhujia. Sekarang sudah menjadi tempat pembuangan untuk mengasingkan keturunan campuran yang dilahirkan para budak perempuan rampasan perang---perempuan bangsa Yuoji.
"Tapi hal ini akan menjadi… sangat berisiko," katanya parau.
"Aku tahu," tukas An Nio. "Tapi bukankah jika Ilojim sudah berkehendak, tidak satu pun dapat menghalanginya?"
Lian Ze langsung terdiam.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Ayah! Tugas kita hanya merawatnya dan Ilojim akan melindungi kita." An Nio menandaskan.
Lian Ze menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan, "Siapa namanya?"
"Namanya adalah… Hua Zu!"
.
.
.
Enam tahun kemudian…
"Hua Zu! Hua Zu!" Lim Shin Wu, mengenakan changsan berwarna perak di atas celana putih dan sepatu bot berongga setinggi lutut berwarna hitam, berseru sambil menunjuk tanaman rambat berbunga kuning yang mati di jalan setapak akibat sering terinjak. "Ayo, lakukan lagi. Buat bunga ini tumbuh!" pintanya dengan bersemangat.
Hua Zu, mengenakan jubah labuh cokelat kusam di atas celana hitam dan sepatu kanvas selutut, menghampirinya dan membungkuk di atas tanaman rambat yang mati itu, lalu menangkup setangkai bunga yang kering dengan kedua tangannya. Ketika ia melepaskannya, bunga itu kembali hidup, mekar dan segar dalam sekejap.
"Whoa—" Lim Shin Wu terbelalak dengan ekspresi takjub. "Bagaimana kau melakukannya?"
"Aku tidak tahu," jawab Hua Zu. "Itu terjadi begitu saja."
"Kalau begitu lupakan!" Shin Wu melompat berdiri dan bergegas menjauhi tanaman rambat itu, rambut sebahunya yang disanggul sebagian di puncak kepala dengan hiasan perak, melecut-lecut di atas tengkuknya, "Bagaimana dengan binatang?" ia mengusulkan. "Apa kau juga bisa menghidupkan binatang yang mati?"
Hua Zu mengikutinya dengan langkah-langkah pelan, "Aku tidak tahu," katanya lagi. "Aku belum mencobanya."
"Kalau begitu lakukan!" desak Shin Wu sambil menyeringai. Lalu mengedar pandang ke sekeliling lapangan, mencoba mencari-cari bangkai binatang.
Hua Zu mendesah pendek dan tertunduk dengan raut wajah murung. "Dengar, Shin Wu! Ibuku bilang… ini adalah rahasia. Apakah kau mau bersumpah bahwa kau tidak akan menceritakannya pada siapa pun?"
Shin Wu berhenti mengedar pandang dan menoleh pada Hua Zu dengan mata terpicing. "Kenapa? Ini adalah bakat luar biasa!"
"Tidak, kumohon. Jangan katakan ini pada siapa pun. Bersumpahlah!" desak Hua Zu.
Shin Wu terlihat ragu, tapi lalu menyerah dan mengacungkan telapak tangannya di sisi wajahnya, "Aku bersumpah tidak akan mengatakannya pada siapa pun, bahkan ibuku!"
Hua Zu tersenyum lebar, kemudian mengikuti Shin Wu. "Sekarang giliranmu!" katanya. "Tunjukkan padaku teknik pedang yang sudah kau pelajari di Balai Pangeran!"
Balai Pangeran adalah tempat pelatihan khusus untuk tentara abadi kerajaan Luoji, khususnya untuk melatih para putra mahkota dan keluarga bangsawan seperti Shin Wu.
Shin Wu adalah putra seorang pejabat bangsa Luoji. Dan itu berarti, ia tidak seharusnya berada di Liuwang.
Liuwang adalah tempat pembuangan untuk mengasingkan keturunan campuran yang dilahirkan para budak perempuan rampasan perang---perempuan bangsa Yuoji.
Seperti Hua Zu!
Tapi baik Shin Wu maupun Hua Zu masih terlalu kecil untuk memahami hal itu. Hua Zu baru berusia enam tahun, sementara Shin Wu berumur delapan tahun.
Shin Wu mengedar pandang sekali lagi, kali ini bukan untuk mencari bangkai binatang, tapi mencari sesuatu yang lain, mungkin tongkat kayu, bambu—apa saja yang dapat dijadikan pengganti pedang untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajarinya pada Hua Zu.
Hua Zu selalu tertarik untuk menonton orang bermain pedang. Tapi ia sendiri tidak tertarik untuk belajar pedang.
Shin Wu senang bisa memperlihatkan kemampuannya di depan Hua Zu. Ketertarikan Hua Zu pada kemampuannya terasa seperti pengakuan. Sesuatu yang jarang didapatkannya di area istana.
Bukan karena ia tak mahir. Tapi karena ia putra seorang selir.
Anak haram seorang pejabat!
"Ayo, Hua Zu! Belajarlah denganku!" Shin Wu menawarkan sambil melempar sebatang bambu seukuran lengannya ke arah Hua Zu, lalu mengangkat bambu di tangannya, memberikan isyarat tantangan.
Hua Zu tidak mengambil bambunya. "Aku tidak tertarik untuk belajar pedang, aku hanya suka melihat orang lain melakukannya."
"Ayolah!" desak Shin Wu. "Kita ini kan laki-laki, kelak kita harus turun ke medan perang."
Hua Zu mengangkat bahunya sekilas. "Aku tidak berencana turun ke medan perang," ia berkilah.
"Bagaimana kalau kau tak punya pilihan?" sanggah Lim Shin Wu.
"Aku akan berperang tanpa senjata," jawab Hua Zu.
"Omong kosong apa?" cemooh Shin Wu. "Mana ada orang berperang tanpa senjata!"
"Ibuku bilang, Jiyou pernah berperang tanpa senjata."
"Jiyou?" Shin Wu membelalakkan matanya, "Siapa Jiyou?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Mi'Ara
Kakeknya Lian ze, untung cucunya bukan hua ze, karena hua ze pacar Tante di masa itu 🤣
2023-02-13
0
Antasena~
Apa Shin Wu itu Jian, dan Hua Zu itu Jiyou?
Markilih.... mari kita lihat... di episode berikutnya 🏃
2023-02-09
0
Mega Ahmad Abdullah
Oh, ceritanya an nio ini bunda Maria 😂
2023-02-07
0