Kabut tipis mengendap di kaki gunung, angin berembus menggetarkan ranting-ranting pohon perdu di tepi lapangan rumput yang masih basah oleh sisa embun.
Semak-semak bergetar ketika sepasang kaki berdebam di jalan setapak menuju lapangan, ranting-ranting kering berkeretak terinjak sepasang kaki itu.
"Hua Zu!" teriakan panik melengking dari ujung jalan setapak, hingga menyentakkan sepasang burung yang sedang bertengger di ranting pohon.
Hua Zu dan Shin Wu terperangah menatap wanita paruh baya dengan samfoo putih kumal bercorak bunga sakura yang sedang berlari ke arah mereka dengan tergopoh-gopoh.
Zhu An Nio—Ibu Hua Zu, napasnya tersengal-sengal, sepatu kanvasnya tersaruk-saruk di tanah becek. Keringat membanjir di pelipisnya. "Apa yang kalian lakukan di sini?" pekiknya terengah-engah.
Kedua anak laki-laki itu, sedang bermain di ujung lapangan di perbatasan hutan terlarang di lembah Jinzhi.
An Nio akhirnya sampai di tempat mereka dan langsung menyambar lengan keduanya dan menyeret mereka menjauh dari hutan. "Sudah kuperingatkan berkali-kali," semburnya dengan raut wajah gusar. "Jangan dekati hutan terlarang!"
"Kenapa hutan Jinzhi terlarang?" Shin Wu bertanya setelah mereka sampai di pekarangan samping pondok Hua Zu.
An Nio membungkuk menekuk perutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya bertopang pada tiang penyangga atap teras belakang. "Karena dianggap keramat bagi keturunan sekte cahaya," jawabnya terengah-engah. "Tidak ada laki-laki yang diterima. Hutan Jinzhi tidak akan membiarkan mereka masuk atau keluar hidup-hidup."
Setelah napasnya pulih, An Nio bergegas ke pekarangan belakang.
Kedua anak laki-laki itu mengikutinya.
An Nio menumpuk potongan kayu bakar di sisi perapian dari tanah liat yang tampak usang dan retak di sana-sini. Sejumput rambutnya yang telah memutih terlepas dari sanggulnya dan terburai menutupi sebelah matanya saat ia membungkuk. Ia berusaha menyingkirkan rambut itu dari matanya dengan punggung tangannya. Tapi setiap kali ia kembali merunduk rambut itu pun kembali jatuh menutupi matanya.
"Ceritakan lebih banyak tentang Jiyou!" Shin Wu mendesak An Nio dengan menggebu-gebu.
An Nio menghela napas dan meluruskan tubuhnya. Ia menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya untuk menyingkirkan debu yang menempel. Setelah itu ia bertolak pinggang seraya memandang kedua anak laki-laki di depannya secara bergantian. Lalu tersenyum dan bersedekap.
Kedua anak laki-laki itu berebut untuk mendekat pada An Nio.
"Dulu, terjadi peperangan di surga antara dewa-dewa cahaya melawan dewa-dewa kegelapan," An Nio memulai ceritanya. "Dewa-dewa cahaya itu disebut Ilojim, sementara dewa-dewa kegelapan disebut Legion."
"Lalu siapa Jiyou?" Shin Wu menyela tak sabar.
"Jiyou adalah dewa cahaya," jawab An Nio. "Dia memiliki saudara kembar bernama Jian. Mereka berdua adalah penghulu malaikat. Saat mereka berperang melawan naga, Jiyou berhasil menumpas penghulu malaikat kegelapan tanpa menggunakan senjata."
"Whoa…" Shin Wu tampak terkesan. "Bagaimana dia melakukannya?" Shin Wu semakin penasaran.
An Nio tersenyum, "Dia memiliki sembilan karunia cahaya yang bisa memusnahkan alam semesta sekaligus memulihkannya. Jiyou juga telah menyegel naga itu dengan sembilan karunia cahaya dalam dirinya dengan cara menghancurkan diri. Tapi tak ada yang tahu segel itu akan bertahan berapa lama."
Shin Wu ternganga antara takjub dan ngeri.
An Nio mendesah pendek dan tersenyum muram pada Hua Zu, lalu membungkuk dan menyentuh bahunya. "Dengar, Hua Zu! Perjuangan Jiyou belum berakhir, peperangan terang dan gelap masih berlangsung di dunia bawah hingga saat ini. Entah kapan naga itu akhirnya akan terbangun, tapi Jiyou sudah tak ada. Ia telah memusnahkan dirinya untuk menyelamatkan kita. Jadi kita tak boleh lupa betapa berharganya hidup kita. Terutama kau! Kau memiliki tanda milik Ilojim. Ini adalah tanggung jawab khususmu." Ia mengingatkan sambil mengusap rambut emas Hua Zu yang sudah sepanjang bahu dan diikat sebagian dalam gaya hun.
Shin Wu baru membuka mulut, bersiap untuk bertanya lagi, ketika sekonyong-konyong terdengar keributan.
Suara-suara!
Suara-suara itu terdengar semakin keras, terbawa angin.
Suara-suara gaduh yang tidak berirama.
Mereka memasang telinga, terpaku membeku dalam teriknya cahaya matahari. Mereka merasa seperti mendadak berubah jadi batu.
Suara-suara gaduh yang tidak berirama itu… ternyata tak datang dari dekat-dekat sini. Angin menerbangkannya dari alun-alun.
Serta-merta, para penduduk berhamburan keluar dari pondoknya masing-masing, kemudian bergegas berbondong-bondong menuju alun-alun itu.
"Apa yang terjadi?" An Nio bertanya pada seorang tetangganya yang sedang melintas dengan tergopoh-gopoh.
"Utusan kaisar!" tetangga itu memberitahu dengan terengah-engah. "Kaisar menjawab panggilan kita untuk meminta bantuan. Dia mengirim utusan untuk mendengar kita, dan… tetua dari balai roh pelindung."
An Nio tergagap, sementara tetangga itu sudah berlalu.
Balai roh pelindung semacam mahkamah agama yang sangat berwenang. Kekuasaan mereka setara dengan Partai Politik. Para tetua mereka mendominasi jajaran kursi Dewan Petinggi Wilayah setingkat di bawah negara. Dan balai roh pelindung memegang penuh kendali hukum.
Mereka tak pernah datang untuk mendengar, batin An Nio getir. Lalu menoleh pada Shin Wu. "Shin Wu, kau harus pulang ke balai pangeran!" perintahnya dengan raut wajah gusar, lalu beralih pada Hua Zu. "Kau juga," katanya. "Pulanglah!"
Shin Wu berbalik dan melambaikan tangan pada Hua Zu. Lalu bergegas meninggalkan pekarangan pondok Hua Zu.
Hua Zu masih terlihat ragu.
An Nio membungkuk sambil mencengkram kedua bahu putranya, "Dengar, Hua Zu!" ia memperingatkan dalam bisikan tajam. "Kau harus menunggu tanda selanjutnya. Tapi tidak sekarang. Sekarang tugasmu adalah menjaga diri. Ibu pastikan suatu saat kau akan mengerti. Sekarang pulanglah!"
Hua Zu mengangguk dan berbalik, lalu berjalan sembari tertunduk, melangkah dengan enggan. Setelah beberapa saat, ia menoleh sekilas ke belakang.
Ibunya sudah bergabung dengan para wanita lainnya, bergegas menuju alun-alun.
Lalu dengan diam-diam, Hua Zu menyelinap ke dalam kerumunan, berbaur dengan orang banyak menuju alun-alun.
An Nio tidak menyadarinya.
Sesampainya di alun-alun, ternyata Lim Shin Wu juga berada di sana, berbaur dengan pasukan kerajaan dari bangsanya.
Hua Zu meliriknya dengan ekspresi pura-pura tidak mengenal Shin Wu.
An Nio juga tidak menyadarinya.
Kehadiran seorang tetua dari Balai Roh Pelindung membuat tatapannya terfokus pada pria yang gemar mengenakan jubah labuh warna putih itu dengan waspada.
Sejumlah tentara Luoji berderet angkuh mengawal di belakangnya.
Siapa yang tidak tahu Ma Tuoli?
Tetua paling fanatik yang selalu bicara kebaikan dengan cara kekerasan.
Celakanya, Kaisar Tio Bing justru mengutus Ma Tuoli untuk berhadapan dengan mereka.
Ini pasti tak akan mudah, pikir An Nio. Sejak mendengar nama Balai Roh Pelindung disebutkan, firasatnya memang sudah tak enak. Ditambah Ma Tuoli, Balai Roh Pelindung tidak ubahnya seperti dongeng dunia bawah.
"Tanaman kalian gagal?" Ma Tuoli memulai penghakimannya.
Penghakiman adalah kata yang tepat untuk menggambarkan cara bicara tetua yang satu ini.
"Kalian memohon bantuan Kaisar, tapi kalian sendiri tak pernah membantu diri sendiri!"
Itulah yang dimaksud dengan penghakiman khas Ma Tuoli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Antasena~
diakan reinkarnasi penghulu malaikat kegelapan?
Ma Tuoli?
2023-02-09
0
Orzo™
politik agamais 😆
2023-02-04
0
KidOO
Throne of stell ... 😆😆😀
2023-02-03
1