Pengantin penganti
02
Suara bisik-bisik tamu undangan sudah mulai terdengar di telinga Mayang. Wajah wanita paruh baya itu sudah merah padam menahan rasa malu karena pengantin wanitanya yang belum juga datang. Apalagi kini waktu semakin berlalu dan acara akat nikah akan segera di mulai. Bahkan kedua orang-tua mempelai wanita pun juga tidak hadir diacara sakral anaknya.
Beberapa kali Mayang mengumpati keluarga besannya yang sungguh tidak bertanggung jawab dan hanya bisa membuat malu saja. Mata Mayang menangkap pada keluarga besar mempelai wanita yang sudah hadir disana. Dengan langkah besar Mayang menuju keluarga tersebut.
"Permisi, saya mau tanya kenapa mempelai perempuannya sampai sekarang belum juga sampai? Bukankah acaranya beberapa menit lagi akan di mulai?" tanya Mayang kepada mereka yang ada disana.
Semuanya terdiam karena juga tidak tahu harus menakan apa. Lagian mereka juga tidak tahu kemana perginya mempelai wanita.
"Maaf kami tidak tahu, Bu," jawab seorang laki-laki yang memiliki jenggot yang di cukur habis.
"Kenapa kalian tidak tahu? Bukankah kalian itu satu keluarga?" Mayang menatap mereka satu-persatu dengan tatapan yang tidak bisa di tebak.
"Kami pergi ke sini juga atas undangan yang diberikan. Meski kami satu keluarga bukan berarti kami tinggak dalam satu rumah. Kami datang ke sini juga langaung dari rumah masing-masing tanpa singgah dulu ke rumah mempelai wanita," Lagi-lagi laki-laki itu menjawab ucapan Mayang.
"Tolong dari keluarga mempelai wanitanya untuk menelpon karena acara sudah mau di mulai," pinta Mayang.
Mereka akhirnya satu persatu menelpon kepada keluarga mempelai wanita. Namun tak satupun dari mereka mendapat jawaban dari telepon mereka, bahkan telepon mereka juga berada di kuat jangkauan.
"Maaf Bu, teleponnya tidak tersambung," jawab laki-laki berjambang panjang yang di angguki yang lainnya.
"Astaga benar-benar tidak bertanggung jawab. Saya tidak mau tahu dari semua anak gadis kalian yang ada disini saya akan memilih salah satunya untuk menjadi pengantin penganti. Jika kalian tidak setuju maka jangan salahkan keluarga saya yang akan membuat keluarga kalian hancur tanpa sisa," Mayang menatap mereka semua dengan tajam. Jujur saja ini bukan sifat Mayang, dia wanita lembut yang penuh kasih sayang. Hanya saja saat ini dirinya tengah di liputi rasa cemas dan juga marah. Marah lantaran di permainan keluarga mempelai wanita.
Keluarga mempelai wanita itu hanya bisa terdiam. Bahkan tak jarang mereka juga merasakan cemas jika anaknya yang akan menjadi pengantin penganti untuk sepupu mereka yang sungguh tidak bertanggung jawab.
Mata Mayang menangkap seorang wanita bergaun putih dengan kulit putih bersih dan wajah imut. Tampak jelas gadis itu sedikit pemalu. Mayang berjalan menuju gadis itu yang menatap Mayang dengan bola matanya yang besar namun sangat cantik.
"Saya akan memilih dia untuk menjadi menantu saya." Tangan Mayang kini sudah memegang tangan gadis imut itu dengan lembut.
Gadis bermata besar itu tersentak kala mendengar ucapan Mayang. Gadis itu tidak menyangka jika dirinya akan dijadikan pengantin pengganti di dalam acarara pernikahan kakak sepupunya.
"Ayah, Ibu tolong aku," Atika Azzahra, itu nama gadis yang kini di pegang tangan oleh Mayang. Nama yang sangat cantik sesuai dengan wajahnya yang cantik dan imut. Menatap penuh pertolongan kepada Ayah dan Ibunya agar membantu dirinya terlepas dari yang namanya pengantin penganti.
Siena dan Restu hanya bisa menggeleng sendu. Ingin sekali mereka menolong sang putri tapi apa yang bisa mereka bantu jika mereka saja juga tidak sanggup melakukan apa-apa. Ancaman yang di berikan Mayang tidak mungkin akan main-main. Bisa saja mereka menolong Atika, tapi mereka juga tidak ingin hanya gara-gara itu nanti anaknya itu bisa putus kuliah dan hidup susah di jalanan bersama mereka. Lagian perusahaan mereka juga masih sangat kecil. Dengan satu jentikan jari sudah di pastikan mereka akan tidur di jalanan.
Restu dan Seina yakin jika ini memang jalan terbaik di dalam kehidupan Atika. Mereka yakin suatu saat akan ada bahagia yang menghampiri putri tinggal mereka.
Mayang membawa Atika pada kamar yang memang di sediakan untuk pengantin wanita. "Rias dia secantik mungkin," pinta Mayang kepada MUA yang ada di dalam kamar itu.
"Baik Bu,"
Mayang keluar dari kamar pengantin menuju tempat dimana putranya berada. Namun saat sampai di pintu keluar dirinya berpapasan dengan orang-tua si wanita.
"Maaf Bu, izinkan saya bertemu putri saja. Saya berjanji tidak akan membawa putri saya kabur dari sini," pintanya mengiba.
"Baiklah, jangan kecewakan saya untuk ke-dua kalinya. Maaf jika saya memaksakan kehendak saya kepada putri anda," Setelah mengatakan itu Mayang beranjak dari hadapan wanita itu. Membiarkan wanita sebaya dirinya masuk ke dalam kamar dimana anaknya berada.
"Tika," Seina menghampiri putrinya yang tengah dirias. Ada rasa bahagia yang merasuki relung hati Seina kala melihat betapa cantiknya sang putri.
"Ibu, Ibu tolong bawa aku pergi dari sini Ibu. Ibu aku belum mau menikah masih banyak cita-cita yang harus aku dapatkan Ibu," Atika menatap sendu sang ibu. Meski tak ada air mata, tapi hatinya sungguh sedih dengar takdir ini.
"Maafkan Ibu, Tika. Ibu dan Ayah tidak bisa melakukan apa-apa Nak, dan kami juga tidak ingin masa depan kamu hancur lantaran membawa kamu kabur dari sini. Bahkan bisa di pastikan kita semua akan hidup dijalanan. Ibu tidak mau itu terjadi Nak. Bukan Ibu tidak sayang sama kamu Tika, Ibu dan Ayah sangat menyayangi kamu. Percayalah jika Apapun yang terjadi hari ini, ini adalah awal dari takdir yang Allah pilihkan untuk kamu, Tika," Seina mengusap bahu putrinya dengan lembut.
"Tapi aku belum mau menikah Bu, aku masih ingin menikmati masa-masa kuliahku, Bu,"
"Kita bisa bicarakan itu nanti Nak. Percaya sama Ibu ini awal mula kebahagiaan itu akan menghampiri kamu Nak. Ibu yakin jika filling Ibu tidak akan salah Nak," Seina menampilkan senyumnya kepada sang putri.
"Tapi Ibu---"
"Stttt, kamu tidak perlu cemas Sayang. Percaya sama Ibu,"
Atika hanya bisa menahan rasa sesak di dadanya. Tak ingin terlihat lemah dihadapan semua orang, Atika menahan lajunya air matanya sekuat tenaga. Kini sudah percuma dirinya kabur jika akhirnya mereka juga akan hidup di jalanan. Mungkin memang benar kata ibunya, ini takdir yang telah di garisan Allah kepada dirinya.
"Baiklah Bu,"
"Terima kasih Sayang, yakinlah Ibu dan Ayah begitu mencintai kamu Nak," Seina mendaratkan ciuman pada kepala sang putri lantaran wajahnya sudah selesai dirias.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments