Bab 3

[Dek, ada apa di rumah?]

[Kasih tahu aku. Dong!]

Rania tak lagi membalas pesanku, dia hanya membaca pesan dariku tanpa menjawab pertanyaan yang kuberikan.

Rasa penasaranku memaksaku untuk menelponnya, berkali-kali aku menghubunginya. Namun, satu panggilan dariku tak kunjung diangkatnya.

Entah apa alasannya, aku sendiri tak tahu. Padahal dia masih aktif di sosial media ya.

Aku pun mecoba menghubungi Buk Lastri dan Pak Ujang pelayan setia di rumah kami, tapi mereka juga tidak mengangkat panggilan dariku. Akhirnya aku tak tahu apa yang terjadi di rumah saat ini.

Sepanjang malam, ku lalui dengan rasa penasaran. Sehingga aku pun tak dapat tidur dengan nyenyak.

****

Pagi ini aku bangun dengan kepala yang berat, rasa kantuk masih menyerangku akibat semalaman tak bisa tidur memikirkan apa yang kini terjadi di rumah.

Aku bangkit dari tempat tidur, lalu ku melangkah menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhku yang terasa sangat lemas.

Setelah merasa lebih segar, aku keluar dari kamar hotel. Pikiranku saat ini tertuju ke rumah, hingga aku lupa untuk sarapan sekedar mengisi perutku yang kosong.

Sesampai di parkiran aku langsung melajukan mobilku menuju kediaman keluarga besarku. Di rumah yang besar itu kami tinggal bersama. Mulai dari Kakek dan Nenek, Paman dan Bibi, serta keluargaku di minta oleh kakek untuk tetap tinggal di rumah besar milik keluarga Herlambang.

Kakek sengaja menyuruh anak-anak dan cucunya untuk tinggal di rumah besar yang dengan susah payah dibangunnya. Dia tak ingin anak-anak dan cucu-cucunya merasakan pahitnya tidak memiliki rumah seperti yang pernah dialaminya.

Kakek juga berusaha bersikap adil di dalam keluarga sehingga tercipta nuansa damai dan rukun di dalam keluarga besar Herlambang.

Aku memarkirkan mobilku di depan rumah besar milik keluarga Herlambang. Aku turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Saat aku memasuki rumah, suasana hening tercipta. Semua anggota keluarga yang tadi berkumpul bercengkrama di ruang keluarga, satu per satu mereka beranjak pergi ke kamar masing-masing. Hanya saja di antara mereka, aku tak mendapati Aisya istriku.

"Bu!" Aku memanggil ibuku sebelum masuk ke dalam kamarnya.

Langkah Ibuku terhenti tepat di depan pintu kamarnya diikuti oleh Ayahku.

Mereka membalikkan tubuh menghadap padaku, aku langsung menghampiri mereka.

"Yah, Bu! Maafkan aku," ujarku memelas.

"Yoga, tak seharusnya kamu meminta maaf pada kami. Minta maaflah pada istrimu!" ujar Ayahku dengan tegas.

Aku menundukkan kepalaku, "Alisya di mana, Bu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya keberadaanku di saat tatapan kedua orang tuaku bagaikan pedang menghunus jantungku.

"Entahlah," lirih ibuku, lalu dia meninggalkanku begitu saja.

Ibu kini benar-benar tak peduli padaku.

"Alisya!" teriakku, aku bergegas melangkah menuju kamarku.

Ku buka pintu kamarku, ku edarkan pandanganku ke seluruh sudut kamar. Aku tak dapat menemukan istriku di sana.

"Alisya!" Aku terus memanggil nama yang telah kulafalkan di ijab kabul satu tahun yang lalu.

Bergegas aku melangkah menuju kamar mandi untuk memastikan keberadaan sang istri di sana.

"Alisya!" teriakku setelah tahu di dalam kamar mandi tak ada seorang pun di sana.

Aku terjatuh lemas di dalam kamar mandi, aku menyesali kepergianku kemarin. Ku remas kepalaku kasar berusaha berpikir tentang keberadaan Alisya saat ini.

"Arrghh," teriakanku menggema di seluruh sudut kamar.

Aku meraih ponselku dari saku celana, aku mencoba men-dial panggilan kontak istriku. Namun, ponsel istriku tak aktif sama sekali.

"Kamu di mana, Sya??" gumamku pelan.

Tanpa pikir panjang aku kembali menguatkan tubuhku dengan tenaga yang tersisa, aku melangkah keluar rumah. Ku ambil mobilku lalu aku melajukan mobilku keluar dari pekarangan rumah besar milik keluargaku.

Haya satu tempat yang aku yakini bahwa istriku berada di sana, ku lajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin memastikan keberadaan istriku.

Rasa khawatir menyelinap di hatiku tapi rasa khawatir itu berbeda dengan perasaan khawatir yang kemarin aku rasakan pada Tania. Aku sendiri bingung dengan diriku dan hatiku saat ini.

Terus ku lajukan mobilku dengan kecepatan tinggi membelah jalanan tol.

Tak lagi aku memikirkan keselamatanku, aku hanya ingin cepat sampai, dan aku ingin meminta maaf pada istriku.

Jika dia ingin meninggalkanku hal itu tak jadi masalah bagiku. Yang terpenting saat ini hanya maaf darinya.

Dua jam perjalanan ku tempuh dari Jakarta menuju Bandung kampung halaman Istriku. Aku menghentikan mobilku saat memasuki sebuah rumah sederhana yang terkesan megah dengan desain modern.

"Mas Yoga!" sapa seorang tukang kebun menghampiriku.

Mungkin dia melihat kedatangan ku saat membersihkan kebun.

"Iya, Mang Dudung," balasku dengan ramah.

"Pa kabar, Mas?" tanya pria paruh baya yang bernama Dudung itu.

"Baik, Pak. Pak Dudung apa kabar?" tanyaku sekedar berbasa-basi.

"Baik, Mas," jawabnya sopan.

"Ibu Fatimah ada, Pak?" tanyaku padanyaa.

"Ada, silakan masuk, Mas!" Pak Dudung mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.

Aku mengikuti langkahnya yang membukakan pintu rumah sederhana milik mertuaku. Aku yakin istriku berada di rumah ini. Dia tak mungkin pergi ke mana-mana selain ke sini.

"Assalamu'alaikum," ucapku saat memasuki rumah.

"Wa'alaikum salam," jawab Ibu Fatimah, ibu mertuaku.

"Apa kabar, Bu?" tanyaku basa-basi.

"Baik, Yoga. Kamu sendiri?" tanya Bu Fatimah sambil celingukkan mencari seseorang di belakangku.

"Mhm, iya, Bu." Aku mulai meragukan keberadaan Alisya di rumah ini.

"Alisya?" tanya Bu Fatimah.

Aku kaget saat mendapati pertanyaan ibu mertuaku, apakah itu artinya Alisya tak ada di rumah ini?

"Mhm, dia di Jakarta, Bu." Aku terpaksa berbohong.

Melihat situasinya, Ibu mertuaku belum mengetahui masalah yang terjadi di antara aku dan istriku.

"Oh, ya udah kamu duduk dulu!" titah ibu mertuaku.

Ibu Fatimah melangkah meninggalkanku menuju dapur.

Aku pun menghempaskan tubuhku di sofa empuk yang ada di ruang tamu. Aku menghela napas panjang sambil memikirkan keberadaan Alisya.

Aku pun mengeluarkan ponselku, aku mencoba melacak keberadaan istriku dengan GPS yang telah ku sambungkan ke ponselnya. Namun, hal itu sia-sia karena nomor ponselnya sudah tidak aktif.

"Tumben kamu datang?" tanya Bu Fatimah yang datang membawakanku secangkir teh dan beberapa potong cake.

"Kebetulan aku ada kerjaan di sini, Bu. Makanya aku mampir jengukkin Ibu," ujarku.

"Oh begitu, sudah lama kalian tidak datang ke sini. Ibu kangen, apalagi pesta kalian kemarin Ibu tidak bisa hadir,"ujar Bu Fatimah padaku.

"Iya, Bu. Lain kali kami usahakan datang dan menginap." Hanya iu kata-kata yang keluar dari bibirku.

Pikiranku saat ini kembali tertuju pada keberadaan Alisya. Apa sebenarnya yang telah terjadi saat aku meninggalkan rumah? Pertanyaan itu terus berputar di benakku.

"Yoga?" Ibu mertuaku membuyarkan lamunanku.

"Eh iya, Bu," lirihku gugup.

Ibu mertuaku mulai menatapku curiga, bunyi ponselnya membuat dia mengalihkan perhatiannya dariku.

Dia menautkan kedua alisnya, lalu menekan tombol hijau.

"Halo," lirihnya saat panggilan telah tersambung

"Alisya?" pekiknya kaget.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Zainab ddi

Zainab ddi

ayo ketahuan bohong

2023-05-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!